Dipecat, Anwar Usman Tetap Hakim MK
Gibran Tetap Sah Sebagai Cawapres
JAKARTA - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dipimpin Jimly Asshiddiqie, menjatuhkan sanksi pemecatan kepada Anwar Usman sebagai Ketua MK. MKMK menilai, Anwar yang merupakan paman Gibran Rakabuming Raka itu, telah melakukan pelanggaran etik berat dalam putusan perkara uji materi batas usia Capres dan Cawapres. Meski diberhentikan sebagai Ketua MK, Anwar masih tetap berstatus hakim MK. Karena putusan MKMK tidak membatalkan putusan MK yang membolehkan Capres-Cawapres berusia di bawah 40 tahun asal pernah menjadi kepala daerah itu, maka Gibran pun tetap sah sebagai Cawapres.
Sidang putusan MKMK digelar di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (7/11/2023). Sidang ini mendapat sorotan luas dari masyarakat. Sejak siang, puluhan orang dari berbagai elemen masyarakat menggelar unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, tak jauh dari Gedung MK. Aksi ini membuat jalan di depan Gedung MK segera ditutup dengan beton pembatas dan kawat berduri. Anggota Brimob dengan senjata lengkap tampak bersiaga di sejumlah titik.
Sekitar pukul 4 sore, Ketua MKMK Prof Jimly mengetuk palu tanda sidang dibuka. Dalam sidang, Jimly didampingi dua anggota MKMK, Bintan R Saragih dan Wahiduddin Adams.
Di awal sidang, Jimly menjelaskan, ada 21 laporan yang masuk MKMK. Laporan itu terkait dugaan pelanggaran etik para hakim MK dalam memutuskan uji materi syarat usia Capres-Cawapres yang diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam perkara ini, MK memutus syarat usia Capres dan Cawapres tetap 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah.
Dari jumlah itu, Anwar Usman menjadi pihak yang paling banyak dilaporkan, yaitu 15 laporan. Jimly kemudian mengelompokkan 21 laporan itu menjadi 4 putusan demi efisiensi waktu. Putusan pertama adalah yang terlapornya semua hakim konstitusi, putusan kedua dengan terlapor Anwar Usman, putusan ketiga dengan terlapor Wakil Ketua MK Saldi Isra, dan putusan terakhir terlapor hakim konstitusi Arief Hidayat.
Putusan terhadap Anwar Usman yang paling ditunggu. Beberapa laporannya antara lain, Anwar Usman memiliki konflik kepentingan karena merupakan paman dari Gibran. Masalah lainnya mencakup kebohongan Anwar dan dugaan pembiaran delapan hakim konstitusi lain ketika Ketua MK ini turut memutus perkara walau terdapat potensi konflik kepentingan.
Dalam putusannya, MKMK menjatuhkan sanksi memberhentikan Anwar sebagai Ketua MK. MKMK menilai Anwar terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, independensi dan kepantasan dan kesopanan.
“Menyatakan hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi,” kata Jimly, saat membacakan amar putusan.
Meski diberhentikan dari ketua MK, Anwar masih menjabat sebagai hakim MK. Hanya saja, Jimly memberikan sanksi tambahan yaitu, Anwar tidak berhak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi, sampai masa jabatan sebagai hakim konstitusi berakhir.
Selain itu, Anwar juga tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri, dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilu, pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD, serta pemilihan gubernur, bupati dan wali kota, yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.
Jimly lalu memerintahkan Wakil Ketua MK Saldi Isra untuk dalam waktu 2x24 jam sejak putusan tersebut selesai diucapkan, memimpin penyelenggaraan pemilihan pemimpin yang baru, sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam putusan ini terdapat dissenting opinion yang disampaikan anggota MKMK Bintan R Saragih. Menurut dia, sanksi yang harus dijatuhkan kepada adik ipar Jokowi tersebut sebagai “diberhentikan dengan tidak hormat.”
Selain Anwar Usman, 7 hakim lain juga mendapat sanksi. Sebanyak enam hakim mendapat sanksi teguran tertulis. Mereka adalah Manahan MP Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic P Foekh, dan M Guntur Hamzah. Keenam hakim tersebut telah melanggar Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. MKMK menyimpulkan para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti tidak menjaga keterangan atau informasi rahasia dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) yang bersifat tertutup.
MKMK juga memberikan sanksi teguran tertulis kepada hakim konstitusi Arief Hidayat. MKMK menilai, Arief merendahkan martabat MK di depan publik dan melanggar Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. Jimly mengatakan Arief terbukti merendahkan MK saat menjadi salah satu pembicara di acara Konferensi Hukum Nasional di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) serta dalam siniar (podcast) di salah satu media nasional. Selain itu, Arief juga disanksi terkait bocornya RPH ke media massa bersama dengan delapan hakim konstitusi lainnya.
Sementara itu, hakim konstitusi Saldi Isra tidak melanggar kode etik atas muatan berbeda atau dissenting opinion. Hakim MKMK Wahiduddin Adams mengatakan, meski pada bagian awal pembukaan dissenting opinion Saldi Isra mengungkapkan sisi emosional seorang hakim, tapi hal itu tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran etik.
Lalu bagaimana nasib putusan perkara Nomor 90/PUU/XXI/2023 yang menjadi pintu masuk Gibran menjadi Cawapres? MKMK tidak menyentuh sama sekali perkara ini. “Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU/XXI/2023,” kata Jimly.
Selain itu, penggunaan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tidak relevan digunakan dalam putusan ini. "Tidak terdapat kewenangan MKMK untuk melakukan penilaian hukum terhadap putusan MK, terlebih lagi turut mempersoalkan perihal keabsahan atau ketidakabsahan suatu putusan," kata Wahidudin Adams, saat membacakan amar putusan.
Wahiduddin mengatakan, pengubahan putusan MK melampaui jauh batas kewenangannya MKMK. "Seakan memiliki superioritas legal tertentu terhadap MK," kata Wahidudin.
Menko Polhukam Mahfud MD menyambut baik putusan etik MKMK. Mantan Ketua MK ini menaruh hormat kepada Jimly, Ketua MK pertama yang kini menjadi Ketua MKMK.
"Dalam beberapa tahun terakhir ini saya sedih dan malu pernah menjadi hakim dan Ketua MK. Tapi hari ini, setelah MKMK mengeluarkan putusan tentang pelanggaran etik hakim konstitusi, saya bangga lagi dengan MK sebagai 'guardian of constitution'. Salam hormat kepada Pak Jimly, Pak Bintan, Pak Wahiduddin," tulis Mahfud, di akun X, @mohmahfudmd, Selasa (7/11/2023).
Mantan hakim MK I Dewa Gede Palguna turut memberikan apresiasi kepada Jimly. Kata dia, jika merujuk pada Pasal 41 Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK, sebenarnya sanksi kepada hakim yang melanggar etik itu hanya tiga. Teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian dengan tidak hormat untuk pelanggaran etik berat.
"Prof Jimly tampaknya membuat terobosan hukum baru dalam memutus perkara etik ini. Menurut saya ini sudah sanksi berat. Diberhentikan sebagai Ketua MK dan plus plus yaitu, tidak boleh mencalonkan kembali sebagai Ketua MK, dan tidak boleh menyidangkan perkara pemilu," kata Palguna, saat dikontak Rakyat Merdeka (Tangsel Pos Group) Selasa (7/11/2023).
Mengenai nasib perkara 90, Palguna menyatakan, putusannya tetap sah dan berlaku hingga ada putusan MK lain. Hal ini sesuai Pasal 47 Undang-Undang MK yang menyatakan, putusan MK mempunyai kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno. Artinya, Gibran tetap sah menjadi cawapres.
"Putusan MK Nomor 90 itu tetap berlaku. Secara legalitas sah. Hanya saja dengan putusan MKMK ini legitimasinya tergerus atau tercoreng," ungkapnya.
Pos Tangerang | 12 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu