Pengadaan Alutsista Lebih Banyak Dari Luar Negeri
Industri Pertahanan Kita Belum Bangkit
JAKARTA - Senayan melihat masih banyak hambatan yang mengganjal industri pertahanan dalam negeri. Industri ini diragukan bisa bangkit karena kebutuhan persenjataan lebih banyak didatangkan dari luar negeri, bukan produksi sendiri.
Wakil Ketua Komisi I DPR Utut Adianto menyadari rumitnya kebijakan untuk mengembangkan industri pertahanan. Sebab, struktur kelembagaan di Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) terlalu kompleks.
Adapun KKIP ini dipimpin langsung Presiden Jokowi dengan Ketua Harian Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.
“Ketua hariannya capres kita (Prabowo Subianto), Wakil Ketua Menteri BUMN, Sekretarisnya, Herindra. Kemudian anggotanya ada Pak Nadiem (Nadiem Makarim), ada sembilan menteri, kemudian ada Panglima. Ini saya pastikan ketemu saja susah,” kata Utut dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) BUMN Industri Pertahanan (BUMNIP) di Gedung Parlemen, Jakarta, kemarin.
KKIP adalah komite yang mewakili Pemerintah untuk mengkoordinasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi dan evaluasi Industri Pertahanan.
Adapun pembentukan KKIP ini sesuai amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Ketua KKIP dibantu oleh Menhan selaku Ketua Harian KKIP dan Menteri BUMN selaku Wakil Ketua Harian KKIP. Keanggotaan KKIP terdiri atas 11 Menteri dan Kepala Lembaga, yaitu Menhan, Menteri BUMN, Menteri Perindustrian, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Mendikbudristek).
Lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Keuangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Luar Negeri (Menlu), Panglima TNI dan Kapolri.
Utut berpendapat, dengan struktur organisasi seperti di atas, koordinasi akan sulit dilakukan.
“Yang gini-gini harusnya jangan ada lagi. Nggak akan jalan Pak. Ketemu Bapak satu orang saja susahnya setengah mampus,” ujarnya.
Untuk itu, dia meminta BRIN bikin kajian seperti KKIP ini.
“Bikin flow chart organisasi yang simpel dan bisa jalan. Kalau lihat gini saja mumet Pak. Ketemu Presiden saja bisa 7 bulan nggak ketemu. Belum lagi Menlu, ini saja dia di New York. Kemudian Menperinnya lagi ada di Batang, nggak bakalan ketemu,” terangnya.
Belum lagi, menurutnya, anggota dalam struktur KKIP yang cukup banyak. Bahkan dia yakin, Sekretaris KKIB Herindra nggak akan mampu menghafal para anggota di dalam KKIP ini.
“Coba BRIN buat keputusan berani. Anggarannya kan Rp 6 triliun, cuma hasilnya kertas-kertas. Jadi ini coba (dikaji), kalau KKIP seperti ini saya pastikan nggak jalan,” ujarnya.
Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin juga tidak yakin industri pertahanan dalam negeri bisa jauh lebih baik.
TB lalu bercerita bagaimana dia mendapatkan amanah sebagai Ketua Panja RUU Industri Pertahanan yang kini telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 16 tahun 2012. Sewaktu itu, seluruh pemateri yang diundang sebagai pembicara dalam RUU ini optimistis industri pertahanan akan bangkit.
“Jadi, ada harapan-harapan yang tinggi, tetapi dalam kenyataannya, mohon maaf, kalau nol persen sih tidak. Tapi mungkin nol setengah besar dalam pelaksanaannya,” katanya.
Karena itu, dia menanyakan hasil pembahasan Undang-Undang Industri Pertahanan yang dibahas 14 tahun lalu tersebut. Saat itu, banyak muncul ide penumbuhan industri pertahanan dan memperkuat alat utama sistem persenjataan (alutsista) negara.
Seperti pembuatan senjata sekelas Guns Low, termasuk pengembangan pesawat tempur KFX dan pembuatan kapal selam yang malah terhenti.
“Ini menunjukkan ketidakmampuan kita dalam melaksanakan setiap perencanaan,” ujarnya.
TB mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat industri pertahanan ini terhambat. Pertama, niat baik dari user yang justru ragu dengan kemampuan industri pertahanan kita sendiri.
“Padahal menurut undang-undang, user itu wajib menggunakan produk industri pertahanan dalam negeri. Kalau tidak bisa dibuat, maka dapat membeli dengan tujuh persyaratan,” ungkapnya.
Namun yang terjadi, lanjut dia, negara lebih suka membeli alutsista impor. Ironisnya, alutsista impor tersebut rata-rata bekas, bukan barang baru.
“Jadi kalau ada narasi bahwa alutsista kita sudah tua, ya tua-lah. Belinya saja sudah tua,” katanya.
Nasional | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 13 jam yang lalu
Olahraga | 13 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu