Kekerasan Ke Perempuan Meningkat
Jangan Takut Speak Up, Ayo Laporkan Ke Polisi!
JAKARTA - Jumlah laporan kasus kekerasan pada anak dan perempuan di Jakarta meningkat dalam tiga bulan terakhir ini. Untuk mengerem kejadian itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI mengajak masyarakat aktif memeranginya.
Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengungkapkan, pada 2015 sampai 2021, mayoritas laporan kekerasan terjadi pada anak-anak.
“Tapi di tahun 2022 ini, terutama tiga bulan terakhir (September-November) ini, tiba-tiba persentase sementara, banyak perempuan yang datang melapor,” kata Tuty, di Jakarta Selatan, Senin (12/12).
Tuty menyebut, setiap tahun terjadi sekitar 1.000-1.700 kasus kekerasan pada anak dan perempuan.
“Ini (data) yang datang melapor ya. Yang nggak lapor, kita nggak pernah tahu,” ujarnya.
Dia mengajak masyarakat, khususnya perempuan, berani melapor jika mengalami kekerasan. Sebab, saat ini sudah ada Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 tahun 2022.
“Speak up, jangan malu. Bahwa kekerasan itu perbuatan yang tidak bisa ditoleransi. Negara menjamin perlindungan terhadap korban,” paparnya.
Tuty menjelaskan, bukan hanya korban yang bisa melapor, orang yang melihat aksi kekerasan juga bisa melapor.
“Kalau ada yang melihat, tolong didokumentasikan agar itu bisa menjadi bukti awal pemeriksaan di kepolisian,” lanjutnya.
Pemprov DKI, lanjut dia, sudah menyediakan Pos Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) untuk memudahkan korban atau saksi kekerasan melapor. Pos SAPA sudah tersedia di 50 Halte Transjakarta, 6 Stasiun LRT dan 13 stasiun MRT.
“Kami juga memiliki Jakarta siaga 112, kantor polisi terdekat, Unit Reaksi Cepat (URC) 24 jam P2TP2A di nomor telepon 0813127617622, dan bila terjadi di Transjakarta bisa menghubungi nomor 1500 120,” ujarnya.
Tuty bilang, pihaknya juga bersinergi dengan seluruh stakeholder terkait. Termasuk kader Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK). Mereka rutin melakukan upaya pencegahan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, melalui seminar, kampanye dan sosialisasi.
Kegiatan itu, lanjut dia, mendorong masyarakat agar ketika mengalami atau mengetahui tindak kekerasan segera melaporkannya.
Penjabat (Pj) Ketua TP PKK DKI Jakarta, Mirdiyanti Heru Budi Hartono meminta, edukasi tentang tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dilakukan lebih masif oleh semua pihak.
Permintaan itu disampaikan Mirdiyanti saat kick off Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak pada Rabu (30/11).
Mirdiyanti menegaskan, kampanye 16 hari ini menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas dan cakupan komunikasi serta edukasi kepada masyarakat.
“Semoga upaya kita ini menjadikan Jakarta ramah perempuan dan anak,” harapnya.
Dipaparkan Mirdiyanti, ada tiga poin penting yang ingin dicapai dalam kegiatan kampanye ini. Pertama, pentingnya peranan perempuan atau ibu dalam membentuk karakter generasi mendatang.
Kedua, program perlindungan anak untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Dan ketiga, membentuk anak yang sehat dan terpenuhi hak-haknya. Yaitu hak anak untuk hidup, hak tumbuh kembang dan hak perlindungan.
Ketua TP PKK Jakarta Barat, Liliana Sentosa menambahkan, tujuan utama dilaksanakan kampanye ini untuk mengedukasi masyarakat bahwa kekerasan merupakan pelanggaran HAM. Dan, mengajak semua pihak terlibat aktif sesuai kapasitasnya terhadap upaya mencegah kekerasan.
“Perlu peran serta lintas sektoral supaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan bisa maksimal,” katanya.
Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad mengungkapkan, tahun 2022 ini bersejarah dan harus jadi momentum untuk menghapus kekerasan pada perempuan. Sebab, UU TPKS akhirnya diterbitkan setelah diperjuangkan selama 12 tahun.
UU TPKS itu, lanjutnya, payung hukum untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Dia berharap, UU TPKS dapat mengatasi beragam tantangan dan hambatan korban untuk mendapatkan hak atas keadilan, penanganan dan pemulihan.
“Komnas Perempuan mengajak seluruh kementerian/lembaga dan masyarakat untuk ciptakan ruang aman, “ kata Bahrul.
Bahrul menilai, maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia tidak lepas dari budaya patriarki yang memandang perempuan sebagai objek seksual. Selain itu, kasus kekerasan perempuan juga terjadi karena rendahnya pengetahuan perempuan tentang kekerasan seksual.
“Sering kali, korban itu tidak tahu apakah yang dia alami termasuk kekerasan atau bukan. Padahal, dimarahi atau dibentak saja sudah termasuk kekerasan verbal. Apalagi yang main fisik dan meninggalkan bekas luka, itu adalah kekerasan,” ujarnya.
Bahrul mendorong masyarakat, terutama perempuan, untuk berani berbicara dan melaporkan jika menjadi korban kekerasan atau pelecehan. Terlebih, UU TPKS sudah disahkan.
Kesaksian korban bisa menjadi alat bukti untuk menjerat pelaku.
Meski demikian, Bahrul mengakui masih banyak korban yang tak berdaya atau takut melaporkan kekerasan yang dialaminya. Alasannya beragam seperti takut mendapat stigma sebagai perempuan tidak baik, disalahkan dan takut dianggap perempuan kotor.
Selain itu, banyak juga perempuan yang takut melaporkan kekerasan seksual yang dialami karena tersandung relasi kekuasaan. Hal ini biasanya terjadi di lingkungan kerja, yakni di mana pelaku merupakan atasan korban.
Dia berharap, masyarakat lebih membuka mata dan fakta bahwa kekerasan itu masalah serius.
Sumber berita rm.id :
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 16 jam yang lalu
TangselCity | 14 jam yang lalu