Kelas Rawat Inap BPJS Kesehatan Mulai Dihapus
Iurannya Disamakan Juga Dong, Biar Adil

JAKARTA - Tahun ini, kelas rawat inap 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan akan dihapus secara bertahap. Sebagai gantinya, kelas rawat inap BPJS akan diganti dengan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, seluruh rumah sakit nantinya memiliki aturan serupa dalam pelayanan kesehatan, khususnya rawat inap pasien. Rumah Sakit wajib memenuhi standar kriteria KRIS BPJS Kesehatan demi kenyamanan pasien.
“Jadi, ada 12 standar kamar yang harus dipenuhi oleh kelas rawat inap standar,” ungkap Budi.
Budi mengatakan, penghapusan kelas rawat inap BPJS Kesehatan tidak akan berdampak pada iuran. “Tidak ada,” tegasnya.
Budi mengatakan, satu perubahan yang paling signifikan dalam KRIS, yakni satu ruangan maksimal diisi empat orang. Pemerintah ingin memberikan layanan yang baik untuk masyarakat.
“Jangan terlalu sesak, 4 tempat tidur, ada AC-nya, dan masing-masing tempat tidur ada pemisahnya,” ungkap Budi.
Sebelumnya, pada kebijakan yang masih menggunakan kelas rawat inap, untuk kelas 2 kapasitas maksimal ruangan rawat inap berjumlah lima orang. Untuk kelas 3 kapasitas maksimal ruangan rawat inap berjumlah enam orang.
Adapun 12 kriteria ruang rawat inap yang harus dipenuhi untuk implementasi KRIS secara berurutan, pertama, komponen bangunan yang digunakan tidak memiliki tingkat porositas tinggi.
Kedua, ventilasi udara memenuhi pertukaran udara pada ruang perawatan biasa minimal 6 kali pergantian udara per jam. Ketiga, pencahayaan ruangan buatan mengikuti kriteria standar 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk pencahayaan tidur.
Keempat, kelengkapan tempat tidur berupa adanya 2 kotak kontak dan nurse call pada setiap tempat tidur. Kelima, ada tenaga kesehatan per tempat tidur. Keenam, dapat mempertahankan suhu ruangan mulai 20 celcius sampai dengan 26 celsius.
Ketujuh, ruangan telah terbagi atas jenis kelamin, usia dan jenis penyakit, kepadatan ruang rawat inap maksimal 4 tempat tidur, dengan jarak antartepi tempat tidur minimal 1,5 meter.
Kemudian, tirai/partisi dengan rel dibenamkan menempel di plafon atau menggantung, kamar mandi dalam ruang rawat inap sesuai dengan standar aksesibilitas serta ada outlet oksigen.
Kepala Biro Komunikasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, ada 10 rumah sakit yang sudah melakukan uji coba penetapan KRIS. Hasilnya, kenyamanan pasien meningkat tetapi tidak mengurangi pendapatan rumah sakit.
Nadia merinci, ada sepuluh rumah sakit yang melakukan uji coba KRIS. Yaitu, RSUP Dr Sardjito, RSUD Soedarso dan RSUD Sidoarjo.
Kemudian, RSUD Sultan Syarif Alkadri, RS Santosa Kopo, RS Santosa Central, RS Awal Bros Batam, RS Al Islam, RS Ananda Babelan dan RS Edelweis.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, ada kebutuhan yang lebih penting dari pelayanan kesehatan standar di berbagai rumah sakit Indonesia, ketimbang penghapusan kelas 1, 2, dan 3 di ruang rawat inap.
“KRIS kan fisik. Kalau bisa, justru yang paling penting standarisasi pelayanan klinis, bagaimana mengobati pasien, standarnya seperti apa. Itu yang disebut PNPK atau Pedoman Nasional Praktik Kedokteran, itu dibikin dulu,” kata Ali.
Menurut dia, yang dibutuhkan masyarakat saat ini sebetulnya bukan hanya standarisasi kelas ruang rawat inap, melainkan standar pelayanan pengobatan.
Akun @PasarTonny mendukung perubahan aturan terkait pelayanan rawat inap. Namun, khawatir iuran ikut naik. Kasihan keluarga kalangan menengah ke bawah yang kurang mampu membayar iuran BPJS.
“Cari uang aja sudah susah, mau berobat mahal dan ditambah lagi beban hidup,” tuturnya.
Akun @CitraNingtias1 mengatakan, karena kelas rawat inap disamaratakan, maka iuran pun harus disamakan. “Toh kamarnya juga sama-sama,” ujarnya. “Kalau kelas disamakan, iuran harus disamakan semua biar adil,” timpal @MGempani.
Akun @denykaze menilai, untuk kebijakan layanannya sudah oke. Cuma, harus dipikirkan lagi kuotanya yang terlalu kecil. Secara rinci, yang semula ada 7 kuota sekarang berkurang.
“Nah, 3 kuota ini kalau dikali dengan jumlah pasien yang sakit di negara ini, sudah berapa banyak yang tidak dapat rawat inap,” ungkapnya.
Sementara, @neistrakahfi meminta Kemenkes mengevaluasi kembali kebijakan rawat inap tanpa kelas bagi peserta BPJS Kesehatan. Pembagian kelas harus tetap ada dan harga iuran pun dibedakan.
“Kalau mau disamaratakan, ini yang pegang kebijakan mau kalau sakit disatuin sama masyarakat biasa? Biasanya malah minta fasilitas VIP tapi pakai BPJS,” ujarnya.
Menurut @HelenaCinthia17, dengan iuran BPJS Kesehatan senilai Rp 150 per orang per bulan, paling tidak dalam satu kamar rawat inap maksimal 2 orang. Dengan 4 orang per kamar rawat inap dan disamaratakan, harusnya iuran per bulannya diturunkan dari tarif semula.
“Kalau dibilang merugi terus, kayanya harus dipertanyakan deh. Uang yang selama ini dibayar rakyat dikemanain aja tuh,” ujarnya.
Akun @ria0397 keberatan dengan kebijakan kelas rawat inap disamaratakan. Dia mengaku tidak pernah telat bayar BPJS Kesehatan Rp 150 per orang.
"Tapi kalau sakit disetarakan terus manfaatnya apa bayar BPJS dibedakan tapi kalau sakit disetarakan,” katanya.
“Percuma bayar yang kelas 1. Kecuali sih nanti nggak ada kelas kelasan bayarnya sama semua. Nggak apa-apa selama ini gaji dipotong untuk pembayaran setara kelas 1 dan itu untuk 5 orang lagi,” ungkap @mylacom.
Akun @diany_fadila pesimistis aturan baru ini akan meningkatkan pelayanan BPJS Kesehatan. Regulasi berubah sesuai kepentingan oknum bukan kepentingan rakyat. “Iuran sih nggak berubah, tapi nggak yakin ke depannya bakal memudahkan rakyat,” katanya. rm.id
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu