Apakah Anda Setuju Calon Kades Diusung Partai Politik?
TANGERANG - Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, aparatur desa dilarang ikut dalam berpolitik praktis.
Lebih khusus, dalam Pasal 29 huruf (g) disebutkan, kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik.
Pasal 280, Pasal 282, dan Pasal 494 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga mengamanatkan, kepala desa dan perangkat pemerintahan desa, dilarang berpolitik praktis.
Jika ada yang melanggarnya, maka kena sanksi. Sanksinya, pidana penjara hingga denda. Mereka juga dapat dipecat dari jabatannya, jika terbukti melanggar aturan netralitas dalam Pemilu dan Pilkada.
Meski begitu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Ahmad Doli Kurnia mengusulkan, pemilihan kepala desa (Pilkades) lewat sistem diusung partai politik. Hal ini akan menjadikan mekanisme Pilkades sama dengan Pilkada.
Politisi dari Partai Golkar itu mengusulkan, supaya mekanisme pemilihan kades dibahas dalam agenda revisi delapan paket UU, melalui mekanisme omnibus law.
Saat ini, kata Doli, Pilkades dalam praktiknya sudah menerapkan sistem kepartaian. “Pencalonan mereka pakai partai, cuma bedanya partai nangka, partai pepaya, partai kambing, tapi partai juga,” tutur Doli.
Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Widhi Hartono, menolaknya.
“Biarkan Pilkades tetap dilaksanakan seperti Pilkades yang diwariskan nenek moyang kita, tanpa keterlibatan partai politik,” ujarnya, kepada Rakyat Merdeka, Sabtu (2/11/2024).
Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta juga menolak wacana tersebut. “Jangan menarik masalah desa ke partai politik. Hati-hati,” ingatnya.
Untuk lebih jelasnya, berikut wawancara dengan Ahmad Doli Kurnia tentang wacana Pilkades melalui partai politik.
Anda memunculkan wacana, calon kepala desa diusung partai politik ya...
Wacana ini perlu dipertimbangkan. Harus dikaji secara serius, kemungkinan pemilihan kepala desa itu melibatkan partai politik.
Kenapa?
Pertama, selama ini pemilihan kepala desa itu sebenarnya adalah pemilihan yang sangat dinamis. Pilkades juga sudah melakukan proses pemilihan yang menggunakan mekanisme kepartaian.
Selain itu, yang mendukung calon kepala desa dalam proses Pilkades, adalah kalangan partai politik juga.
Alasan berikutnya?
Kedua, banyak yang mengkritik jika partai politik tidak memiliki political ID bagi konstituennya di akar rumput. Bagaimana kita bisa memiliki political ID, kalau di tingkat desa dibatasi.
Nah, kenapa tidak kita kaji kemungkinan diberlakukannya sistem kepartaian formal, dalam pemilihan kepala desa.
Calon kepala desa bebas memilih partai yang mendukungnya, ya...
Iya, mereka bebas kalau misalnya nanti diberi peluang seperti itu. Lagian, proses kaderisasi partai kan juga semakin meluas sampai tingkat bawah.
Jika Pilkades melalui parpol, ada kekhawatiran, potensi konfliknya lebih besar. Tanggapan Anda?
Kalau potensi konflik, sama saja. Tanpa parpol pun, potensi konfliknya besar. Dari data yang ada, saya menemukan banyak korban akibat Pilkades. Korban jiwa lebih banyak di Pilkades.
Kenapa soal konflik, partai yang disalahkan. Apakah partai sumber konflik, kan tidak.
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu