Partisipasi Pemilih Di Pilkada 2024 Merosot
JAKARTA - Partisipasi pemilih di Pilkada 2024 melorot dibanding Pilpres 2024. Hal ini harus menjadi bahan introspeksi semua pihak, termasuk mengevaluasi waktu pencoblosan yang berdekatan.
Anggota KPU RI, August Mellaz memaparkan, tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 turun drastis dibanding Pilpres dan Pileg 2024. “Dari gambaran secara umum, kurang lebih di bawah 70 persen, secara nasional rata-rata,” ucapnya, di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024).
Dia menduga, ada beberapa faktor yang menyebabkan angka golongan putih (golput) atau kelompok yang tidak memilih semakin tinggi. Antara lain, jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang lebih sedikit dibanding Pemilu 2024.
Mellaz menyebut, pada Pilpres 2024, KPU menyiapkan 800 ribu lebih TPS. Sedangkan pada Pilkada 2024, jumlah TPS dipangkas hampir setengahnya. Hal inilah yang kemungkinan membuat pemilih enggan menggunakan hak suaranya, karena harus menempuh jarak lebih jauh untuk mencoblos.
Selain itu, Mellaz menduga, penurunan partisipasi ini karena proses sosialisasi yang kurang maksimal dan dinamika di daerah masing-masing yang memengaruhi partisipasi pemilih. Semua hal ini akan dijadikan bahan evaluasi oleh KPU, agar dalam Pilkada ke depan, partisipasi pemilih lebih tinggi.
Namun, untuk saat ini, KPU masih fokus melakukan rekapitulasi yang diprediksi rampung pada 15 Desember 2024. “Jajaran kami di tingkat provinsi dan kabupaten/kota itu sedang melakukan tahapan rekapitulasi. Jadi, fokusnya masih di sana,” ujarnya.
Rendahnya Tingkat partisipasi publik dalam Pilkada 2024 ini disoroti Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf. Politisi Partai Demokrat ini pun mengusulkan agar Komisi II DPR memanggil KPU ke Senayan. Dia berharap, pemanggilan juga dilakukan terhadap KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang tingkat partisipasi publiknya rendah.
“Ya, saya rasa harus dipanggil,” ucapnya, kepada wartawan, di Senayan, Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Namun, kata Dede, pemanggilan tidak akan dilakukan buru-buru. Pihaknya paham, saat ini KPU sedang sibuk melakukan rekapitulasi suara. “Biar mereka menyelesaikan dulu tahapan baru setelah itu kita evaluasi,” ujarnya
Dede lalu menguraikan beberapa hal yang mungkin jadi faktor masalah rendahnya partisipasi pemilih. Antara lain, Lokasi TPS yang tidak diketahui. Hal itu pun dialaminya sendiri saat akan memilih di Pilkada Jakarta.
“Sebagai warga Jakarta saya pun nggak tahu TPS-nya di mana. Baru nyari-nyari pas di lokasi,” ujarnya.
Selain itu, dia melihat, tampilan TPS saat Pilkada 2024 banyak yang biasa-biasanya saja. Beda dengan saat Pilpres, ketika banyak TPS yang dihias indah, sehingga masyarakat merasa tertarik untuk datang kemudian mencoblos.
Sementara, pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, Pilkada 2024 terselenggara di tengah kelelahan politik. Pasalnya, digelar di tahun yang sama dengan Pemilu 2024.
Dia pun mengusulkan, ke depan, antara Pemilu dan Pilkada dibuat jarak yang ideal. “Setidaknya harus ada jeda dua tahun antara satu sama lain, sehingga ada rentang untuk melakukan evaluasi sebelum melanjutkan penyelenggaraan tahapan Pilkada,” ujar Titi, Jumat malam (29/11/2024).
Selain itu, Titi menilai, banyak calon kepada daerah yang bertarung belum mewakili pilihan rakyat. Bahkan, ada calon kepala daerah yang terkesan dipaksakan karena diambil dari wilayah lain. Akibatnya, calon tersebut tidak sejalan dengan aspirasi daerah. Kondisi ini harus menjadi bahan evaluasi bagi elite politik.
Ini yang membuat mesin partai tidak bekerja di sejumlah daerah dalam melakukan kampanye pemenangan untuk calon yang diusung partainya," katanya.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Prof Kacung Marijan berpandangan sama. Khusus di Pilkada Jakarta, Kacung menilai, rendahnya angka partisipasi pemilih karena calon-calon yang ada dianggap belum sepenuhnya mencerminkan keinginan mereka.
Sebelumnya, rendahnya angka partisipasi pemilih ini terlihat dari hasil quick count yang dilakukan lembaga survei di Pilkada 2024. Litbang Kompas misalnya, memaparkan, angka partisipasi pemilih di Pilkada Jakarta hanya 57,93 persen. Kemudian, di Jawa Barat, yang menggunakan hak pilih hanya sebanyak 66,34 persen.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan data hampir sama. Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan menyebut, untuk Pilkada Jakarta, angka partisipasi pemilih hanya 57 persen. Artinya, sekitar 43 persennya golput.
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu