Petugas Partai vs Petugas Rakyat
KITA berhadapan dengan dua istilah, petugas partai dan petugas rakyat. Seakan keduanya diametral dan dikotomistik. Petugas partai dimaknai sebagai orang yang diserahi tugas menjalankan visi dan misi partai pada semua cabang kekuasaan, entah eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Konsekuensinya mereka bertanggungjawab penuh pada partai.
Petugas rakyat mungkin diasumsikan bertumbuh, berkembang, dipilih dari, oleh dan untuk rakyat. Diimajinasi kita seakan si petugas bertanggungjawab penuh pada rakyat. Persoalannya rakyat yang mana? Sebab kelompok-kelompok dalam masyarakat bukanlah massa yang cair, tapi padat oleh sekat kepentingan masing-masing. Faktanya setiap kita tentu punya preferensi pilihan yang berbeda satu sama lain.
Sebenarnya kedua istilah itu memiliki akar tunjang yang sama. Keduanya berbasis rakyat. Partai lahir dan dibentuk oleh rakyat dengan kepentingan, cita-cita, nilai dan idiologi yang diorganisir lebih terang-benderang (Budiarjo, Burke, Sartori dll). Kelompok-kelompok itu mengidentifikasi diri menjadi partai politik untuk mencapai kepentingan bersama. Jadi partai pada dasarnya representasi rakyat yang bersifat eklusif.
Artinya, rakyat yang bercokol di partai adalah mereka yang memiliki kesamaan gagasan dan cita-cita meraih tujuan tertinggi, kekuasaan. Tentu saja fungsi partai tak melulu mewadahi kepentingan dimaksud, juga melakukan rekrutmen, sosialisasi, agregasi, bahkan artikulasi kepentingan (rakyat). Jadi petugas partai itu pada dasarnya adalah petugas rakyat, hanya mondok di partai. Kewajiban partai terhadap para petugasnya meningkatkan pengetahuan, kecakapan, dan sikap mental dalam berpolitik.
Gambaran ideal partai sesungguhnya jauh lebih meyakinkan dan bertanggungjawab ketika mereka mengirim petugas untuk melaksanakan agenda partai yang notabene adalah refleksi dari kepentingan rakyat. Di partai, kepentingan rakyat sejogjanya di proses, dibakukan, semacam dipabrikasi menjadi produk tertentu yang menjadi jualan jangka panjang dan jangka pendek. Bila laku, mereka menjalankan pemerintahan, baik sendiri maupun berkoalisi. Sisanya menjadi oposisi sampai terjadi sirkulasi berikutnya.
Dibanding petugas rakyat yang tak memiliki alur pertanggungjawaban yang jelas, tentu saja jauh lebih logis memahami alur petugas partai. Partai dapat ditemukan alamatnya, pemiliknya, organisasinya, petugasnya, bahkan legalitasnya. Petugas rakyat sulit diidentifikasi, kecuali jargon politik yang berisi kritik sekaligus antitesa atas kegagalan partai merefleksikan kepentingan rakyat sejauh ini.
Istilah petugas rakyat tentu abstrak dan samar, tak dapat di sentuh apalagi dimintai tanggungjawab. Tetapi sekali lagi sebagai kritik terhadap petugas partai yang terlalu berakar ke atas (akar jenggot) penting menjadi catatan serius. Pengkhianatan partai atas kepentingan rakyat selama ini telah melahirkan semacam distrust dan antipati terhadap kinerja partai. Korupsi dan persengkokolan dengan kaum oligarki jelas melukai nurani rakyat. Keberpihakan pada rakyat luntur oleh dominasi elitnya.
Agar para petugas partai dapat di terima dengan familiar dan friendly, tugas utama para elit dan anggota partai adalah menampilkan performa sebaik mungkin, mengawal kepentingan rakyat dalam arti senyatanya, bukan melebur pada kepentingan kelompok tertentu. Dengan begitu kita percaya bahwa partai adalah kumpulan para petugas partai, sekaligus petugas rakyat yang terbaik (primus interpares). Tanpa partai, kita hanya akan kembali pada model sirkulasi tradisional, monarchi atau barbarian.(*)
*) Penulis adalah analis pada Pusat Kajian Strategis Pemerintahan Jakarta
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu