Kisah Transplantasi Hati Sepasang Dokter Mata, Istri Pendonor, Suami Resipien
JAKARTA - Kisah “romantis” transplantasi hati dialami sepasang dokter spesialis mata, Dr Sukirman SpP dan istrinya Dr Hafizah Sukirman SpM. Dalam transplantasi ini, Hafizah menjadi pendonor dan Sukirman sebagai resipiennya.
Kisah ini diceritakan Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama. Akhir pekan kemarin, Prof Tjandra bertemu dengan Sukirman dan Hafizah di Batam.
“Yang amat istimewa pada pasangan ini adalah, di tahun 2019, ketika saya bertugas di WHO Asia Tenggara di New Delhi, mereka menjalani transplantasi hati di Institute of Liver and Billiary Diseases (ILBS) New Delhi. Waktu itulah saya pertama kali bertemu mereka,” tutur Prof Tjandra, kepada RM.id (Tangsel Pos Grup), Selasa (22/8).
Prof Tjandra menyebut Sukirman dan Hafizah dengan diapit dua tanda kutip. Sebab, yang mendonorkan hati adalah Hafizah sebagai istri dan penerimanya alias resipien adalah Sukirman sebagai suami. “Sekitar 65 persen hati istri dipotong dan langsung ‘dipasangkan’ di hati suaminya yang memang sudah lama sakit,” imbuhnya.
Dari kisah ini, kata Prof Tjandra, setidaknya ada tiga aspek yang menarik. Pertama, keberhasilan operasi transplantasi hati di ILBS India amat tinggi. Hal ini patut ditiru di Tanah Air.
“Pada waktu saya bertugas sebagai Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, ILBS ini memang salah satu institut kesehatan di kawasan yang menjadi WHO Collaborating Center,” terangnya.
Kedua, kalau mau agak “romantis", kisah Sukirman dan Hafizah menunjukkan bukti cinta kasih suami istri. “Transplantasi hati istri ke suami yang dikerjakan di India, yang terkenal dengan Taj Mahal yang juga merupakan lambang cinta kasih suami istri. Ini betul-betul secara harfiah dapat disebutkan bahwa hati mereka sudah bersatu,” tutur Prof Tjandra.
Ketiga, pada 2022 Indonesia memegang Presidensi G20, dan di 2023 India yang menjadi Presidensi G20. Hal ini membuat para pimpinan dan pejabat Indonesia banyak melakukan kunjungan ke India.
“Selain aspek kesehatan global yang tentunya banyak dibahas, mungkin akan baik kalau aspek kesehatan perorangan seperti transplantasi hati ini juga dibahas. Juga mengenai harga obat,” imbuhnya.
Prof Tjandra melanjutkan, di 2023 atau 4 tahun sesudah transplantasi hati, pasangan dokter mata ini tampak amat sehat dan cerah. “Seperti foto bersama saya dan istri ini. Mereka juga sudah menjalankan tugas sehari-hari di RS Awal Bros dan beberapa RS lainnya di Kota Batam, dan tentu turut berperan penting dalam kesehatan mata warga kota dan sekitarnya,” ucapnya.
Prof Tjandra meminta sepasang dokter mata ini memberi webinar pada mahasiswa Program Studi Magister Administrasi Rumah Sakit Universitas YARSI. “Saya juga sudah mengusulkan agar pengalaman istimewa ini ditulis dalam bentuk buku,” imbuhnya.
Sepengetahuan Prof Tjandra, saat ini belum pernah ada seorang dokter spesialis mata Indonesia, mungkin juga di Asia atau dunia, yang mendonorkan 65 persen hatinya ke dokter spesialis mata yang juga suaminya sendiri.
“Hal lain yang perlu jadi perhatian penentu kebijakan kita, Dr Sukirman harus konsumsi obat bertahun-tahun sesudah transplantasi. Ternyata, kalau beli obat-obat itu di Indonesia, harganya mahal sekali. Jadi, mereka membeli langsung dari India,” ucapnya.
Prof Tjandra menerangkan, di India, harga obat-obat apa pun jauh lebih murah dari di Indonesia. “Saya dan istri juga setiap hari minum obat kolesterol, hipertensi, dan pengencer darah, yang sampai sekarang (sejak pensiun dari WHO 2020) tetap saya beli dari India, karena jauh lebih murah dengan mutu terjamin. Jelas perbedaan harga yang amat mencolok ini jadi salah satu PR pemerintah kini dan mendatang,” tutup mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu