Makna Iqra’ Keempat (1)
CIPUTAT - Dalam pembahasan Iqra’ ketiga dibahas tentang makna isyari Al-Qur'an, yang penekanannya pada how to understand atau how to realize, yakni bagaimana memahami dan sekaligus merealisasikan makna dan kandungan Al-Qur'an, namun masih dalam batas menggunakan kecerdasan internal manusia, seperti kekuatan kecerdasan reason (akal) dan intellectual (jiwa) manusia.
Level Iqra' keempat ini sudah berusaha untuk memahami makna-makna halus dan abstrak Al-Qur’an (lathaif al-Qur’an).
Upaya mengakses level ini tidak cukup dengan mengandalkan kecerdasan internal, tetapi sudah mengandalkan kecerdasan eksternal atau supra kesadaran manusia.
Dalam literatur tasawuf, kecerdasan eksternal ini sering disebut dengan "pengetahuan keilahian" (Divine Knowledge) atau dalam literatur filsafat sering disebut dengan acquiring knowledge, yakni pengetahuan yang datang melesat di dalam benak seseorang tanpa melalui proses belajar-mengajar secara konvensional.
Pengetahuan seperti ini sering disebut atau dihubungkan dengan ilham, yakni kecerdasan yang diberikan Allah SWT kepada hamba pilihan-Nya.
Iqra' keempat sesungguhnya merupakan kelanjutan kesadaran yang pernah dicapai di dalam iqra'-iqra' sebelumnya. Rahasia pengulangan iqra' mengisyaratkan perlunya kita menyadari bahwa kesadaran itu bertingkat-tingkat.
Kata "kesadaran" dalam bahasa Indonesia setidaknya bisa dibagi kepada beberapa tingkatan, antara lain: Sadar dalam arti terbangun dari tidur (to wake up), sadar dalam arti mengerti (to know) sesuatu yang tadinya tidak dimengerti, sadar dalam arti memahami secara mendalam (to understand), sadar dalam arti merealisasi (to realize) dari apa yang telah difahami, sadar dalam arti menjadikan karakter terhadap kesadaran mendalam (to conscious), dan sadar dalam arti mencapai puncak kesadaran sampai tidak menyadari ada keberadaan selain keberadaan Tuhan (to annihilate) atau dalam bahasa tasawuf disebut dengan fana' atau 'mabuk' spiritual. Inilah yang disebut dengan mabuk setelah sadar (al-sahwu ba'd al-mahyu).
Setelah berada dalam ketidak sadaran (fana') akhirnya yang bersangkutan sadar dari kemabukan spiritual tersebut. Inilah yang disebut dengan kesadaran setelah mabuk (al-mahwu ba'd al-sahwu).
Kesadaran yang terakhir ini sebenarnya masih bisa dibagi dua bagian. Pertama, kesadaran dalam level qurb al-nawafil, ketika seseorang menyadari kesadarannya kembali setelah mabuk spiritual.
Kedua, kesadaran level qurb al-faraidh, ketika seseorang tidak lagi menyadari kalau dirinya pernah mengalami ektase spiritual (al-wajd), dengan kata lain, ia sudah mampu mengendalikan totalitas kesadarannya, termasuk menentukan kapan saatnya untuk fana’ dan kapan saatnya untuk bangkit dari kefanaan.
Yang pertama sudah diberi kemampuan untuk menggunakan penglihatan (al-bashirah) Allah untuk melihat dan pendengaran (al-sam’) Allah untuk mendengar.
Sedangkan yang kedua sudah mampu menggunakan mata (al-‘ain) Allah untuk melihat dan telinga (al-udzun) Allah untuk mendengar. Sudah barang tentu yang terakhir ini lebih tajam dan lebih valid daripada yang pertama.
Dalam banyak ayat di Al-Qur’an juga mengisyaratkan adanya tahapan (grade) yang harus dilewati setiap orang yang berusaha mencapai puncak, antara lain: Sesungguhnya kalian melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan). (Q.S. al-Isyiqaq/84:19).
Dalam ayat lain juga diisyaratkan: sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah Allah wahyukan. (Q.S. al-Najm/53:3-12). Untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi tentu juga memerlukan upaya lebih tinggi.
Cara mengakses iqra' keempat atau kesadaran lebih tinggi diperlukan latihan (riyadhah) dan konsistensi batin secara rutin dan terus menerus (istiqamah). Tentu saja upaya keras dan sungguh-sungguh secara batin (mujahadah) harus berbanding lurus dengan pemenuhan kewajiban sebagai hamba dan khalifah. Individu yang bersih lahir dan batin (thaharah) selalu dipertahankan sambil terus bermunajat kepada Allah SWT.
Iqra' keempat ini sudah lebih merupakan akibat dari perjuangan panjang, bukan lagi sebab, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang belajar secara konvensional.
Pengetahuan ini juga sering disebut dengan ilmu ladunni, sebagaimana diuraikan di dalam 12 ayat dalam Q.S. al-Kahfi (Lihat artikel terdahulu tentang Epistimologi Khidhir).
Al-Qur’an mengisyaratkan perlunya manusia terus mencari jalan (suluk) untuk meraih prestasi spiritual lebih tinggi, seperti dinyatakan dalam ayat: Maka apakah mereka tidak mengembara di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Q.S.al-Haj/22:46).
Iqra’ keempat akan mengantarkan seseorang untuk memiliki kemampuan membaca apapun yang dilihat atau yang didengarnya sebagai ayat-ayat Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam ayat: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Q.S. Fushilat/41:53). Orang-orang yang mencapai level iqqra’ keempat kualitas spiritualnya sudah lebih peka. Bagaimana mengakses iqra’ keempat, akan dibahas dalam artikel mendatang.
Nasional | 10 jam yang lalu
Pos Tangerang | 21 jam yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 9 jam yang lalu
Olahraga | 10 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu