Wawancara Eksklusif Dengan Dubes Sudan Untuk Indonesia Yassir Mohamed Ali
Indonesia Akan Masuk 10 Besar Kekuatan Ekonomi Dunia
JAKARTA - Duta Besar (Dubes) Sudan untuk Indonesia Yassir Mohamed Ali, bercerita soal kondisi terkini di negaranya. Dubes Ali yakin, konflik antara militer Sudan (SAF) dengan Pasukan Pendukung Cepat (RSF) di negaranya akan segera berakhir. Kondisi akan seperti sedia kala.
Keyakinan itu disampaikan Dubes Ali saat bertandang ke dapur redaksi Rakyat Merdeka & RM.id (Tangsel Pos Grup) kemarin sore. Itu kunjungan pertama Ali ke kantor redaksi media sejak bertugas di Jakarta awal tahun ini.
Bersama Wakil Dubes Sudan untuk Indonesia, Sid Ahmed M. Alamain Hamid Alamain, Dubes Ali bercerita soal situasi terbaru di negaranya.
"Saya yakin, situasinya akan kembali normal," ujar Ali.
Apalagi kedua pihak yang bertikai, dengan fasilitasi Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi, Kamis (11/5), telah meneken Deklarasi Jeddah untuk melindungi warga sipil dan relawan kemanusiaan di Sudan. Kedua pihak sepakat untuk tidak menargetkan rumah sakit sebagai sasaran.
"RSF juga berjanji menghentikan penjarahan toko seperti yang mereka lakukan sebelumnya," ucapnya.
Namun, sambung Ali, ada sedikit keraguan RSF bakal komit dengan janjinya. Pasalnya, saluran komunikasi organisasi milisi RSF telah berhasil diputus militer Sudan. Dan pasukan RSF tercerai-berai.
"Saya meragukan mereka bakal terorganisir untuk mengikuti apa yang telah disepakati perwakilan mereka di Jeddah," ujarnya.
Saat ini, sambungnya, RSF telah kehilangan lebih dari 90 persen kemampuan tempur di sebagian besar dari 18 Negara Bagian Sudan. RSF juga kehilangan lebih dari 70 persen pasukannya di Ibu Kota. "Perkiraan militer yang dikonfirmasi menunjukkan, konflik ini akan segera berakhir, dan tidak akan bertahan lama, Insya Allah," harapnya.
Terkait kondisi warga di Ibu Kota Khartoum yang berpopulasi sekitar 8 juta jiwa, Ali mengatakan, lebih dari setengahnya masih tinggal di lingkungan yang aman. Selain itu, belum ada kamp pengungsi akibat operasi militer.
Namun, lanjutnya, dimulainya kembali proses politik tidak akan terjadi kecuali pasukan pemberontak sepenuhnya dihilangkan. Serta tercapai prinsip satu tentara nasional.
"Makanya, dengan tegas dinyatakan, bahwa konflik berdarah yang terjadi di Sudan adalah karena pemberontakan RSF untuk merebut kekuasaan dengan senjata," kata Dubes yang pernah jadi jurnalis itu.
Ali melanjutkan, insiden tersebut dianggap sebagai masalah internal negara serta tidak memerlukan campur tangan pihak asing. Hal itu juga dikonfirmasi pernyataan Liga Arab dan Uni Afrika. Yang diperlukan sekarang hanyalah: dukungan politik untuk Sudan ke arah lebih baik. "Sertai memberikan bantuan kemanusiaan dan lainnya dalam koordinasi dengan otoritas negara Sudan," ujar mantan Dubes Sudan untuk Tanzania itu.
Dubes Ali pun berharap secepatnya bisa bertemu Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi untuk menyampaikan perkembangan situasi dan bantuan untuk Sudan. "Insya Allah minggu depan bakal jumpa," kata penggemar minuman teh susu ini.
Terkait peningkatan kerja sama bilateral, Dubes lulusan Jawaharlal Nehru University, India itu, memuji Indonesia sebagai salah satu dari 20 besar kekuatan ekonomi dunia. Dia juga yakin, dalam beberapa tahun mendatang, Indonesia akan masuk jadi 10 besar kekuatan ekonomi dunia. "Kalau ada kerja sama yang nyata, kita bisa membangun Sudan, begitu juga dengan Sudan Selatan," ujarnya.
Menurutnya, kerja sama itu tidak harus dengan mengikuti visi Barat. Sebagai negara dengan ekonomi 20 besar dunia, ditambah dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia bisa jadi negara yang independen. "Bukan hanya karena sesama Muslim, meski hal itu tidak bisa diabaikan sebagai ikatan yang menyatukan kita," ujarnya.
Sambil menikmati cemilan khas Nusantara, getuk, Dubes Ali bercerita awal mula konflik militer dengan RSF meletus. Dia bilang, RSF didirikan pada 2017, berdasarkan Undang-Undang yang disetujui Parlemen Sudan. RSF menjadi pasukan reguler yang tunduk kepada komando Panglima Angkatan Bersenjata.
Misinya, memberikan dukungan kepada angkatan bersenjata dalam menghadapi kelompok bersenjata di luar negara bagian di wilayah Darfur. "Selain itu juga dalam memerangi gerombolan penyelundup manusia, dan berpartisipasi dalam perlindungan perbatasan," katanya.
Pasca revolusi Desember 2018, Panglima RSF, Muhammad Hamdan Daglo alias Hemedti terpilih menjadi anggota Dewan Militer Peralihan (TMC). Lembaga itu dibentuk pada April 2019.
Hemedti lalu jadi Wakil Presiden Dewan Kedaulatan Peralihan, setelah pembentukannya pada Agustus 2019. Selama empat tahun terakhir, jumlah pasukannya berlipat ganda. Dari 21 ribu menjadi lebih dari 100 ribu. Dengan persenjataan dan kemampuan tempur yang tinggi.
Selanjutnya, sesuai visi komando angkatan darat, berdasarkan kesepakatan kerangka kerja yang ditandatangani Desember 2022 antara komponen militer dan sejumlah kelompok politik, yakni membuka jalan bagi pembentukan pemerintahan transisi sipil. Itu untuk membangun kesatuan tentara nasional, dengan menggabungkan RSF dalam waktu dua tahun, sesuai program reformasi, keamanan dan militer.
Namun, pimpinan RSF percaya bahwa dukungan mereka membutuhkan waktu 10 tahun, dengan RSF akan sepenuhnya independen dari angkatan bersenjata. Tapi, itu dianggap sebagai pelanggaran disiplin militer. Pasalnya, dengan kekuatan besar, RSF akan menjadi ancaman langsung terhadap keamanan nasional.
Selanjutnya, pimpinan RSF memobilisasi hampir 50 ribu pasukannya di Ibu Kota Khartoum, dengan formasi tempur. Selain itu juga memobilisasi pasukannya di sejumlah kota lain, dengan cara yang provokatif dan tidak bisa dibenarkan.
"Karena semua proses politik mengharuskan semua pasukan militer kembali ke barak, segera setelah pemerintahan sipil transisi didirikan," terangnya.
Setelah berbagai eskalasi, dan upaya pembicaraan yang gagal, RSF kemudian menyerang Istana Kepresidenan. Kata dia, RSF yakin akan berhasil rencana mengendalikan Pemerintah secara paksa. Pasukan Pengawal Presiden jadi yang pertama menghadapi RSF dalam konfrontasi.
Akibatnya, ratusan orang mengungsi. Tak kurang dari 500 orang tewas, termasuk warga sipil. "Ada 35 pasukan yang gugur sebagai martir dalam serangan itu," ungkapnya.
Pasca serangan itu, militer bergerak cepat. RSF lalu dibubarkan dan dinyatakan sebagai pemberontak. Beberapa unitnya kemudian diputuskan digabungkan menjadi Pasukan Penjaga Perbatasan. Pemerintah Sudan juga masih membuka bagi elemen dan anggota pasukan pemberontak untuk meletakkan senjata mereka dan berintegrasi ke dalam militer Sudan.
Ali menambahkan, militer Sudan merupakan institusi nasional tertua di negara itu. Usianya hampir 100 tahun. Militer dianggap sebagai perwujudan semua pilar persatuan nasional di negara. (RM.id)
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 22 jam yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu