Menkeu Purbaya Tunda Kenaikan PPN
JAKARTA - Berdasarkan pantauan bigdata, langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang tidak akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 2026 mendapat apresiasi dari publik. Sentimen positif mencapai 60% dan sentimen negatif hanya sebesar 14%, sisanya sentimen netral sebesar 26%.
Direktur Eksekutif GREAT Insitute, Dr. Sudarto mengungkapkan, publik melihat kebijakan ini sebagai upaya untuk menstabilkan ekonomi dan menyesuaikan dengan kondisi ekonomi yang masih terpuruk akibat daya beli yang lemah.
“Jadi, langkah Pak Menkeu Purbaya ini sejalan dengan aspirasi publik yang sudah sejak jauh hari mengharapkan pemerintah tidak menaikkan PPN di tahun depan. Publik sudah optimis dengan langkah-langkah Pak Menkeu Purbaya sebelumnya,” tegas Dr. Sudarto dalam keterangannya, Selasa (16/12/2025).
Sebagai tambahan, riset kami di akhir Okotber 2025 menunjukkan tingginya optimisme publik terhadap masa depan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo yang mencapai hingga 89,3%. Kemudian 71,8% publik merasa kondisi ekonomi rumah tangganya lebih baik dibanding pemerintahan sebelumnya.
“Kami menyimpulkan Purbaya Effect sebagai faktor yang paling besar kontribusinya terhadap optimisme publik tersebut. Oleh karena itu, kebijakan Menkeu Purbaya terkait PPN ini akan tetap menjaga optimisme publik terhadap pemerintahan Prabowo Subianto," ujar Dr. Sudarto, yang juga dosen komunikasi Universitas Pancasila.
Secara bersamaan, peneliti ekonomi GREAT Institute, Adrian Nalendra Perwira, menilai kebijakan ini sebagai langkah fiskal yang bijaksana untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendukung kepastian dunia usaha di tengah pemulihan ekonomi. Keputusan ini mencerminkan pendekatan fiskal yang adaptif dan tidak bersifat pro-cyclical.
Dalam konteks pemulihan ekonomi, keputusan untuk tidak menaikkan PPN adalah langkah yang tepat. Kebijakan fiskal tidak boleh justru membebani ekonomi ketika masyarakat dan dunia usaha sedang berupaya bangkit,” ujar Adrian.
Adrian menekankan bahwa PPN bersifat regresif, sehingga kenaikan tarif akan paling berat dirasakan kelompok berpendapatan rendah dan menengah. Hal itu berisiko menekan konsumsi domestik dan memperlemah pertumbuhan.
Dari sisi dunia usaha, kebijakan ini memberikan kepastian yang sangat dibutuhkan bagi perencanaan investasi dan operasi, khususnya di sektor ritel, manufaktur, dan UMKM formal.
Kepastian kebijakan pajak adalah fondasi penting bagi iklim usaha. Pemerintah memberikan sinyal stabilitas yang dibutuhkan untuk terus berinvestasi dan menciptakan lapangan kerja,” lanjut Adrian.
Adrian menilai ruang fiskal ke depan sebaiknya difokuskan pada optimalisasi penerimaan melalui perbaikan administrasi, peningkatan kepatuhan, dan perluasan basis pajak, alih-alih mengandalkan kenaikan tarif semata. Transparansi dan dialog dengan publik juga menjadi kunci legitimasi kebijakan pajak.
“Dalam situasi saat ini, menahan diri untuk tidak menaikkan pajak konsumsi justru adalah stimulus fiskal yang paling tepat sasaran. Ini mencerminkan kebijakan ekonomi yang utuh, memadukan keadilan sosial, keberlanjutan pertumbuhan, dan kepastian usaha,” tutup Adrian.
Olahraga | 2 hari yang lalu
SEA Games 2025 | 1 hari yang lalu
SEA Games 2025 | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
SEA Games 2025 | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 10 jam yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
SEA Games 2025 | 18 jam yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu



