TangselCity

Ibadah Haji 2024

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Menjadikan Buku Sebagai Teman Karib

Oleh: Alim Witjaksono
Sabtu, 04 Mei 2024 | 13:00 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SERPONG - “Tanpa memahami kualitas buku (ilmu), setiap hasrat dan keinginan manusia boleh saja terpenuhi, tapi ia takkan pernah menemukan arti kebahagiaan yang sejati.”  (Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia)

Walaupun sudah memasuki era milenial dan banyak buku-buku penting yang sudah bisa di-download, tapi hal tersebut baru di kisaran satu atau dua persen saja penulis maupun penerbit yang mau berbagi dengan pembaca di seluruh dunia. Selebihnya, tetap bertahan mempertimbangkan keuntungan demi pundi-pundi kepentingan pribadinya, maupun kelompok perusahaannya. Karena itu, tetap jika bepergian ke mana-mana, saya masih menyempatkan diri mengepak barang yang disertai buku-buku penting dalam khazanah keilmuan maupun kesusastraan dunia.

Jika saya belum selesai membaca sebuah novel, mesti novel yang sedang dibaca itu menjadi bagian penting dari empat hingga lima buku yang harus saya bawa ke mana-mana. Bagaimanapun, saya merasa aman dan nyaman bila ditemani buku saat bepergian, sekalipun itu buku yang sudah dibaca, dan harus saya baca ulang di perjalanan atau tempat tujuan. Mungkin saya enggak kepikiran, bahkan lupa membawa jaket, payung, ataupun roti, mie instan bahkan vitamin C, tetapi perkara empat hingga lima buku yang harus dibawa, selalu tak pernah absen dari memori ingatan saya. Jika tanpa “mereka”, saya merasa terancam bagaikan memasuki hutan belantara tanpa adanya juru kunci yang memandu perjalanan saya.

Kadang saya membawa buku tebal yang baru saya pahami hanya di bab-bab tertentu saja. Tapi ketika saya melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi suatu museum atau tempat bersejarah, atau bahkan berbincang dengan orang yang berbeda bangsa dan agama, tiba-tiba terbersit ingatan saya pada hal-hal yang pernah saya baca, namun belum tuntas saya renungkan. Setelah momen tersebut, tersentaklah ingatan saya untuk membuka kembali bagian-bagian yang pernah saya lewatkan, hingga persoalan yang tertinggal akhirnya dapat juga saya pahami, bahkan boleh jadi persoalan tersebut adalah yang paling prinsipil dari keseluuhan isi buku.

Hal ini sudah menjadi ritual tersendiri bagi saya, sebagaimana Saydina Ali bin Abi Thalib yang menyatakan, bahwa ketamakan dan keserakahan bisa dimaklumi selagi hal tersebut menyangkut pencarian ilmu (bukan harta). Di situlah sifat para pencari ilmu yang akan selalu menolak kedangkalan dan kejumudan, sebab perjalanan untuk mencari kebenaran, identik dengan perjalanan untuk mencapai dinamika keilmuan yang lebih tinggi dan luhur.

Di sisi lain, sebenarnya saya kurang tertarik membaca buku yang diberikan secara cuma-cuma oleh instansi dan lembaga tertentu. Meskipun berdasarkan hasil riset dan penelitian, namun selalu saja tak lepas dari kepentingan lembaga dan keuntungan instansi yang membiayainya. Kadang saya membaca buku sastra yang dihadiahkan seorang teman penulis, meskipun saya bisa menebak berdasarkan logika berpikirnya selama saya kenal. Mungkin saja oleh perjalanan waktu terjadi perubahan dan pembaruan dalam cara berpikirnya, namun tetap akan terlihat dari ending-ending yang disampaikannya. Jika ending yang ditulis mewakili kepentingan universalitas, dan bukan hanya semangat primordialisme kesukuan, atau kepentingan aliran mazhab tertentu, masih mungkin saya nikmati hingga halaman-halaman terakhir.

Saya pernah mendapati Gol A Gong, seorang pemimpin duta baca Indonesia, yang di mobilnya dipenuhi buku-buku yang akan dibagikan ke masyarakat di berbagai pelosok negeri. Lembaga kebudayaan yang didirikannya (Rumah Dunia) baru saja menyelenggarakan bedah buku Perasaan Orang Indonesia, lalu Gol A Gong meluncur bersama kelompok Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dengan mobil yang dijejali oleh buku-buku, seakan tanpa menyita ruang di mana ia harus menaruh sepatu maupun kemeja yang diseterika istrinya.

Tentu saja, mereka tak pernah kepikiran bagaimana harus menaruh jas yang dipersiapkan untuk menghadiri acara formal, atau bahkan sepatu cadangan yang harus dipakai ketika memasuki gedung pertemuan di tempat-tempat yang mereka kunjungi.

Buku Yang Mahal

Apa gunanya membawa-bawa kasur lipat yang akan menyita ruang bagasi. Sebab, tertidur lelap di atas tumpukan buku sudah menjadi kebiasaan bagi seorang “aktivis buku” seperti Gol A Gong dan sahabat Duta Baca Indonesia. Boleh jadi itu adalah kasur kedua bagi mereka. Sebagaimana saya ketika menginap di hotel untuk menghadiri acara pembacaan cerpen-cerpen karya penulis milenial di ruang auditorium keesokan harinya. Ada dua kasur di ruang hotel tempat saya menginap. Alih-alih menyatukan dua kasur itu menjadi satu tempat tidur yang lebar, justru kasur yang satu lagi saya pakai untuk buku-buku yang baru saya beli selama perjalanan. Bagi saya, cukuplah dengan satu kasur sempit ketimbang saya melebarkan ukuran kasur tetapi buku-buku tergeletak di lantai yang dingin dan lembab.

Kadang saya berpikir, apakah ada negara lain di dunia ini yang menjual buku-buku semahal di Indonesia. Apakah mahalnya harga buku juga bagian dari semangat imperialisme negeri-negeri industri, agar bangsa-bangsa dunia ketiga dibiarkan dalam pembodohan dan pendangkalan? Saya belum menemukan adanya riset dan penelitian yang serius mengenai ini, meskipun fakta menunjukkan bahwa kecurigaan ini seakan layak menjadi tuduhan yang bisa dibuktikan secara empiris di lapangan.

Cobalah Anda perhatikan, seberapa banyak toko-toko buku gulung tikar dikarenakan mahalnya harga kertas maupun buku-buku yang menjadi khazanah keilmuan bagi bangsa ini. Terkait dengan ini, prosaik milenial dari Banten Hafis Azhari, pernah menyatakan, “Di masa Orde Baru, jika saya bepergian ke suatu kota, tak lupa saya mendatangi penulis dan sastrawan setempat, baik Pramoedya, H.B. Jassin maupun Y.B. Mangunwijaya. Setelah itu, saya belanja di toko buku terdekat. Tapi anehnya, ketika hasrat dan keinginan saya muncul untuk membeli sedikit buku, tiba-tiba ada penyesalan kenapa tidak membeli lebih banyak lagi? Sesampainya di rumah, jika saya hanya menaruh satu-dua buku untuk menambah koleksi yang ada, tiba-tiba saya merasa bahwa buku-buku itu bukannya bertambah melainkan saya merasa telah kekurangan banyak buku.”

Ketika mengisi acara bedah bukunya di Denpasar, Bali, beberapa waktu lalu, Hafis pernah menandaskan, bahwa ketika pemerintah suatu negeri membiarkan khazanah keilmuan dan perangkat yang mendukungnya (buku) diperjualbelikan dengan harga mahal kepada rakyat, sesungguhnya mereka telah melakukan kejahatan terselubung, untuk membiarkan kedangkalan dan pembodohan sebagai komoditas bagi para elit politisi dan penguasa mereka.

Sering juga saya temukan buku yang cover-nya memikat, juga penulisnya lumayan terkenal. Namun, setelah beberapa halaman dibaca, nampaknya persoalan yang dibahas tidak termasuk dalam kriteria saya. Boleh jadi itu buku pesanan penerbit yang ditarget harus memenuhi syarat-syarat tertentu, juga harus selesai dalam tempo tertentu. Buku-buku di sepanjang tahun kejatuhan pemerintah Orde Baru, banyak sekali yang memenuhi kriteria saya, dan ke manapun saya melakukan perjalanan di tahun-tahun itu, selalu saja pulang dengan memboyong banyak buku di rangsel.

Hal tersebut menyangkut banyaknya khazanah keilmuan maupun kesusastraan yang dilarang terbit di masa rezim militerisme Orde Baru. Untuk itu, tak perlu heran jika bangsa yang memiliki ribuan profesor di bidang akademik, juga ribuan budayawan di bidang sastra, namun kita hanya memiliki satu orang saja (Pramoedya Ananta Toer) yang pernah diakui dunia, serta berhasil meraih nominasi di bidang kesusastraan.

Karya Tanpa Pamrih

Memasuki era milenial (pasca tahun 2000) berbarengan dengan berkumandangnya era reformasi di bidang politik, semakin bermunculan penulis-penulis independen yang tak mau dipusingkan oleh urusan bisnis perbukuan maupun oligarki penerbitan yang berlangsung selama rezim pemerintah Orde Baru. Kadang saya terima buku dari penulis-penulis muda yang ikhlas memberikan karyanya dengan cuma-cuma. Kadang dikirmkan lewat paket khusus, dan tidak jarang gagasan dan ide-ide brillian bermunculan dari orang-orang yang ikhlas berkarya dan berbagi semacam itu.

Melalui tulisan ini, saya ucapkan terimakasih yang tiada terhingga. Bukan saja sumbangan yang riil dalam bentuk materi (buku), melainkan juga sumbangan besar bagi khazanah keilmuan yang merupakan nilai jariyah yang sangat berharga, baik di mata manusia maupun di mata Tuhan. Bersamaan dengan munculnya buku-buku itu, saya pun menikmati segala komentar, opini, hingga kritik-kritik yang genuine dari penulis-penulis milenial yang ikut menyambut, terutama mereka yang semarak menyumbangkan ilmunya melalui media daring (internet).

Kadang kesanggupan berbagi itu, saya balas dengan kiriman buku dari rak yang merupakan koleksi kebanggan, atau bahkan karya-karya saya sendiri yang pernah diterbitkan. Pernah juga saya temukan seorang penulis (sastrawan) senior yang banyak berkiprah di era Orde Baru, namun ketika saya sodorkan buku saya, kemudian saya tanyakan di toko buku mana saya bisa mendapatkan buku-bukunya. Dengan legawa dia menjawab, tak usah repot-repot, karena buku-bukunya jelek dan kurang bagus.

Kemudian, dia memberi saya pesan tentang adanya penulis-penulis baru dari generasi milenial yang karya-karya mereka perlu saya baca. Dia menyobek secarik kertas, lalu menuliskan alamat situs atau web-nya, serta beberapa judul buku atau artikel yang perlu saya baca.

Karakter buku

Kalau saya pulang dari perjalanan, sering tidak sabaran harus cepat-cepat sampai ke rumah, agar segera duduk di kamar untuk membuka kemasan buku satu persatu, lalu dengan “rakus” membacanya dalam sekali duduk. Kadang juga saya mmbeli buku-buku tua tentang Islam, sejarah agama-agama dunia, riwayat bangsa-bangsa dan nasionalisme hingga marxisme. Di emperan kios buku di Yogyakarta, saya pernah mendapatkan buku-buku tebal seperti Nahjul Balaghah (Ali bin Abi Thalib), Madilog (Tan Malaka), hingga pemikiran para penulis dunia yang mengagumi jejak-langkah kehidupan Soekarno, dengan judul Liber Amicoum 100 Tahun Bung Karno, diterbitkan oleh tim penerbit, yang terdiri dari para tahanan politik Orde Baru yang diasingkan ke Pulau Buru (Hasta Mitra). Penerbit ini pernah diperkarakan kembali di masa akhir kekuasaan rezim Orde Baru lantaran menerbitkan novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, buah karya Pramoedya Ananta Toer yang ditulis ketika ia masih mendekam di pembuangannya di Pulau Buru.

Di tengah gegap-gempitanya era digital akhir-akhir ini, tiba-tiba saya punya kecenderungan mengombinasikan bahan bacaan, mencermati dan menggeluti beberapa bacaan sekaligus, baik dari buku baru, buku koleksi lama, juga beberapa cerpen dan esai di media online. Kadang saya membiarkan semua bahan bacaan itu saling bersaing di pikiran saya, semacam bercampurnya ramuan misterius yang diresepkan menjadi satu. Misalnya seperti ini, pagi saya membaca Sejarah Hidup Muhammad, siang saya membaca Anak Semua Bangsa, sore saya membaca Pikiran Orang Indonesia, dan malamnya membaca Di Bawah Bendera Revolusi, hingga mata merasa lelah dan tertidur lelap.

Kadang kombinasi itu terasa kontras, karena siangnya saya tertarik membaca literatur dan ensiklopedia tentang Allah, agar dapat mengenali Tuhan saya, tapi malamnya saya terpacu membaca karakter Setan, Iblis, dan kecenderungan hawa nafsu manusia. Kadang saya merasa diliputi kegelisahan perihal adanya beberapa buku yang belum sempat saya baca, mengingatkan saya kepada para pemikir, filosof dan para penulis buku yang belum selesai mereka tuliskan hingga ajal menjemput mereka.

Tentu saja saya hanya bisa men-download ratusan buku saja yang bisa di-download, selebihnya (terutama karya-karya klasik) masih belum memungkinkan disimpan di dalam laptop maupun komputer agar lebih portable. Ketika jutaan dan miliaran kata itu bisa disimpan di dalam fail atau flashdisc, saya justru merasa bangga karena sepanjang hidup saya terbiasa dengan aktivitas meng-copy atau memperbanyak karya tulis agar dapat dibaca dan disimak oleh sebanyak mungkin pembaca di muka bumi ini.

Saat ini, khazanah keilmuan semakin tak terbatas. Tiap menit dan detik, ribuan buku-buku klasik dan langka terus bermunculan di internet. Selalu ada keajaiban dalam hidup ini, dan selalu ada orang-orang baik yang memunculkan nilai-nilai kebaikan, di samping para perusak yang membikin onar dan penggelapan, masih terus menyertainya. Kini, buku-buku langka yang menyebarkan kebaikan itu dapat bepergian ke mana-mana, dan secara ajaib bisa kita temukan melalui gawai yang bisa kita genggam di telapak tangan.

Sebagaimana keajaiban sejarah hidup Nabi Muhammad, maupun kitab suci Alquran, yang tak mungkin ada kekuatan apapun yang sanggup mengubah teks-teks yang tertulis. Sampai hari ini, umat manusia dapat menyimaknya dalam bahasa aslinya (Arab), atau yang diterjemahkan terus-menerus ke seluruh bahasa-bahasa dunia.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo