TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Restorasi Spirit Santri dalam Kebijakan Publik

Menata Arah Pendidikan Kota Modern (Bagian II)

Oleh: Budi Rahman Hakim, Ph.D.
Editor: Redaksi selected
Jumat, 04 Juli 2025 | 08:05 WIB
Budi Rahman Hakim. Ph.D.  Foto : Dok.Pribadi
Budi Rahman Hakim. Ph.D. Foto : Dok.Pribadi

SERPONG - Pendidikan bukan sekadar sistem administratif. Ia adalah jantung dari peradaban, tulang punggung masa depan. Setelah mengulas paradoks zonasi dan ketimpangan akses di Bagian I, tulisan ini mengusulkan langkah sistemik untuk menata arah pendidikan Tangsel sebagai kota modern—berbasis nilai, karakter, dan kesetaraan.

 

Reformasi Jalur Afirmasi dan Keadilan Struktural

Salah satu upaya perbaikan SPMB adalah memperluas dan menata ulang jalur afirmasi. Saat ini jalur ini hanya menjangkau siswa dari keluarga dengan KIP atau DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Namun banyak keluarga rentan yang tak masuk data karena kurang informasi atau enggan mengurus dokumen. Di sinilah reformasi afirmasi penting dilakukan.

Dalam Justice as Fairness, John Rawls menyebut bahwa keadilan bukan sekadar distribusi sumber daya, melainkan memperkuat yang paling lemah agar setara dalam peluang. Maka, kebijakan afirmasi Tangsel sebaiknya ditambah dengan verifikasi berbasis kelurahan, bukan hanya melalui angka data nasional.

Kepala sekolah, ketua RW, atau bahkan forum guru lokal bisa menjadi mitra verifikasi yang lebih manusiawi. Artinya, kita membangun jalur afirmasi bukan hanya dengan formulis formal, tapi dengan kepekaan sosial yang terstruktur.

 

Pendidikan Karakter: Menyentuh Hati, Bukan Sekadar Otak

Sistem SPMB hari ini terlalu banyak berbicara angka: nilai UN, titik koordinat rumah, jumlah kuota. Tetapi anak-anak bukan angka. Mereka adalah pribadi yang tumbuh dalam ekosistem nilai, emosi, dan harapan.

Seperti ditekankan oleh Ki Hadjar Dewantara, pendidikan sejati adalah yang “membimbing segala kekuatan kodrat anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya” (Pendidikan, 1940). Maka, di tengah pusaran kompetisi dan digitalisasi, Tangsel perlu menyusun kembali peta pendidikan karakter: dari pelatihan guru, pendekatan orang tua, hingga kurikulum yang menyentuh hati.

Salah satu bentuk konkritnya adalah membentuk “Sekolah Berkarakter Zona Merah”—sekolah-sekolah yang berada di kawasan padat atau rawan sosial, diberi insentif program penguatan karakter, bukan sekadar target akademik.

 

Mengaktifkan Peran Media dan Forum Publik

Dalam krisis seperti ini, media lokal dan komunitas memiliki peran kunci sebagai jembatan solusi. Tangsel Pos, sebagai mitra strategis warga, dapat menjadi medium klarifikasi, edukasi, dan advokasi. Setiap liputan tentang SPMB, jalur afirmasi, dan praktik baik dari sekolah dapat menginspirasi daerah lain.

Media juga bisa mendorong transparansi sistem zonasi dengan menampilkan infografik sebaran sekolah, jalur masuk, hingga kisah sukses warga yang berhasil melalui tantangan dengan etika dan kerja keras. Seperti disebut Noam Chomsky dalam Media Control (2002), media tak sekadar cermin realitas, tapi juga alat untuk menciptakan kesadaran kritis publik.

Di sisi lain, forum RT, masjid, dan kelompok guru dapat didorong menjadi ruang advokasi lokal. Tak sedikit pengurus RW yang menyatakan bingung saat warganya meminta surat keterangan miskin demi SPMB. Di sinilah peran negara harus turun secara lebih dekat dan dialogis.

 

Pendidikan Tak Bisa Netral Nilai

Pendidikan adalah produk nilai, bukan semata prosedur. Jika Tangsel ingin menjadi kota yang modern dan maju, maka ia harus mengedepankan pendidikan yang berakar pada keadilan, empati, dan pembentukan manusia seutuhnya. Maka, kebijakan pendidikan jangan diserahkan pada teknokrat semata, tetapi harus melibatkan pendidik, sosiolog, psikolog, dan pemuka agama.

Mendidik anak bukan soal lulus, tapi soal tumbuh. Dan tugas kita semua—pemerintah, sekolah, orang tua, media, dan masyarakat sipil—adalah menjaga agar pertumbuhan itu tidak terhambat oleh sistem yang pincang atau zona yang membelenggu.

 

Penutup

Tangsel tidak kekurangan sekolah. Yang kadang hilang adalah visi bersama untuk menjadikan pendidikan sebagai jalan peradaban. Kini saatnya kita kembali ke akar: membenahi afirmasi, memperkuat karakter, dan membuka ruang dialog. Karena kota modern bukan dibangun dari beton dan gedung saja—melainkan dari anak-anak yang tumbuh jujur, setara, dan bermartabat.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit