TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers
Membaca Ulang Al-Qur’an (21):

Antara al-Qur’an dan al-Furqan

Oleh: Prof. KH. Nazaruddin Umar
Editor: admin
Rabu, 12 April 2023 | 09:28 WIB
Prof. KH. Nazaruddin Umar
Prof. KH. Nazaruddin Umar

CIPUTAT - Makna isyari Al-Qur’an dan Al-Furqan dan fungsinya bisa dibedakan. Secara populer, Al-Qur’an dan al-Furqan mempunyai arti sama, yakni kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Jibril, kemudian menjadi sebuah Kitab tuntunan hidup bagi umat Islam.

Secara harfiah, al-qur’an berasal dari akar kata qara`a-yaqrau berarti menghimpun atau mengumpulkan (al-jam’), membaca (al-nuthq). Dari akar kata tersebut lahirlah kata al-qur’an berarti himpunan atau kumpulan (solidifications). Dari akar kata yang sama lahir kata Al-Qur’an yang berarti Kitab Suci yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Jibril untuk dijadikan tuntunan hidup bagi umatnya. Disebut Al-Qur’an karena kitab itu berisi bacaan atau himpunan (qur’an) dan kandungannya menghimpun keseluruhan inti ajaran kitab-kitab suci sebelumnya.

Dalam pandangan tasawuf, sebagaimana dijelaskan Dawud al-Qusyairi, salah seorang musyariih Kitab Fushush al-Hikam karya Ibn Arabi, al-qur’an dimaknai sebagai himpunan dari berbagai realitas dan entitas yang ada. Al-qur’an sering dijadikan istilah untuk maqam lebih tinggi (al-maqam al-‘ulya) atau sering menjadi atribut bagi ‘manusia langit’ (al-insal al-samawi), yaitu orang-orang yang sudah memandang pluralitas kehdupan dan heterogenitas alam semesta sebagai wujud entitas Ilahi (al-jam’iyyah al-ilahiyyah/single divine-entity).

Al-Qur’an menjadi atribut bagi orang yang sudah sampai kepada maqam atas, yang tidak terganggu lagi dengan kahadiran entitas-entitas yang bermacam-macam bahkan cenderung berkontradiksi satu sama lain.

Manusia langit (al-insan al-samawi) yang biasa disebut manusia qur’ani (al-insan al-qur’ani) tidak lagi sibuk mencari identitas setiap entitas yang ada karena mereka sudah sampai kepada kesadaran bahwa pluralitas kehidupan dan heterogenitas entitas yang ada sesungguhnya adalah satu (the oneness). Apa yang tampak sebagai the whole entity dalam alam semesta ini, baik makrokosmos maupun mikrokosmos, tidak lain adalah pengejawentahan (tajalli) diri-Nya Sang Maha Esa. Orang yang sampai kepada maqam ini disebut maqam al-qurb al-nawafil. Ada orang yang sampai kepada puncak penyaksian bahwa sesungguhnya yang ada ini tidak ada siapapun dan apapun selain Dia Yang Maha Esa (ahadiyyah/the one and only). Maqam ini dalam artikel mendatang disebut maqam Al-qurb al-faraid.

Manusia qur’ani tidak lagi tersedot energinya untuk mengidentifikasi entitas-entitas yang ada karena mereka melihat apa yang ada sesungguhnya adalah hanya sebuah realitas. Tantangan kita sekarang bagaimana beranjak dari manusia bumi menjadi manusia langit. Apa karakter ‘manusia bumi’ dan ‘manusia langit’, lihat artikel berikutnya.

Sedangkan al-furqan secara harfiah berasal dari kata farraqa-yufarriqu-furqan berarti membedakan, memisahkan, membagi-bagi, dan memperhadap-hadapkan. Dari akar kata ini lahir kata Al-Furqan, nama lain dari Al-Qur’an berarti memisahkan antara yang haq dan bathil, baik dan buruk. Akan tetapi, dalam perspektif tasawuf, khususnya dalam kajian Ibn ‘Arabi dalam kitab Fushush al-Hikam, kata al-furqan sering digunakan sebagai lambang identitas bumi dan maqam rendah (al-maqam al-sufla). Disebut “manusia bumi” (al-insan al-ardh) atau al-insan al-furqan, karena paradigmanya masih memandang realitas alam ini sebagai makhluk dan entitas yang beraneka ragam.

Keanekaragaman realitas ini kemudian menyedot energinya untuk melakukan identifikasi, mencari perbedaan dan persamaan antara satu realitas dengan realitas lain. Bahkan perbedaan itu mempengaruhi karakter dan kepribadianya. Ada yang disukai berlebihan dan ada yang dibenci secara berlebihan. Mereka menikmati tetapi sekaligus terbebani dengan pluralisme kehidupan dan heterogenitas alam semesta. Namun, lebih banyak energinya tersedot untuk melakukan penyesuaian di antara berbagai pluralitas yang ada.

Manusia bumi sulit merasakan kebahagiaan dan kedamaian secara permanen karena paradigmanya masih lebih sering memperhadap-hadapkan antara identitas satu entitas dengan entitas yang lain. Akhirnya ia tidak pernah merasa penuh dan puas kartena sehari-hari mengejar bayangan fatamorgana. Allahu a’lam.

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Salah Benar
Jumat, 07 Februari 2025
Dahlan Iskan
Kompor Bahlil
Kamis, 06 Februari 2025
Dahlan Iskan
Churchill Jonan
Rabu, 05 Februari 2025
Dahlan Iskan
Jantung Jonan
Selasa, 04 Februari 2025
Dahlan Iskan
Puasa Dinas
Senin, 03 Februari 2025
Dahlan Iskan
Makian DeLiang
Jumat, 31 Januari 2025
ePaper Edisi 07 Februari 2025
Berita Populer
01
Lloyd Kelly Resmi Gabung Juventus

Olahraga | 1 hari yang lalu

02
Megawati Main Apik, Red Sparks Kembali Menang

Olahraga | 18 jam yang lalu

03
Ribuan Pengecer Gas 3 Kg Bikin NIB

Pos Banten | 2 hari yang lalu

05
Nyawa Pelajar SD Di Pandeglang Dipertaruhkan

Pos Banten | 2 hari yang lalu

GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit