RSCM Rawat 172 Pasien Kecanduan Judol
JAKARTA - Sepanjang 2024, RSCM telah merawat 172 pasien akibat kecanduan judi online atau judol. Dari diagnosa dokter, judol dapat menyebabkan kerusakan fungsi otak.
Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat (Menko PMK), Muhaimin Iskandar atau yang akrab disapa Cak Imin, menemui para pecandu judol, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Jumat (15/11/2024).
Memakai kemeja putih dan celana panjang berwarna krem, Cak Imin datang bersama sejumlah pejabat Kemenko PMK. Cak Imin Cs disambut Direktur Utama RSCM, dr. Supriyanto dan Kepala Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) RSCM dr Kristiana Siste Kurniasanti.
Cak Imin sempat berbincang dengan salah satu pasien yang menjalani perawatan di ruang psikiatri. Termasuk berdiskusi dengan para dokter untuk mengetahui awal mula gangguan yang dialami pasien hingga mengalami gangguan psikologis.
“Kedatangan saya, spesifik khusus ingin mengerti dan memahami serta melihat secara utuh dari segi kesehatan, baik mental maupun fisik para korban judi online termasuk cara menanganinya,” ujar Cak Imin, di RSCM, Jakarta, Jumat (15/11/2024).
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengatakan, baru memahami bahwa gangguan mental maupun fisik tidak hanya menyerang para pemain, tapi juga dialami pengelola situs judol. Seluruh aspek kehidupan mereka disebut mengalami kehancuran ekonomi, sosial, psikologis, hingga keluarga.
Guna mengatasinya, Cak Imin mengajak seluruh pihak bahu-membahu mengatasi permasalahan judol yang dianggapnya telah menjadi bencana sosial nasional. Sebab, tidak kurang dari 8,8 juta masyarakat Indonesia menjadi korban, dan 80 persen di antaranya berasal dari masyarakat kalangan menengah ke bawah.
“Presiden menegaskan, semua sigap mengatasi judol. Karena Rp 900 triliun per tahun uang mengalir ke luar negeri dari rakyat kecil. Ini tak bisa dibiarkan,” sebutnya.
Cak Imin juga mengharapkan komitmen dari tokoh masyarakat, kampus, tokoh agama dan masyarakat, lembaga pendidikan, hingga peran keluarga untuk sama-sama memerangi judol agar dapat terselesaikan dengan baik dan cepat. “Jadi, bukan hanya tanggung jawab sebagai menteri,” tuturnya.
Cak Imin menyebut, dalam waktu dekat Pemerintah akan memberikan bantuan tunai untuk para korban, termasuk memberi pelatihan agar mereka dapat keluar dari ketergantungan. “Tentu, selain BPJS. Kemudian kita juga ada berbagai bantuan-bantuan dari Kementerian Sosial,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Departemen Psikiatri FKUI-RSCM dr Kristiana Siste Kurniasanti mengatakan, sepanjang 2024 ada 126 pasien sepanjang 2024 yang menjalani rawat jalan. Sementara pasien rawat inap ada sebanyak 46 pasien. Total ada 172 pasien. Jumlah tersebut meningkat hampir 3 kali lipat dibanding 2023.
Kristiana menyebutkan, mayoritas pasien yang datang adalah laki-laki dengan usia mulai 14 sampai 35 tahun. Mereka kebanyakan berasal dari Jabodetabek. “Tapi, ada rujukan juga dari luar kota, misalnya dari Kalimantan, Sumatera, kemudian juga dari Jawa Tengah dan Sulawesi,” sebut Kristiana.
Soal latar belakang korban, ditegaskan Kristiana, rata-rata bukan pengangguran. Sebaliknya, mereka justru para pekerja yang mengalami gangguan psikologis seperti rasa cemas berlebihan. “Kalau sudah mengalami kecanduan, itu bisa sampai depresi berat, akibat tidak bisa berhenti dari siklus lingkaran setannya,” imbuh dia.
Proses terapi yang harus dijalani pasien, disebut Kristiana, bisa memakan waktu hingga satu tahun lamanya. Sebab, proses terapi pasien kecanduan judol harus dilakukan bertahap.
Kristiana menyebutkan, kecanduan judol mirip dengan kecanduan narkotika, hanya saja tidak ada zat kimia yang masuk ke dalam tubuh. Tetapi, telah terjadi kerusakan di dalam otaknya. “Ada kerusakan otak bagian depan sehingga tidak bisa mengendalikan perilaku,” ujarnya.
Salah satu metode pengobatan yang dilakukan saat ini, kata Kristiana, adalah terapi ‘transmagnetic stimulation’ dengan menggunakan aliran gelombang elektromagnetik yang bisa mengaktifkan ‘stop system’ di otak bagian depan. “Sehingga orang tersebut bisa mengendalikan perilakunya,” jelasnya.
Meski begitu, Kristiana mengakui, terapi tersebut tidak sepenuhnya bisa berhasil 100 persen. Sebab, pasien kecanduan judol rentan kambuh. Terutama dalam waktu tiga bulan pertama usai jalani terapi psikis. Sayangnya, belum ada data konkrit mengenai jumlah pasien yang mengalami kekambuhan.
“Sekitar 70 persen sudah tidak berjudi lagi, tapi namanya kecanduan itu kan ada masa relaps ya. Jadi kita mesti follow up tiga bulan setelah pasca perawatan. Itu yang belum kami lakukan,” pungkasnya.
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
TangselCity | 17 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Ekonomi Bisnis | 2 hari yang lalu