TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Mengendalikan Nafsu Pemekaran

Oleh: Dr. Muhadam Labolo, M.Si
Selasa, 29 Agustus 2023 | 20:15 WIB
Dr. Muhadam Labolo, M.Si.(Dok. Pribadi)
Dr. Muhadam Labolo, M.Si.(Dok. Pribadi)

ADA tunggakan kurang lebih 329 usulan pemekaran daerah otonom baru (DOB) di Kemendagri (Rep, 2023). Itu di jalur eksekutif, belum di jalur legislatif. Tumpukan proposal itu terhalang oleh tembok besar moratorium. Sejak SBY hingga Jokowi, pemerintah hanya meloloskan empat DOB setingkat provinsi dengan alasan afirmatif di Papua. Tapi sampai kapan tembok sementara itu bisa bertahan, apalagi mendekati pemilu.

Mendekati pesta demokrasi, isu pemekaran menguap kembali. Pemekaran menjadi topik seksi oleh politisi dengan risiko Penuh Harapan Palsu (PHP). Optimisme disebar dengan harapan tercipta transaksi kolektif dalam imaji publik, lahir DOB pasca pemilu. Soalan kita bagaimana mengendalikan nafsu pemekaran itu di hari-hari mendatang.

Pemekaran memang bukan ekspresi berlebihan. Halal dan boleh diusulkan. Bila pintu masuk terbuka lebar pada dua jalur di atas, maka instrumen kebijakan pun terbuka di hulu dan hilir. Di hulu, kebijakan membuka peluang sekalipun di hilir dipersempit agar tak melaju. Namun begitu PP Nomor: 78 Tahun 2007 masih terlalu mudah dimanipulasi pengusul lewat utak-atik kuantifikasi.

Menata gairah pemekaran kali ini memang dilematis. Politisi ingin menangkap alasan pemerintah mengendalikan pemekaran lewat desain besar penataan daerah (Desertada). Disitu masalahnya, pemerintah dibolehkan mengetatkan, tapi di sisi lain legislatif butuh celah buat alat tukar dalam pemilu. Realitas transaksional semacam itu membuat instrumen di hilir tak berdaya. Munculah DOB tak memenuhi kriteria.

Kegagalan utama DOB ada pada celah fiskal yang menganga lebar. Bila tujuan dibentuknya DOB agar mandiri, faktanya berkebalikan dengan terciptanya ketergantungan tinggi. Realitas itu memunculkan simpul bahwa bukan daerah otonom (DO) yang terbentuk tapi daerah administrasi (DA). Bukankah ciri DA menyusui sepanjang hidup dibanding DO yang bertumpu sebagian besar pada PAD-nya. Maknanya, yang ada hanya DA bukan DO.

Ketergantungan ke pusat memang bukan sepenuhnya kegagalan DO. Malangnya sumber vitalnya ditarik paksa lewat UU Cipta Kerja dan Minerba. Segala yang halal digali, kini jadi haram disentuh. DO jadi kurus, dan menjadi pengemis seperti kasus kegagalan desentralisasi di era UU 22 Tahun 1948. UU 23 Tahun 2014 praktis mandul. Tambah lagi dengan alasan jeda pemilu, para pejabat di daerah otonom ditunjuk seperti daerah administratif.

Implikasi lain tekanan APBN meningkat tajam. "Kue" Rp 3.000 triliun seharusnya cukup dibagi pada 38 provinsi dan 514 kab/kota, mesti dibagi lagi dengan asumsi jumlah provinsi menjadi 50 dan kab/kota menjadi 600. Pemerintah tentu berpikir keras, meminjam atau bertumpu pada sumber daya alam. Risiko pertama menyimpan utang bagi anak cucu, sisanya menarik kembali sumber daya di daerah secara sentralistik.

Kegagalan terakhir terkait eksploitasi lingkungan yang maha luas. Untuk kepentingan itu sebuah daerah otonom terkadang harus berjuang meluaskan wilayahnya di samping hutan lindung. Tanpa itu mereka mati, sebab luas daratan hidupnya lebih kecil dibanding luas hutan penopang flora dan fauna langka. Dilemanya kelaparan di tengah lumbung yang penuh harap kesuburan.

Tentu saja nafsu pemekaran layak ditimbang kembali. Caranya, kabupaten, kota dan provinsi harus punya roadmap yang berisi jumlah desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota dan provinsi yang akan dimekarkan. Hasilnya di kunci pada RPJP dalam rentang 20 tahun. Artinya, tak ada pemekaran dalam jangka panjang kecuali termuat dalam dokumen tersebut. 

Daerah hasil pemekaran juga butuh waktu selama 5-10 tahun untuk menjadi daerah otonom. Dalam masa itu statusnya daerah administratif semata, alias daerah persiapan. Dalam 20 tahun kemudian, perlu dilakukan evaluasi dengan menetapkan DOB yang menjadi langganan pasien daerah tertinggal selama sekian kali tidak diperkenankan melakukan pemekaran, atau cukup menjadi daerah administratif dalam cakupan daerah tertentu yang diperlakukan khusus maupun strategis nasional.(*)

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Kemenkeu Satu
Jumat, 25 Oktober 2024
Dahlan Iskan
Akbar Yanuar
Kamis, 24 Oktober 2024
Dahlan Iskan
Sampai Kapan
Rabu, 23 Oktober 2024
Dahlan Iskan
Detik Terakhir
Selasa, 22 Oktober 2024
Dahlan Iskan
Kabinet Baru
Senin, 21 Oktober 2024
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo