TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Pengadaan Alutsista Lebih Banyak Dari Luar Negeri

Industri Pertahanan Kita Belum Bangkit

Oleh: Farhan
Rabu, 13 September 2023 | 11:00 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Senayan melihat masih banyak hambatan yang mengganjal industri pertahanan dalam negeri. Industri ini diragukan bisa bangkit karena kebutuhan persenjataan lebih banyak didatangkan dari luar negeri, bukan produksi sendiri.

Wakil Ketua Komisi I DPR Utut Adianto menyadari rumit­nya kebijakan untuk mengem­bangkan industri pertahanan. Sebab, struktur kelembagaan di Komite Kebijakan Indus­tri Pertahanan (KKIP) terlalu kompleks.

Adapun KKIP ini dipimpin langsung Presiden Jokowi dengan Ketua Harian Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.

“Ketua hariannya capres kita (Prabowo Subianto), Wakil Ketua Menteri BUMN, Sekre­tarisnya, Herindra. Kemudian anggotanya ada Pak Nadiem (Nadiem Makarim), ada sembilan menteri, kemudian ada Panglima. Ini saya pastikan ketemu saja susah,” kata Utut dalam Rapat Panitia Kerja (Pan­ja) BUMN Industri Pertahanan (BUMNIP) di Gedung Parle­men, Jakarta, kemarin.

KKIP adalah komite yang mewakili Pemerintah untuk mengkoordinasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, pe­rumusan, pelaksanaan, pengen­dalian, sinkronisasi dan evaluasi Industri Pertahanan.

Adapun pembentukan KKIP ini sesuai amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.

Ketua KKIP dibantu oleh Menhan selaku Ketua Harian KKIP dan Menteri BUMN selaku Wakil Ketua Harian KKIP. Ke­anggotaan KKIP terdiri atas 11 Menteri dan Kepala Lembaga, yaitu Menhan, Menteri BUMN, Menteri Perindustrian, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Ri­set, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Mendikbudristek).

Lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Keuangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Menteri Perenca­naan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Luar Negeri (Menlu), Panglima TNI dan Kapolri.

Utut berpendapat, dengan struktur organisasi seperti di atas, koordinasi akan sulit di­lakukan.

“Yang gini-gini harusnya jangan ada lagi. Nggak akan jalan Pak. Ketemu Bapak satu orang saja susahnya setengah mampus,” ujarnya.

Untuk itu, dia meminta BRIN bikin kajian seperti KKIP ini.

“Bikin flow chart organisasi yang simpel dan bisa jalan. Ka­lau lihat gini saja mumet Pak. Ketemu Presiden saja bisa 7 bulan nggak ketemu. Belum lagi Menlu, ini saja dia di New York. Kemudian Menperinnya lagi ada di Batang, nggak bakalan ketemu,” terangnya.

Belum lagi, menurutnya, anggota dalam struktur KKIP yang cukup banyak. Bahkan dia yakin, Sekretaris KKIB Herindra nggak akan mampu menghafal para anggota di dalam KKIP ini.

“Coba BRIN buat keputusan berani. Anggarannya kan Rp 6 triliun, cuma hasilnya kertas-kertas. Jadi ini coba (dikaji), kalau KKIP seperti ini saya pastikan nggak jalan,” ujarnya.

Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin juga tidak yakin industri pertahanan dalam negeri bisa jauh lebih baik.

TB lalu bercerita bagaimana dia mendapatkan amanah sebagai Ketua Panja RUU In­dustri Pertahanan yang kini telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 16 tahun 2012. Sewaktu itu, seluruh pemateri yang diundang sebagai pembi­cara dalam RUU ini optimis­tis industri pertahanan akan bangkit.

“Jadi, ada harapan-harapan yang tinggi, tetapi dalam ke­nyataannya, mohon maaf, kalau nol persen sih tidak. Tapi mung­kin nol setengah besar dalam pelaksanaannya,” katanya.

Karena itu, dia menanyakan hasil pembahasan Undang-Undang Industri Pertahanan yang dibahas 14 tahun lalu terse­but. Saat itu, banyak muncul ide penumbuhan industri pertahanan dan memperkuat alat utama sistem persenjataan (alutsista) negara.

Seperti pembuatan senjata sekelas Guns Low, termasuk pengembangan pesawat tempur KFX dan pembuatan kapal selam yang malah terhenti.

“Ini menunjukkan ketidak­mampuan kita dalam melak­sanakan setiap perencanaan,” ujarnya.

TB mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat industri pertahanan ini terhambat. Per­tama, niat baik dari user yang justru ragu dengan kemampuan industri pertahanan kita sendiri.

“Padahal menurut undang-undang, user itu wajib meng­gunakan produk industri pertahanan dalam negeri. Kalau tidak bisa dibuat, maka dapat membeli dengan tujuh per­syaratan,” ungkapnya.

Namun yang terjadi, lanjut dia, negara lebih suka membeli alutsista impor. Ironisnya, alut­sista impor tersebut rata-rata bekas, bukan barang baru.

“Jadi kalau ada narasi bahwa alutsista kita sudah tua, ya tua-lah. Belinya saja sudah tua,” katanya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo