TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Rencana Subsidi Penumpang KRL Berbasis NIK, Tepat Sasaran Atau Diskriminatif?

Oleh: Farhan
Rabu, 04 September 2024 | 11:06 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Pemerintah berencana memberikan subsidi kereta rel listrik (KRL) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada masyarakat. Subsidi ini akan dimulai pada 2025.

Rencana itu terkuak dari Dokumen Buku Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2025.

Intinya, subsidi untuk kewajiban pelayanan publik, atau public service obligation (PSO) dalam RAPBN tahun anggaran 2025, rencananya sebesar Rp 7.960,1 miliar (Rp 7,9 triliun).

Dilansir CNCB Indonesia, anggaran belanja subsidi PSO tahun anggaran 2025 yang dialokasikan kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar Rp 4.797,1 miliar (Rp 4,79 triliun), untuk mendukung perbaikan kualitas dan inovasi pelayanan kelas ekonomi bagi angkutan kereta api, antara lain KA ekonomi jarak jauh, KA ekonomi jarak sedang, KA ekonomi jarak dekat, KA ekonomi Lebaran, KRD ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan LRT Jabodebek.

Pemerintah memberikan sejumlah catatan perbaikan dalam pemberian PSO 2025, yakni: Pertama, penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek. Kedua, pelaksanaan penilaian kepuasan pelanggan dengan mekanisme survei indeks kepuasan masyarakat (IKM) pada KA penugasan PSO.

Ketiga, mekanisme pengurangan pemberian subsidi pada KA penugasan PSO melalui skema perhitungan pendapatan non tiket (non core). Keempat, melakukan pelaksanaan verifikasi berbasis biaya pada penyelenggaraan KA PSO.

Poin pertama, mendapatkan kritikan. Sebab, dengan perubahan skema subsidi berbasis NIK, artinya tidak semua masyarakat bisa menerima layanan KRL dengan harga yang murah seperti sekarang. Padahal, KRL bisa mengurangi penggunaan moda transportasi pribadi untuk mengurangi kemacetan.

Sebagai catatan, tarif KRL Jabodetabek belum naik sejak 2016. Skema tarifnya, yaitu sebesar Rp 3.000 untuk 25 kilometer (Km) pertama, dan ditambah Rp 1.000 untuk setiap 10 kilometer.

Wacana ini mengundang perdebatan. Anggota Komisi VI DPR, Herman Khaeron menilai, subsidi menggunakan NIK agar tepat sasaran.

Anggota Komisi V DPR, Sigit Sosiantomo tidak sependapat dengan subsidi KRL berbasis NIK. Kata dia, itu diskriminatif dan akan menambah beban masyarakat, karena ujung-ujungnya, tarif akan naik.

Untuk lebih jelasnya, berikut wawancara dengan Herman Khaeron tentang subsidi KRL berbasis NIK ini.

Pemerintah kabarnya berencana memberikan subsidi bagi peng­guna KRL, tapi berdasarkan NIK. Bagaimana pendapat Anda?

Ya, supaya tepat sasaran. Subsidi diberikan kepada pihak yang me­mang betul-betul membutuhkan. Saya kira, bukan untuk subsidi KRL saja. Tapi, untuk seluruh subsidi.

Banyak pihak yang mengkhawatirkan subsidi itu tidak tepat?

Jika ada anggapan seperti itu, harus dibangun sistem atau aplikasi yang memungkinkan subsidi tepat sasaran. Nah, ini kan masalah utama sekarang.

Apakah banyak subsidi yang tidak tepat sasaran?

Iya, banyak subsidi yang tidak tepat sasaran. Karena itu, dari waktu ke waktu, terus diperbaiki dengan berbagai sistem.

Contohnya?

Seperti di Pertamina. Sekarang sudah menggunakan barcode untuk mengisi bensin subsidi. Nah, ini juga sama, semestinya menggunakan NIK.

Jika menggunakan NIK, apakah bisa lebih clear?

Dengan NIK, bisa by name, by ad­dress. Semestinya, memang by name by address. Supaya tepat sasaran. Makanya, butuh data untuk menjamin bahwa subsidi ini dipercaya.

Banyak pihak yang menolak ini. Bagaimana pandangan Anda?

Mekanisme untuk sampai kepada penduduk, memang butuh proses

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo