TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

G7, BRICS Dan Kepiawaian Diplomasi Jokowi

Laporan: Redaksi
Sabtu, 26 Agustus 2023 | 09:48 WIB
Hikmahanto Juwana. Foto : Ist
Hikmahanto Juwana. Foto : Ist

JAKARTA - Presiden Jokowi pada Kamis lalu (24/8/23) mendapat kehormatan untuk berbicara dalam Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS yang diselenggarakan di Johannesberg, Afrika Selatan.

Meski Presiden dalam kesempatan terpisah mengatakan akan mengkaji lebih dalam sehubungan dengan keikutsertaan Indonesia dalam BRICS, tapi sejumlah anggota BRICS menyambut baik bila Indonesia dapat bergabung.

Di sisi lain, negara-negara G7, utamanya Amerika Serikat, sangat tidak mengharapkan Indonesia bergabung dengan BRICS. AS khawatir, Indonesia jatuh ke tangan China dan Rusia yang saat ini menjadi pesaingnya.

Presiden Jokowi mungkin sedari awal paham kehadirannya di KTT BRICS akan memicu kontroversi bagi BRICS dengan G7. Namun, ini dilakukan demi kepentingan nasional Indonesia.

Apa kepentingan itu?

Saat ini, Indonesia memiliki masalah besar dengan Uni Eropa terkait dengan dua sengketa di World Trade Organization (WTO). Pertama, terkait program kebijakan hilirisasi sumber daya alam Indonesia, khususnya nikel. Kedua, tekait larangan Uni Eropa atas produk sawit asal Indonesia.

Indonesia dalam kasus nikel memang telah dikalahkan oleh Panel di Dispute Settlement Body (DSB). Namun, saat ini Indonesia sedang melakukan banding. Upaya Indonesia melakukan banding berarti putusan Panel masih belum diadopsi oleh DSB atau dalam terminologi bahasa hukum Indonesia putusan Panel tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap.

Hanya saja meski belum memiliki kekuatan hukum tetap, Uni Eropa hendak memaksakan putusan Panel untuk dilaksanakan oleh Indonesia. Caranya dengan melakukan pembalasan atau retaliasi atas sejumlah produk asal Indonesia, khususnya baja.

Sementara untuk perkara kedua terkait produk sawit hingga saat ini Panel belum membuat putusan apakah larangan oleh Uni Eropa sah atau tidak menurut ketentuan WTO.

Dalam pidatonya di forum BRICS, Presiden Jokowi menyampaikan pesan, “Semua dari kita harus konsisten menghormati hukum internasional dan Hak Asasi Manusia.” Apa makna pesan ini?

Pesan ini sepertinya ditujukan secara khusus kepada negara-negara yang tergabung dalam G7, khususnya Uni Eropa. Uni Eropa yang selama ini kerap menceramahi negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk patuh pada hukum internasional ternyata bertindak tidak konsisten dengan hukum internasional.

Melakukan retaliasi agar Indonesia melaksanakan putusan Panel yang belum diadopsi oleh DSB adalah bentuk pelanggaran Uni Eropa terhadap hukum internasional.

Demikian juga diangkatnya isu HAM oleh Presiden Jokowi. HAM merupakan isu yang kerap diusung oleh Uni Eropa untuk ditegakkan di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Dalam perspektif Indonesia, tentangan Uni Eropa atas kebijakan hilirisasi dan larangan produk sawit berarti ketidak-konsistenan Uni Eropa terhadap HAM. Mengapa demikian?

Ini mengingat hilirisasi dan ekspor sawit akan membuka banyak lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. Menentang kebijakan hilirisasi sama saja dengan tidak memberi kesempatan lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia yang sangat membutuhkan.

Oleh karenanya tidak heran bila Presiden mengatakan “tatanan ekonomi dunia saat ini sangat tidak adil.”

Tidak adil karena menurut Presiden Jokowi, “gap (jurang) pembangunan (antara negara maju dan negara berkembang) semakin lebar, rakyat miskin dan kelaparan semakin bertambah dan situasi seperti ini tidak boleh dibiarkan.”

Bahkan, dengan tegas Presiden Jokowi dalam pidatonya menyampaikan, “diskriminasi perdagangan harus kita tolak, hilirisasi industri tidak boleh dihalangi.”

Indonesia sebagai negara yang berdaulat tidak ingin diatur-atur oleh negara-negara besar. Indonesia menghendaki kemitraan (partnership) yang saling menguntungkan. Dalam kata-kata Presiden Jokowi, “BRICS dapat menjadi bagian terdepan untuk memperjuangkan keadilan pembangunan dan mereformasi tata kelola dunia yang lebih adil.”

Indonesia yang memiliki politik luar negeri bebas aktif tentu tidak dapat dipaksa dalam mengambil kebijakan nasionalnya oleh negara manapun. Indonesia yang paling tahu apa yang terbaik baginya.

Disinilah kepiawaian Presiden Jokowi memanfaatkan kehadirannya di BRICS untuk menentang dominasi G7 yang seolah paling tahu apa yang terbaik bagi dunia, padahal sejatinya hanya mengedepankan kepentingannya sendiri.

Oleh: Hikmahanto Juwana

Penulis adalah Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Jenderal A. Yani.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo