Soal Data Pertanian, Presiden Kembali Marah
JAKARTA - Masalah pertanian kembali jadi sorotan Presiden Jokowi. Kali ini, Kepala Negara menyinggung data pertanian yang kerap tidak akurat. Karena data yang tidak akurat, kebijakan yang dibuat akhirnya tidak tepat. Nggak heran, kalau Presiden kembali marah.
Pernyataan Presiden itu, disampaikan dalam sambutan pembukaan Pencanangan Pelaksanaan Sensus Pertanian 2023 di Istana Negara, Jakarta, kemarin. Sensus pertanian akan digelar 1 Juni hingga 31 Juli 2023.
"Kita tahu untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang tepat butuh data yang akurat. Sering kita kedodoran di sini. Lahan pertanian kita berapa, butuh pupuk berapa, sering data itu tidak siap dan akurat," kata Jokowi di awal sambutannya.
Mantan gubernur DKI Jakarta itu menegaskan, sensus pertanian dilakukan karena melibatkan hajat hidup orang banyak. Sehingga butuh validitas data untuk menerbitkan kebijakan yang tepat.
Ia mengambil contoh subsidi pupuk. Pemerintah memutuskan mensubsidi 9 juta ton pupuk, tapi di lapangan banyak petani berteriak tidak dapat. Artinya, ada dua kemungkinan: suplainya kurang atau distribusinya tidak benar.
"Tapi kalau datanya akurat, gampang sekali. Oh ya bukan sembilan juta ton tapi 13 juta ton misalnya. Sudah, rampung, enggak ada keluhan," kritik Jokowi.
Presiden 2 periode itu mengaku heran, proses pencarian data untuk hal yang sifatnya penting, justru dilakukan 10 tahun sekali. Padahal, seiring berjalannya waktu, sudah banyak yang berubah. Idealnya, sensus pertanian dilakukan 5 tahun sekali.
"Biayanya juga enggak banyak. Berapa sih, mungkin Rp 3 triliunan, menurut saya, tapi penting. Bagaimana saya bisa memutuskan sebuah kebijakan kalau datanya enggak akurat, yang paling ter-update, terkini," pesan Jokowi.
Presiden kembali menegaskan soal sektor pertanian yang dianggapnya memiliki peran strategis. Data yang sampai ke meja Jokowi, sektor pertanian ini menyangkut perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Bahkan berkontribusi 11,8 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Tak hanya itu, sektor pertanian menyangkut hajat hidup orang banyak. Apalagi, ancaman krisis pangan di depan mata akibat perang yang tak kunjung usai. Dia lalu memprediksi kritis pangan akan berdampak pada 345 juta orang di dunia yang terancam kelaparan.
"Ini juga menyediakan lapangan kerja, 40 juta orang hidup di sektor ini, ini sudah 29 persen dari total angkatan kerja, banyak sekali," tegasnya.
Kepala BPS Margo Yuwono menjelaskan, sensus ini akan dilaksanakan pada 1 Juni hingga 31 Juli 2023, dan mencakup tujuh subsektor utama. Seperti tanaman pangan, hotikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan, dan jasa pertanian. Harapannya, hasil sensus ini dijadikan landasan yang valid dalam perumusan kebinakan di sektor pertanian.
Margo menjelaskan, sektor pertanian memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan, pembangunan dan perekonomian indonesia. Terbukti saat Covid-19 dan ekonomi indonesia terkontraksi -2,07 persen. Pertanian justru tetap tumbuh positif di angka 1,77 persen, dan tahun 2021 tumbuh 1,87 persen.
Kemudian, pada 2022 tumbuh 2,25 persen dan memberikan kontribusi pada perekonomian nasional sebesar 12,40 persen. Di sisi lain, sektor pertanian juga mampu menyerap 40,69 juta orang atau 29,36 persen tenaga kerja pada Februari 2023.
"Keberhasilan sektor pertanian 2023 ini tentu memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak," bebernya.
Adapun tujuan utama sensus ini, lanjutnya, adalah menyediakan data terkait kondisi pertanian Indonesia secara komprehensif sampai wilayah terkecil dengan metode by name by address. Selanjutnya, data tersebut dapat digunakan sebagai acuan targeting program Pemerintah di bidang pertanian.
"Termasuk juga program urban farming, struktur demografi petani milenial, luas lahan pertanian menurut penggunaan jenis kepemilikan dan irigasi, penyediaan basis data UMKM di sektor pertanian dan lain sebagainya," terang Margo.
Peneliti Indef Sugiyo Madelan mengatakan, saat ini data pertanian menyangkut produksi dilakukan atas dasar estimasi, dan menggunakan asumsi tertentu. Sehingga kerap terjadi perdebatan mengenai jumlah produksi, seperti pada produksi gabah, beras, gula tebu, tandan buah segar sawit.
Demikian pula dengan jumlah konsumsi menggunakan pendekatan demand apparent, sehingga konsumsi memerlukan penyesuaian. "Akibatnya, perhitungan swasembada maupun kebutuhan impor seringkali memerlukan penyamaan persepsi dan menimbulkan perbedaan tafsir," ulas Sugiyono.
Anggota Komisi IV DPR Daniel Johan mengamini bahwa data pertanian harus realtime. Instrumen yang bisa dilakukan dengan memperpendek masa sensus menjadi 3-5 tahun. Namun, tetap memasukkan data setiap tahun dengan memaksimalkan dinas pertanian di daerah.
"Seperti kapan tanam, kapan waktu pemupukan, komoditi apa yang sedang atau akan panen, daerah mana yang panen raya, daerah mana yang kekurangan. Sehingga keputusan untuk mengambil kebijakan cepat dan tepat," usulnya.
Apalagi, saat ini digitalisasi pertanian dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan data secara real time. Kebijakan Pemerintah untuk mendorong pemanfaatan digitalisasi pertanian harus diambil apabila Pemerintah ingin memiliki data yang valid dan uptodate.
Faktanya, pertanian kita memiliki potensi yang besar. Namun, tantangannya adalah alih fungsi lahan akibat pembangunan yang kurang mempertimbangkan keberlanjutan pertanian. Ada banyak lahan yang beralih fungsi menjadi banguan perumahan maupun perkantoran.
"Dengan demikian perlindungan terhadap lahan-lahan produktif harus dilakukan. Kita punya UU perlindungan lahan pertanian berkelanjutan (UU No.41 tahun 2009). Namun, kenyataan UU tidak berjalan dengan baik," sesal politisi PKB ini. (RM.id)
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Advertorial | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu