TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Soal Aturan Pilkada, Keputusan MK Sebagian Dianulir DPR

Laporan: AY
Kamis, 22 Agustus 2024 | 06:53 WIB
Ketua KPU Mochammad Afifuddin (kiri). Foto: Ist
Ketua KPU Mochammad Afifuddin (kiri). Foto: Ist

JAKARTA - Perbedaan sikap antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan DPR terkait aturan main Pilkada serentak yang akan digelar November ini, bikin puyeng KPU sebagai penyelenggara Pilkada. KPU merasa seperti hamburger, ada di tengah, terhimpit di antara MK dan DPR. Duh, kok jadi begini ya...

Selasa (20/8/2024), MK mengeluarkan dua putusan menggegerkan terkait uji materi UU Pilkada. Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Dalam Putusan 60, MK menurunkan ambang batas pengajuan calon kepala daerah dari 20 persen kursi di DPRD menjadi 8,5 persen, 7,5 persen, dan 6,5 persen, tergantung jumlah penduduk, serta membolehkan parpol non-parlemen mengusung calon. Kemudian, dalam Putusan 70, MK menetapkan usia calon gubernur/wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung saat penetapan calon. Putusan MK ini berbeda dengan putusan Mahkamah Agung (MA) sebelumnya yang menyebutkan, usia calon gubernur/wakil gubernur minimal 30 tahun itu, dihitung saat pelantikan.

Putusan MK yang harusnya final dan mengikat itu, dilawan DPR. Sehari setelah MK mengeluarkan putusan, Badan Legislasi (Baleg) langsung menggelar rapat melakukan revisi Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada. Dalam rapat tersebut, Baleg DPR menganulir sebagian besar putusan MK.

Rapat Baleg ini dipimpin Wakil Ketua Baleg DPR yang juga politisi PPP Achmad Baidowi. Dari pihak pemerintah, hadir Menkumham Supratman Andi Agtas, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.

Pembahasan revisi UU Pilkada ini sebenarnya sudah lama. Revisi ini merupakan usulan inisiatif DPR pada 23 Oktober 2023. Kemudian disahkan menjadi usul DPR pada Rapat Paripurna 21 November 2023. Di tengah jalan, pembahasan revisi UU Pilkada mandek. Namun, setelah MK mengeluarkan putusan Nomor 60 dan 70, DPR langsung tancap gas melakukan revisi.

Rapat Baleg ini berlangsung sangat singkat. Dimulai dari pukul 10.00 WIB. Kurang dari satu jam, rapat langsung membuat keputusan membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada yang beranggotakan 40 orang dari unsur DPR dan DPD. Meski anggota Fraksi PDIP Arteria Dahlan berteriak-teriak interupsi, tetap tak didengar.

“Kita tutup dulu, Pak. Nanti masuk ke Panja. Harus ada Panja, nanti dibuka lagi kan," ucap Awiek, sapaan akrab Achmad Baidowi.

Panja ini langsung tancap gas. Pukul 11.00 WIB, Panja RUU Pilkada sudah menggelar rapat. Yang pertama, Panja membahas usia calon kepala daerah. Panja memilih mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) bahwa usia untuk cagub-cawagub minimal 30 tahun dan cabup-cawabup atau cawalkot-cawawalkot minimal 25 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih. Sedangkan putusan MK bahwa batas usia minimal saat pengesahan calon, dianulir.

"Setuju ya, ikut putusan MA," ucap Awiek, saat memimpin rapat Panja RUU Pemilu. Anggota DPD yang ikut rapat menyatakan setuju. Demikian juga dari pihak pemerintah.

Disusul keputusan Pemerintah yang menyesuaikan suara mayoritas anggota dewan. "Setuju ya merujuk pada Mahkamah Agung ya? Lanjut," tanya Awiek.

PDIP lagi-lagi protes. Kali ini disampaikan Putra Nababan. Putra menganggap Awiek mengambil keputusan sepihak. Namun, protes tersebut diabaikan. 

Rapat pun dilanjutkan dengan membahas ambang batas pencalonan kepala daerah yang diturunkan MK dalam putusan Nomor 60. Pada pembahasan ini, tidak ada interupsi. Rapat berjalan santai. 

Panja RUU Pilkada ini menganulir sebagian Putusan MK Nomor 60. DPR mengembalikan ambang batas pencalonan menjadi 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen suara sah untuk partai/gabungan partai yang memiliki kursi di DPRD. Sedangkan untuk partai yang tak memiliki kursi DPR, aturannya mengikuti putusan MK.

Kondisi ini jelas membuat KPU terjepit. Apalagi, saat membacakan pertimbangan putusan, Selasa (20/8/2024), Wakil Ketua MK Saldi Isra menegaskan, KPU mesti menindaklanjuti putusan MK sebelum menetapkan calon kepala daerah. Jika KPU tidak menjalankan tindak lanjut sebagaimana putusan MK, hasil pilkada berpotensi dinyatakan tidak sah oleh MK.

“Jika penyelenggara tidak mengikuti pertimbangan dalam putusan Mahkamah a quo, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan, calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi dimaksud berpotensi untuk dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah,” ucap Saldi, saat itu.

Ketua KPU Mochammad Afifuddin tampak bingung menghadapi kondisi ini. "Posisi KPU itu ibarat hamburger, itu di tengah. Penyet,” ucapnya, di Sleman, Yogyakarta, Rabu (21/8/2024).

Dia melanjutkan, di satu sisi ada putusan MK. Di sisi lain, ada revisi UU Pilkada oleh DPR, yang aturannya bertolak belakang dengan putusan MK. “Semua diserahin ke kita bagaimana menindaklanjutinya," ucapnya.

Pihak Istana menanggapi perbedaan sikap MK dan DPR ini dengan normatif. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menyatakan, MK dan DPR sama-sama punya kewenangan untuk dihormati.

"MK sudah mengeluarkan putusan. Namun, kita juga harus menghormati hak DPR sebagai lembaga legislatif yang punya kewenangan juga membentuk Undang-Undang," ucapnya, di Kantor Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), Jakarta, Rabu (21/8/2024). 

Setelah Hasan Nasbi berkomentar, Presiden Jokowi juga berkomentar. Lewat video, Kepala Negara menyatakan, proses tersebut merupakan hal biasa yang terjadi dalam konstitusi Indonesia. "Itu proses konstitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki," ucapnya, dalam video pernyataan yang diunggah di YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (21/8/2024) sore. 

Oleh karena itu, pemerintah akan menghormati kewenangan dari masing-masing lembaga negara. "Kita hormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara," ujar Jokowi, 

Kemudian, dalam penutupan Munas Golkar, Jokowi juga bicara soal ini. dalam pidatonya, Jokowi menyinggung istilah Si Tukang Kayu yang sering dibawa-bawa dalam setiap hal, termasuk putusan MK dan sikap DPR soal aturan Pilkada.

“Kalau sering buka di media sosial, pasti tahu Tukang Kayu ini siapa. Padahal kita tahu semuanya, yang membuat putusan itu adalah MK, itu adalah wilayah yudikatif. Dan yang saat ini juga sedang dirapatkan di DPR itu adalah wilayah legislatif, tapi tetap yang dibicarakan adalah Si Tukang Kayu,” ujarnya.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini memaklumi hal tersebut sebagai sebuah warna-warni demokrasi. Dia pun memastikan, Presiden sebagai lembaga eksekutif sangat menghormati lembaga yudikatif dan lembaga legislatif.

“Kami sangat menghormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara yang kita miliki. Mari kita menghormati keputusan, beri kepercayaan bagi pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan proses secara konstitusional,” jelasnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo