Citra Polisi Ke Depan
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, telah menyatakan harapannya terkait Tim Khusus yang dibentuk Polri, menyusul kasus polisi menembak polisi yang menewaskan Brigadir Novriansyah Yoshua atau Brigadir J. Mahfud tidak ingin citra baik Polri dirusak karena proses pengusutan kasus ini.
Menurut Mahfud, pengusutan kasus ini harus terang dan transparan, dikarenakan citra Polri yang dalam kurun waktu 1,5 tahun terakhir yang cemerlang.
Mahfud mengatakan, dalam survei terbaru, institusi masih mendapatkan persepsi baik, sehingga dia mengharapkan pengusutan kasus ini tidak membawa nama buruk dan merusak persepsi masyarakat terhadap Polri.
Perkembangan masyarakat dan politik menuntut polisi untuk menunjukkan kinerja profesionalnya dan sungguh-sungguh menjadi garda depan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Polisi berdiri paling depan sebagai aparat hukum yang berandil besar dalam mewujudkan keadilan hukum di negeri ini. Itu juga menjadi refleksi paling mendasar Polri selama ini. Begitu banyak kasus yang menunjukkan aparat belum bekerja secara profesional dan menjadi pelindung rakyat dalam arti sesungguhnya.
Polri harus berpegang teguh pada semangat Pak Hoegeng, yang sederhana tetap teguh menjalankan hukum. Polri yang totalitas dalam pelayanan publik harus meneladani Jenderal Hoegeng sebagai model dalam menjalankan tugas dan kewajibannya menjaga NKRI.
Polisi masih menyisakan begitu banyak agenda. Cara-cara menyelesaikan masalah hukum yang masih menonjolkan kekerasan juga menjadi sorotan tajam masyarakat dewasa ini.
Keterlibatan oknum-oknum dalam pelanggaran hukum, seperti kriminalitas dan korupsi, menjadi catatan penting selama ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa polisi masih belum menunjukkan kinerjanya yang maksimal.
Atas hal ini, tentu ada pendekatan yang perlu dikaji ulang agar terorisme bisa ditumpas bukan di permukaannya saja, namun sampai akar-akarnya. Kekerasan tidak selalu berhasil menyelesaikan masalah.
Berbagai kasus yang mengemuka juga mempertegas keterpurukan citra polisi semakin jauh. Masyarakat masih sering menganggap polisi sebagai aparat yang bengis daripada aparat yang bersahabat. Ini belum sesuai dengan slogan polisi yang menyatakan bahwa mereka adalah mitra masyarakat.
Agenda berat bagi Kapolri salah satunya adalah bagaimana mengembalikan citra dan kewibawaan polisi. Perlu reformasi cara pandang yang mendasar agar kewibawaan dan citra polisi kembali pulih.
Apa yang kita hadapi bersama-sama sebagai bangsa saat ini adalah melorotnya martabat hukum dalam berbagai level. Martabat hukum semakin lama digerogoti oleh tingkah laku yang membunuh etika. Antikorupsi dan suap terus-menerus diteriakkan, tetapi terus dicari cara baru yang lebih rapi dan secara sembunyi-sembunyi untuk mengelabui publik.
Dalam sangkaan yang begitu negatif, masih begitu banyak taktik korupsi yang belum terpublikasi. Dalam konteks seperti ini, polisi memiliki tugas berat yang sangat menantang.
Namun, hal tersebut tidak akan terealisasi apabila hal yang sama juga menghinggapi tubuh kepolisian. Masihkah ada kesempatan menyelamatkan republik ini dari kehancuran karena hukum yang terlalu sering diperjualbelikan? Dengan cara apa agar masyarakat masih memercayai wajah buruk hukum dan keadilan negeri ini?
Itulah beragam pertanyaan publik yang lahir mengikuti perkembangan kebangsaan dewasa ini. Reformasi yang dicita-citakan belum berhasil membentuk jati diri menjadi bangsa yang berkarakter.
Wajah hukum bopeng di sana-sini, karena di dalam ruangannya dipenuhi dengan cara-cara dagang sapi. Hukum sudah tidak lagi memiliki nilai keadaban.
Hancurnya keadaban hukum merupakan cermin gagalnya pemerintahan saat ini dalam menciptakan sistem pemerintahan yang benar-benar bebas dari korupsi. Pemberantasan korupsi sering kali hanya permainan kata-kata.
Sudah begitu lama keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan oleh kekuasaan dan uang. Martabatnya jatuh ke titik paling rendah. Juga sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini. Keadilan tidak untuk semua, melainkan untuk sebagian (yang bisa “membeli”-nya).
Keadilan milik penguasa dan si empunya uang. Kita bisa menyaksikannya melalui berbagai pengalaman keseharian kita hidup di bumi bangsa ini. Hukum dan keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, melainkan sering seperti musuh. Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain (kuasa, otot, dan uang) yang menceraikannya.
Keadilan di negeri ini amat langka diperoleh karena keadilan tak pernah menjadi bagian dari cara berpikir, berperilaku, dan berelasi para penguasa dan penegak hukum kita. Perilaku mereka lebih mengutamakan kekuasaan dan popularitas. Rakyat beroleh pendidikan utama tentang keadilan di negeri ini: adalah sebuah bayang-bayang kamuflase.
Para penguasa dan penegak hukum kita tidak memiliki gugus insting yang melahirkan cakrawala kekuasaan yang mengedepankan rasa keadilan bagi semua.
Hukum tak lagi bermartabat, karena mereka yang bermartabat hanyalah mereka yang berkekuasaan dan berkekayaan. Hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasal-pasal.
Di depan cengkeraman kekuasaan dan “orang kuat”, hukum tak lagi memiliki taring. Tumpul akibat banyak macam sebab. Hukum mandul karena kepandaiannya hanya menginjak ke bawah dan mengangkat yang atas.
Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini. Itulah perilaku yang menghancurkan martabat hukum Indonesia, dan juga martabat kita sebagai bangsa. Tragedi ini bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita.
Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai “negara hukum” seringkali hanya sebagai pemanis mulut. Apa yang diajarkan kepada anak cucu kita tentang “kedaulatan hukum” adalah deretan kepalsuan demi kepalsuan.
Keadilan tidak manifes dalam kenyataan. Da sein yang manifes di bumi kita ini adalah kekuatan, otot, kekuasaan, uang. Mampukah kepolisian mendobrak semua tata kebangsaan yang makin buruk ini?
Polisi harus tetap berpegang teguh pada Pancasila dalam mengamalkan kehidupan sehari dan menjaga kerukunan beragama.
Diharapkan, polisi memiliki Pathos mewakili sebuah tampilan emosi kepada audien, dan pencurahan perasaan yang ditampilkan di dalamnya. Pathos adalah sebuah teknik komunikasi yang sering banyak dipakai dalam retorika, dan dalam kesusastraan, film dan seni naratif lainnya.
Kita juga berharap, di bawah Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Polri mampu menjawabi tantangan zaman dengan menguasai ilmu pengetahuan yakni kemampuan untuk menguasai teknologi dan komunikasi dalam respon kejahatan yang menggunakan teknologi dalam pertarungan ideologi global serta kejahatan ekonomi. Citra polisi akan kembali bersinar lagi di masyarakat, dengan membuat penyelidikan yang tranparan terhadap kasus polisi tembak polisi dengan penegakkan hukum yang berasaskan keadilan, dan menyerahkan kuasa kepada tim penyelidikan independen mengungkat misteri di balik semua tragedi kemanusian. (rm.id)
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Ekonomi Bisnis | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu