Modernitas Urgensi Parameter Kemanusiaan
SERPONG - Naturalisme digagas pandangan filsafat bahwa materi yang bergerak adalah penysusun fundamental alam semesta. Filsuf jerman yang dari langit turun ke bumi, maka kita di sini melesat dari bumi ke langit. Artinya, kita tidak berangkat dari apa yang diimajinasikan dan digagas oleh manusia, tidak pula bertolak dari manusia yang diceritakan, dipikirkan, atau dibayangkan, digagas, untuk sampai kepada manusia daging. Kita berangkat dari manusia nyata yang aktif. Dan, dengan berpijak pada proses nyata kehidupan mereka, kita pun mempertontonkan perkembangan refleks dan gema ideologis dari proses kehidupan itu.
Filsafat Hegel tentang sejarah tidak lain adalah kenampakan filosofis dari dogma Kristen-Jermanik tentang kontradiksi antara roh dan materi, antara Tuhan dan dunia. Filsafat sejarah yang digagas oleh Hegel mengharuskan adanya suatu roh yang abstrak dan absolut, entah sadar atau tidak. Hegel beranggapan bahwa suatu sejarah spekulatif esoterik bergerak maju dan men- jadi garis dasar dari sejarah empiris. Sejarah manusia diubahnya menjadi sejarah roh abstrak manusia, dan roh itu dianggapnya melampaui kenyataan manusia.
Dunia adalah sesuatu yang terceraikan dan tidak sungguhan selama manusia tidak menghancurkan objektivitas dunia yang sudah mati itu serta mengenali diri dan kehidupannya sendiri “di belakang” bentuk kaku barang dan hukum. Ketika akhirnya manusia mendapatkan kembali kesadaran-diri-nya, maka manusia pun sudah menapaki jalan bukan hanya menuju kesejatian dirinya, melainkan juga menuju kepada dunianya yang sesungguhnya. Dan, setelah mengenali hal itu, maka ia pun bisa berbuat. Manusia akan membuat kebenaran yang ditemukannya menjadi tindakan, dan membuat dunia menjadi dunia yang seharusnya secara esensial, yaitu semakin penuhnya kesadaran diri manusia.
Fisikalisme menyatakan bahwa hanya entitas yang diddalilkan oleh teori yang ada, dan entitas pikiran akhirnya akan dijelaskan seiring dengan berkembangnya teori fisik. Idealis yakin bahwa pikiran adalah semua yang ada dan dunia luar merupakan pikiran dalam diri sendiri, atau ilusi yang diciptakan oleh pikiran. Pendukung monisme netral bersandar pada pandangan bahwa ada substansi lain yang netral, dan baik materi maupun pikiran merupakan properti substansi yang tak dikenal ini. sebagian besar Pikiran modern menerapkan pandangan-pandangan fisikalis reduktif atau non-reduktif, bahwa pikiran sesuatu yang terpisah dari tubuh. Fisikalis non-reduktif bersikukuh bahwa meskipun otak ada untuk pikiran.
Auguste Comte adalah seorang matematikawan, fisikawan, sosiolog serta filsuf yang memperkenalkan filsafat positivistik. Aliran filsafat ini berangkat dari Hukum Tiga Stadia yang mengklasifikasi perkembangan akal budi manusia ke dalam tiga jenjang zaman, diantaranya jenjang teologis (penalaran yang didasarkan pada penjelasan absolut agama dan ketuhanan), jenjang metafisika (penalaran yang didasarkan pada aspek metafisik dan abstrak), dan jenjang positif sebagai jenjang terakhir (penalaran yang didasarkan pada pikiran obyektif, ilmiah dan lepas dari berbagai anasir). Filsafat positivistik berpandangan bahwa pengetahuan tertinggi adalah hasil interpretasi serta eksplanasi dari panca indera. Dengan kata lain bahwa, aspek paling fundamental dalam realitas kehidupan manusia adalah refleksi dari pengalaman inderawi yang didasarkan atas relasi atau hubungan antara dunia dengan kehidupan (Mortari). Realitas ini (refleksi pengalaman inderawi) linier dengan pernyataan Comte yang menolak metafisika sama sekali.
Konteks kefilsafatan positivistik secara esensial mengajarkan semboyan “baku”, yakni “pencerahan, teknologi dan progresivitas”. Akumulasi ketiga aspek ini melahirkan konsepsi sistemik dalam memandang realitas dunia yang dinamis. Dari semboyan inilah muncul paradigma bahwa “manusia adalah pusat dari segalanya” atau lebih dikenal dengan istilah antroposentrisme. Manusia menganggap bahwa segala jenis gejala dapat didefinisikan, arogansi ini menimbulkan dampak serius tentang hasrat manusia untuk berkuasa. Dapat dijelaskan bahwa dalam kondisi seperti itu, manusia sudah berada dalam periodisasi kemodernan. Modernisme identik dengan modernisasi, yaitu sebuah hasrat atau obsesi untuk menciptakan serta mencapai kemajuan, termasuk dengan menciptakan sebuah stratifikasi atau penggolongan manusia berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria ini didasarkan atas aspek binerisme, yang teraplikasikan dalam sebuah fakta bahwa adanya upaya untuk menempatkan suatu ras tertentu sebagai kelompok dominan (kulit putih) dan menempatkan kelompok ras lain sebagai entitas resesif, serta menganggap ras lain sebagai sub-human. Fenomena tersebut menjelaskan tentang sebuah proses penciptaan konstruksi sosial yang tidak setara. Konstruksi sosial adalah jalinan relasi yang secara konstan menciptaan perubahan dalam interaksi antar individunya. Secara hermeneutika, konteks tersebut adalah bentuk dari sejarah dalam kebudayaan manusia. Bahwa secara kultural manusia adalah makhluk yang selalu berelasi. Akan tetapi, dalam konteks dunia modern, relasi yang terjalin bersifat timpang atau tidak seimbang. Modernisme adalah suatu spirit yang menjadi penuntun kehidupan manusia untuk bergerak maju, dengan berpusat pada negara – menjadi semakin konformis, efektif, efisien dan mudah terprediksi. Bauman, melihat penuh dan mutlak atas makhluk hidup lainnya – adanya dorongan esensial berupa penguasaan penuh atas orang lain.
Kehidupan modern menciptakan sebuah struktur, menciptakan sebuah konflik dan mengubah semua realitas serta esensi kemanusiaan. Struktur yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk akal budi dalam realitas era modern, justru melahirkan berbagai dampak bagi manusia lain. Struktur menciptakan suatu tindakan yang mengarah pada pendiskriminasian antar sesama manusia, seperti terjadinya kekerasan, kriminalitas, diskriminasi institusional, dan terjadinya disfungsi kultural. Dalam konteks filsafat post-human, dijelaskan bahwa kondisi semacam ini adalah bentuk dari pengecualian terhadap keberadaan manusia, penciptaan “penjara” bagi kehidupan manusia dan berakhir dengan kehidupan yang sia-sia (DeFalco). Karena, keberadaan kelompok yang menciptakan tindakan rasis adalah sebuah realisasi dari tindakan yang liar dan berbahaya bagi kelompok lain.
Lahirnya modernisme sebagai sebuah transisi sosial, tidak serta merta membawa dampak serta “angin segar” bagi kemanusiaan. Justru, lahirnya era ini menciptakan problematika sosial baru, khususnya disparitas antara “mereka yang superior” dan “mereka yang inferior”. Mereka yang superior melihat yang inferior sebagai kelompok yang termarginalkan, harus dimusnahkan atau mereka yang subordinat hanya dipandang sebagai sebuah objek untuk mendapatkan keuntungan. Modernisme lahir dengan beragam “residu sosial” yang mengendap dalam kehidupan sosial, modernisme menciptakan tragedi kemanusiaan, dimana manusia tidak lagi memandang manusia lain sebagai sebuah subyek yang mengada.
Modernitas Dan Urgensi Memanusiakan Manusia
Sebagaimana diutarakan oleh Ludwig Feuerbach, hanya alamlah yang ada. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk alamiah. Segala usaha manusia didorong oleh nafsu alamiah yakni dorongan untuk hidup. Hal lain yang menjadi ciri khas materialisme adalah bahwa yang terpenting dari manusia bukanlah pada akal atau roh sebagaimana diyakini oleh filsafat idealisme ala kapitalisme melainkan pada dimensi usahanya. Pengetahuan hanyalah alat guna menjadikan manusia itu berhasil. Kebahagiaan manusia dapat dicapai di dalam dunia ini. Oleh karena itu, agama dan segala hal metafisika harus ditolak. Manusia baru dapat memperoleh makna dua dimensional secara lengkap bila mereka mampu membebaskan diri dari kungkungan yang mengelilingi dirinya. Sebelum diuaraikan masalah penjara diri manusia, terlebih dahulu akan dibahas perbedaan antara manusia sebagai makhluk basyar dengan manusia sebagai insan. Basyar merupakan makhluk yang berada (being), sedangkan insan merupakan makhluk yang menjadi (becoming).
Kedua makhluk ini memiliki perbedaan yang mendasar. Sebagai makhluk yang being manusia cenderung statis, tidak kreatif, tidak dapat mencapai suatu kemajuan, jadi tidak ubahnya seperti hewan. Berbeda dengan manusia yang disebut insan dalam arti sebenarnya yang dapat menggapai suatu kemajuan progresif. Makhluk insan disebut makhluk becom ing, terus bergerak menuju ke arah kesempurnaan dirinya dengan pencapaian yang lebih tinggi, unggul dan mulia, baik di mata sesama manusia, maupun di hadapan Tuhan.
Makhluk ini pula yang memperoleh tiga atribut, yaitu, kesadaran diri, kamauan bebas, serta kreativitas, meskipun tentu saja tidak semua orang dapat memperoleh tingkat insan. Sebab manusia selalu dikungkung oleh seperangkat ke terbatasan dan penjara di sekitar dirinya. Setidaknya terdapat empat penjarah bagi manusia yang selalu menjadi penghambat perjalanan pulang kembali menuju fitrah dan mardhatillah. Penjara itu berupa. alam, sejarah, masyarakat, dan ego.
Untuk melepaskan diri dari penjara alam, manusia harus mengenal dan memahami alam itu sendiri, gejala, fenomena dan prilaku alam. Oleh karena itu, dia dapat memahami power kreatifitasnya di samping cara membebaskan diri dari alam itu. Demikian juga untuk membebaskan diri dari belenggu masyarakat, manusia harus memahami pola interaksi, so siaologi dan antropologi masyarakat secara komprehensif. Juga untuk melepaskan diri penjara sejarah, harus dipahami terlebih dahulu sejarah dan filsafatnya. Sedangkan untuk bisa bebas dari penjara ego manusia, di mana penjara ini merupakan penjara terburuk dan paling sulit dilawan, karena bentuknya tidak kongkret, dan tidak eksternal. Penjara ego hanya mung kin diluluhkan dengan cinta dan iman, karena cinta dan iman merupakan suatu kekuatan yang dahsyat, metafisis dan pasti membutuhkan pengorbanan. Apabila keempat terali penjara dapat ditaklukkan, maka manusia akan mendapatkan kembali fitrahnya yang suci.
Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari selalu timbul problematika individual ataupun sosial yang saling terkait dan interdependen. Problem yang sering kita alami bersama adalah kegagalan melakukan hubungan interaksi vertikal dengan Allah SWT, seperti sulit untuk menghadirkan rasa takut, rasa taat dan rasa bahwa Dia selalu mengawasi perbuatan dan perilaku individu. Sehingga berakibat terhadap rasa malas dan enggan melakukan ibadah dan cendurung kesulitan untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan di murkai Allah SWT, meninggalkan dan menanggalkan nilai nilai kemanusiaan, agama dan ilahiyah.
Disamping itu, problematika individu yang berhubungan dengan dirinya sendiri adalah kegagalan untuk istiqamah bersikap disiplin dan bersahabat dengan hati nuraninya sendiri, yaitu hati nurani yang selalu mengajak, menyeru dan mem bimbing kepada kebaikan dan kebenaran, sehingga muncul sikap waswas, ragu, su’uzh-zhan, lemah motivasi dan tidak mampu bersikap mandiri dalam melakukan segala hal. Cukup beralasan kiranya jika Marx, salah satu eksponen paham materialume, selain berpendapat bahwa agama bagi manusia tak lain tak bukan adalah sebuah candu, juga mengajukan satu narasi yang ia sebut dengan alienasi. Menurutnya, ma nusia akan teralienasi manakala tidak memiliki pekerjaan, karena pekerjaan lah yang membuat manusia meneguhkan serta mengejawantahkan dirinya.” Pekerjaan adalah kegiatan yang dengan itu manusia dapat menemukan identitasnya. Jadi, hakikat manusia adalah bekerja (Homo laborans, homo faber). Dari pandangan ini jelaslah bahwa titik tolak identitas manusia terletak pada materi.
Naluri Dan Peradaban
Di dalam diri setiap orang bercokol dua naluri purba, yakni naluri meraih kenikmatan, dan naluri untuk menguasai. Artinya, secara alamiah, setiap orang terdorong oleh nalurinya untuk mencari apa yang nikmat, apa yang enak, dan itu manusiawi, tak bisa dihindarkan. Di sisi lain, setiap orang terdorong dari dalam dirinya untuk menguasai, yakni pertama dengan memberi nama, memberi arti, lalu menggunakan (misalnya alam atau zat baru untuk kepentingan manusia itu sendiri).
Setiap detik, manusia mencari apa yang enak, entah tempat duduk yang enak di dalam bis, arah kursi yang enak di kantor atau di kampus, atau sekedar mencari makan yang enak sekaligus murah (nikmat). Setiap detik, manusia terdorong untuk menguasai. Zat baru diberi arti dan diperas fungsinya di laboratorium untuk kepentingannya, entah untuk kepentingan bisnis atau kepentingan kemanusiaan. Inilah dua naluri purba manusia yang selalu bercokol di dalam batin setiap orang, entah ia sadar, atau tidak.
Kini, kita hidup di dalam masyarakat hukum. Inilah yang disebut para ahli ilmu sosial sebagai peradaban, yakni suatu teknik untuk mengatur naluri-naluri manusia, sehingga ia tidak menyeruak keluar, dan menghancurkan manusia itu sendiri. Jadi, peradaban, dalam bentuk aturan, hukum, budaya, filsafat, dan agama, tidak menghancurkan naluri manusia, melainkan sekedar mengelolanya. Bisa dibilang, peradaban adalah jalan putar yang lebih tertata, walaupun tujuan akhirnya tetap sama, yakni memuaskan naluri manusia.
Salah satu naluri paling purba untuk meraih kenikmatan adalah seks. Dengan berhubungan seks, orang memperoleh kenikmatan badaniah tertinggi yang bisa dirasakan oleh manusia. Namun, tentu saja, orang tidak bisa berhubungan seks sembarangan, misalnya dengan siapapun, kapanpun dan dimanapun. Disinilah tugas peradaban, yakni menata naluri seks manusia, supaya tidak merusak kehidupan manusia secara keseluruhan. Dan bentuk peradaban untuk mengelola seks adalah institusi pernikahan, dimana orang bisa berhubungan seks di tempat dan waktu yang telah diatur, sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat.
Di dalam perusahaan, kita bisa melihat susunan kekuasaan, mulai dari pemilik, direktur utama, sampai dengan tukang sapu. Di dalam dunia politik, kita juga bisa melihat, bagaimana pemerintahan diatur dengan susunan kekuasaan yang jelas, mulai dari presiden, sampai dengan pegawai kelurahan setempat. Susunan kekuasaan dibuat, supaya naluri berkuasa di dalam diri manusia bisa disalurkan keluar, namun tetap dalam batas-batas aturan yang telah ditetapkan sebelumnya, yakni batas karir (perusahaan), ataupun batas undang-undang (politik). Susunan kekuasaan dalam bisnis maupun politik adalah jalan “beradab” untuk memuaskan naluri berkuasa manusia.
Selain seks, naluri manusia untuk mencapai kenikmatan di dalam tindakan memakan. Mulut adalah sumber kenikmatan terbesar kedua, setelah seks. Naluri kenikmatan dalam bentuk tindakan memakan ini pun perlu diatur, yakni perlu dibuat “beradab”. Maka, manusia menciptakan mall dan restoran, guna memuaskan naluri memakan dan melahap yang memang sudah selalu bercokol di dalam dirinya. Namun, untuk memakan, manusia perlu membayar, dan uang setiap orang, betapapun kayanya dia, tetap terbatas. Maka, memakan dan melahap (mengkonsumsi) tetap terbatas, dan dibuat “beradab” dalam bentuk aturan harga makanan, dan kesempatan memakan.
Tubuh manusia adalah sumber kenikmatan, sekaligus sumber rasa sakit. Untuk menikmati atau untuk menderita, manusia perlu tubuhnya, walaupun kenikmatan dan penderitaan itu seringkali tergolong kenikmatan dan penderitaan batiniah. Salah satu bentuk kenikmatan tubuh adalah keindahan, yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk mode berpakaian dan kultur fitness. Jutaan orang membayar jutaan dollar ataupun euro, sekedar untuk memuaskan hasrat akan keindahan tubuhnya dengan berpakaian indah, sekaligus melatih tubuhnya, supaya berbentuk sesuai keinginan. Industri mode pakaian dan fitness adalah jalan berputar beradab untuk memuaskan naluri kenikmatan badaniah manusia.
Naluri manusia untuk menguasai, sebenarnya, juga memiliki paradoks di dalam dirinya sendiri. Sekalipun manusia ingin menguasai, ia sekaligus juga ingin dikusai, diatur, dan ditaklukkan oleh sesuatu yang dianggapnya lebih kuat. Inilah mengapa, manusia menciptakan agama, yakni sebagai jalan beputar yang “beradab” untuk diatur, dikuasai, dan ditaklukkan oleh sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, yang disebutnya sebagai “tuhan”. Naluri untuk dikuasai inilah yang juga mendorong manusia untuk begitu mudah tergoda pada kekuasaan totaliter dalam segala bentuknya, entah teosentris (berdasarkan agama) atau militer.
Peradaban adalah simbol, bahwa manusia mampu bergerak melampaui naluri-naluri purbanya. Ia adalah jalan putar bagi manusia untuk menata dan mengelola naluri-nalur purbanya, supaya tidak merusak perkembangan manusia itu sendiri.
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 14 jam yang lalu
TangselCity | 12 jam yang lalu