TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Budaya Dan Kemakmuran Fiktif

Oleh: Alim Witjaksono
Minggu, 21 April 2024 | 11:00 WIB
Ilustrasi.
Ilustrasi.

SERPONG - Ciri khas dari negeri-negeri kapitalis di seluruh dunia, lebih dominan pada gencarnya ekspor bahan mentah, serta menjadi importir yang setia dari barang-barang manufaktur. Ketika Amerika Latin dilanda kapitalisme global sejak akhir abad ke-19, bermunculan pula genre sastra (fiksi) yang menggugat iklim kapitalisme dengan segala dampak yang ditimbulkannya. Situasi itu kentara jelas bila kita menyimak karya-karya besar seperti Tortilla Flat atau Cannery Row (John Steinbeck) yang banyak menyoal keluarga-keluarga kaya sekaligus bermental hedonis, yang seakan tak pernah mengenal kebahagiaan dari hasil kekayaan yang ditimbunnya.

Gabriel Marcel dalam karya monumentalnya, Sea of Cortez, tampak sehaluan dengan Steinbeck, sama-sama melahirkan penokohan yang tergenangi oleh iklim kapitalisme global. Mereka sudah bicara soal nominal uang kertas, iklan-iklan, hingga penjanjian-perjanjian ekonomi dalam negeri, hingga skala internasional. Narasi yang digambarkannya kadang menyoal iming-iming produksi dan konsumsi berikut promosi-promosi yang ditujukan oleh pasar global. Lalu, memasuki era milenial ini, sasaran utamanya lebih terfokus pada negeri-negeri ketiga yang baru bangkit dari penjajahan, termasuk Indonesia.

Sastra era tahun 1950-an di Indonesia, sebenarnya sudah belajar banyak dari puing-puing reruntuhan kapitalisme di Eropa dan Amerika Latin, terutama yang diprakarsai para penulis Poedjangga Baroe dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Mereka menggugat, mengapa negeri-negeri yang kebanyakan dikenal makmur dan kaya akan sumber daya alam, namun bangsanya justru tergenangi oleh kemiskinan dan keterbelakangan.

Sejak tampilnya rezim militerisme Orde Baru, yang diawali dengan penggulingan Presiden Sokarno (1965), disusul oleh pemenjaraan para wartawan, seniman dan budayawan pro-Soekarno, maka karya sastra Eropa-Amerika yang kebanyakan dikenal sebagai “fiksi-fiksi kapital” semakin merambah di bumi Indonesia. Lambat laun, karya-karya itu menjadi bagian dari proyek-proyek penerjemahan karya asing ke dalam bahasa Indonesia. Di tahun-tahun ini, telah berdiri lembaga-lembaga atau kementerian pendidikan dan kebudayaan yang memproduksi buku ilmiah tentang sastra Barat, hingga karya prosa yang lebih menyuarakan iklim kapitalisme global, sebagai hasil dari susunan konstitusi dan kesepakatan diplomatik.

Maraknya penjualan buku-buku sastra semakin kentara bersamaan dengan munculnya teve-teve swasta yang menyuarakan berbagai promosi dan iklan-iklan. Hal itu merupakan satu paket dengan terbukanya iklim kebudayaan baru bersama teori-teori ekonomi politik pesanan mereka, yang terangkai dalam jaringan misterius dari kredit publik. Para pakar dan elit ekonomi mereka, ikut-serta mengangkangi perjalanan dunia kesenian secara komersil, dan memunculkan teladan bagi elit kebudayaan Indonesia. Sehingga, beberapa gelintir pakar sastra atau sastrawan senior di republik ini, lebih gandrung menjadi tuan tanah sambil menulis novel dan mendirikan lembaga kebudayaan, bagaikan para penyair di kalangan mereka yang ikut terjun sebagai spekulator pasar saham.

Di negeri ini, kita bisa lihat sosok-sosok seniman, atau lebih tepatnya “pengusaha kebudayaan” sebagaimana Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Goenawan Mohamad, Taufik Ismail hingga Jacob Oetama (Kepustakaan Populer Gramedia). Keterbukaan era informasi ini membuat orang-orang pribumi yang pernah berbaris dengan kepentingan “mereka” sedang berdebar-debar, tak terkecuali Goenawan Mohamad yang akhirnya memilih berbaris di kalangan kaum muda untuk turut-serta menyuarakan ketimpangan dan ketidakadilan, yang secara masif dilakukan sejak era Orde Baru.

Jadi pada prinsipnya, hasil perjanjian ekonomi dari iklim kapitalisme global, telah mendikte jaringan-jaringan kebudayaan yang secara imajinatif dan estetis menentukan cita-rasa, untuk dibariskan bersama kepentingan pasar mereka.  Hal ini seolah-olah berjalan secara alamiah, namun hakikatnya tak lepas dari grand scenario yang secara sengaja diagendakan oleh kepentingan ekonomi politik mereka. Misalnya, kemunculan generasi demi generasi yang detraining oleh Gramedia Grup, Grup Tempo, Yayasan Obor dan lain-lain. Upaya yang paling vital bagaimana melunakkan pandangan kaum muda dalam konsep ekonomi politik mereka. Sehingga, mereka harus digiring pada semangat pragmatisme, bahwa yang disebut “menang” dan “sukses” tak lain adalah mereka yang bermobil mewah, rumah megah, istri cantik, anak-anak yang disekolahkan di Harvard berikut simpanan-simpanan di rekening Bank.

Koran Kompas bersama cabang-cabangnya paling lihai memainkan peranan fundamental dalam soal ini (sejak tahun 1965), khususnya di wilayah ibukota Jakarta dan sekitarnya. Mereka merekrut para penulis yang memiliki satu paham dan ideologi, mendidik penulis-penulis muda agar menjadi budak-budak cinta (Bucin), menentukan tim juri atas sayembara-sayembara berhadiah jutaan rupiah (bukan dollar), yang tentu sehaluan dalam sistem penjurian dalam cerpen Lomba Membuat Kue Serabi (NU Online).

Kompas juga paling getol menciptakan penulis-penulis anonim, dengan rasa percaya-diri mengidentifikasi Indonesia sebagai salah satu dari negeri kaya raya di dunia, dengan iming-iming tanah yang subur-makmur tiada tandingannya. Rempah-rempah yang melimpah, produk-produknya beragam dan tak terbatas, juga perut buminya menyimpan tambang mineral bagi kebutuhan manusia. Inilah salah satu fantasi menakjubkan yang kadang digembar-gemborkan oleh para penulis dan intelektual. Suatu negeri yang kaya kopi, tebu hingga kayu yang melimpah, namun rakyatnya harus membeli segelas kopi, gula maupun tisu dengan harga mahal. Bahkan, tak sanggup membeli buku-buku bacaan sebagai khazanah keilmuan, dikarenakan harga kertas yang begitu tinggi, sampai-sampai banyak toko buku yang terpaksa harus gulung tikar.

Iklim kapitalisme mengandaikan sistem pasar bebas yang cenderung menghalalkan segala cara (riba), dengan menimbunnya kekayaan pada segelintir elit borjuis, namun tidak memberi kebahagiaan dan keberkahan bagi dunia dan lingkungannya. Ketimpangan tajam dan gejolak laju ekspor, lambat laun memunculkan bencana yang menghancurkan sistem ekonomi yang diikuti oleh ledakan komoditas. Di akhir abad ke-19 lalu, Argentina juga pernah mengalami krisis Baring, karena kredit pinjaman negaranya telah memicu sepekulasi Bubble. Dengan demikian, puluhan sastrawan Argentina menulis novel-novel yang berkaitan dengan situasi masyarakat kampung yang miskin, sebagaimana novel Perasaan Orang Banten. Bukan saja masyarakat pinggiran (periphery) tetapi juga masyarakat miskin di perkotaan, dengan kondisi keluarga yang kekurangan bahan-pangan, asupan gizi yang buruk bagi anak-anak, karena para orang tua tak sanggup membeli susu dan makanan bergizi.

Selain Steinbeck, penulis lainnya yang sangat tajam mengulas masyarakat pinggiran adalah Julian Martel, yang menggarap “La Bolsa”, terinspirasi dari karya-karya besar pendahulunya, Emile Zola. Namun, La Bolsa dengan apik menggambarkan situasi rakyat Argentina yang terpuruk, sambil melacak kejatuhan para spekulator Anglo-Argentina, yang kemudian ditampilkan di koran nasional Buenos Aires.

Novel-novel Martel dikenal genuine dalam menelanjangi kemakmuran fiktif, serta ilusi kekayaan rakyat Argentina. Ia menggugat bahwa kucuran pinjaman dari Inggris, yang berkonspirasi dengan para bankir Yahudi, adalah cikal-bakal yang mengakibatkan ekonomi terpuruk. Kondisi yang kurang lebih sama dengan peran VOC yang mendaratkan pelayarannya di perairan Banten, kemudian merambah ke seluruh wilayah Nusantara, sambil memboyong rempah-rempah dan bekerjasama dengan pengusaha dan penguasa feodal pribumi.

Konspirasi internasional para bankir Yahudi, kemudian memasuki babak baru di bidang politik kebudayaan, sampai kepada oligarki peran kesenian yang lebih mementingkan nilai estetika ketimbang moral dan etika. Peringatan bapak bangsa agar kita berdaulat dalam kebudayaan kian tergeser oleh peran para budayawan yang disokong oleh kepentingan pasar mereka. Muncullah para seniman dan sastrawan yang menyuarakan “kemewahan” identik dengan wanita-wanita cantik Gemoy, dan mereka yang sanggup memilikinya hanya orang-orang yang berkantong tebal.

Iming-iming pinjaman luar negeri yang menggiurkan, dianggap pahlawan yang pantas diperhitungkan. Pasar bebas adalah satu-satunya jalan yang dianggap “sunatullah”, bahwa tanpa mengandalkan negeri-negeri industri maju, seakan kita tak memiliki pegangan peradaban. Bangsa manapun yang tak mau berbaris dalam jajaran “modernitas” akan dianggap sebagai musuh karena tak mau menunjukkan pemihakannya. Mereka yang tak mau menggunakan label “modern” cukuplah hidup sebagai kaum marjinal, bahkan dimarjinalkan.

Sampai kemudian, setelah kejatuhan rezim militerisme Orde Baru di tahun 1998 lalu, yang menyusul krisis ekonomi berkepanjangan, muncullah generasi baru para penulis dan sastrawan muda yang bergerilya menyuarakan dusta dan kebohongan selama 32 tahun, yang selama ini dikemas oleh sastrawan pemuja Orde Baru sebagai “kemewahan fiktif”. Pramoedya Ananta Toer, sebagai satu-satunya orang Indonesia yang beberapa kali meraih nominasi nobel di bidang kesusastraan, telah mengklasifikasi mereka sebagai “anak-anak emas dewa kemenangan”.

Artinya, para sastrawan senior yang selama ini disokong dan “mengabdi”, atau setidaknya berbaris bersama penguasa militerisme, dimohon untuk menyadari segala kekhilafan dan kekeliruan mereka. Jika pun karya-karya mereka akan menjadi puing-puing reruntuhan Orde Baru, dimohon agar ikhlas menerimanya, sehingga mereka dapat melebur bersama yang lainnya dalam “kepunahan peradaban” yang mungkin dapat menyelamatkan mereka. Dengan begitu, mereka tak merasa perlu untuk dihakimi oleh imajinasinya sendiri.(*)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo