Menjadi Guru: Menjadi Munafik Demi Suatu Alasan yang Baik
SALAH satu profesi yang banyak dilakukan oleh orang-orang Indonesia adalah menjadi guru. Tidak hanya sebagai profesi, bahkan mungkin sebagai sebuah karakter. Ya, orang Indonesia memang sangat suka menggurui daripada mendengarkan. Profesi guru banyak digeluti oleh orang-orang meski memang secara finansial, kapital gaji yang dihasilkan tidaklah seberapa. Namun terlepas dari itu, ada banyak hal yang saya dapatkan tatkala sudah beberapa waktu menyibukkan diri dengan aktivitas mengajar.
Meski memang guru tercatat sebagai sebuah profesi, namun sebagian orang tidak menganggapnya demikian. Ada sebagian orang yang menjadikan guru sebagai aktivitas positif untuk mewarnai hidup. Orang-orang kerap mengistilahkan guru sebagai sebuah profesi yang secara gaji minim tapi secara pahala maksimal. Gaji sulit, pahala elit. Gaji minimum, pahala premium. Bagaimana tidak, mengurus anak orang memang tidak mudah. Perilakunya yang aduhai bisa membuat otot-otot otak dan leher anda menegang. Namun dengan menjadi guru saya banyak menyadari tentang betapa beratnya dulu guru saya mengajari saya ketika semasa masih menjadi siswa.
Saya yakin karma itu ada, barang siapa yang menyakiti suatu saat pasti akan disakiti. Pada masa ketika masih siswa, saya suka membuat guru pusing dan marah. Ketika sudah menjadi guru, saya pun dibuat pusing dan naik pitam oleh murid-murid saya. Mau marah? Saya jadi teringat bagaimana perilaku saya dulu ketika masih siswa sehingga saya menganggap bahwa apa yang terjadi sekarang adalah konsekuensi dan penebusan dari apa yang sudah pernah saya lakukan di masa lalu.
Di satu sisi, saya harus menyadari bahwa saya pernah berbuat tidak baik semasa masih siswa namun di sisi lain saya juga harus mengajari hal-hal baik yang dulu sering saya langgar. Bahkan sampai sekarang tidak semua yang saya ajarkan adalah apa yang menjadi cerminan dalam hidup saya sendiri. Seperti menjadi munafik tapi demi sesuatu yang baik tetap harus dilakukan. Entah, kenapa menjadi guru bagi saya adalah jalan menjadi orang munafik. Bagaimana tidak, kita menyuruh orang untuk menjadi baik sementara diri kita belum begitu benar-benar menjadi baik.
Seorang teman pernah bertukar cerita tentang pengalamannya selama mengajar di sebuah sekolah. Ia bercerita bahwa menjadi guru harus banyak-banyak pasang muka malaikat meski sebenarnya hatinya hati iblis. Mencontohkan yang baik di depan siswa meski sampai di rumah kembali ke pengaturan asal, menjadi tidak baik lagi. Tapi apakah yang seperti itu baik? Saya rasa jawabannya iya dan tidak.
Jika menunggu untuk benar-benar baik agar bisa menjadi guru, maka siapa yang benar-benar pantas untuk menjadi guru? Saya kira prinsip dalam hal ini yang perlu dipegang teguh adalah “undzur ma qila wa la tandzur man qala”. Lihat atau fokus pada apa yang dikatakan, bukan pada siapa yang berkata. Ketika yang dikatakan benar dan baik maka ikutilah meski yang berbicara adalah seekor anjing sakalipun. Terlebih, ada maqalah lain yang bilang “qul al-haq walau kana murran”, katakanlah yang benar meskipun itu pahit. Ketika mengajar atau membina murid kita harus mengatakan dan mengajarkan apa yang sebenarnya meskipun secara kenyataan itu pahit karena mungkin tidak sesuai dengan diri kita sendiri.
Meskipun demikian, usaha untuk menjadi lebih baik atau setidaknya usaha untuk bisa menyamakan perilaku dengan apa yang diajarkan tetap harus dilakukan. Barangkali dengan menjadi guru ataupun ustaz, rasa atau tanggung jawab untuk menjadi pribadi yang baik semakin tinggi sehingga menjadi semakin terpacu untuk semakin memperbaiki diri. Inilah mengapa metode belajar yang baik adalah dengan cara mengajarinya kepada orang lain. Belajar yang baik adalah dengan cara menjadi guru. Dengan menjadi guru, selain mengajarkannya, kita juga punya tanggung jawab untuk bisa benar-benar memahami sesuatu, mengamalkannya, dan mencontohkannya. Dengan adanya tanggung jawab ganda seperti itulah pengetahuan dan kemampuan baru akan terus didapatkan oleh seorang guru.
Dengan menjadi guru juga bisa menjadi momen introspeksi diri atas apa saja yang telah diperbuat dalam hidup. Adanya rasa tanggung jawab untuk menjadi lebih baik dari siswa, agar dapat pantas menjadi orang yang patut dituruti menjadi pemicu tersendiri untuk menjadi diri yang lebih baik. Meskipun memang tidak bisa dipungkiri, guru pasti mempunyai salah karena memang guru masihlah manusia biasa. Namun dengan adanya tanggungan bahwa ada orang yang patut untuk diberikan contoh baik yakni para murid yang kita ajari, hal itu akan menjadi rem tersendiri bagi kita ketika akan melakukan sesuatu yang tidak baik. Ketika terbesit untuk melakukan sesuatu yang tidak baik, kita akan berpikir dua kali bagaimana nantinya kalau murid kita juga melakukan hal seperti itu. Itulah mengapa menjadi guru banyak manfaatnya meski memang gajinya tidak seberapa. Pada akhirnya, menjadi guru tidak lagi merupakan jalan untuk menjadi munafik melainkan jalan untuk memperbaiki diri sendiri sembari mengajak orang untuk juga mengerjakan hal-hal yang baik.
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 18 jam yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 10 jam yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu