Menlu: Kedaulatan RI Tidak Bergeser!
JAKARTA - Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono mendapat "hujan" pertanyaan saat rapat dengan Komisi I DPR, Senin (2/12/2024) pagi. Salah satunya, Menlu dicecar DPR soal kesepakatan Pemerintah dengan China yang dibuat saat lawatan Presiden Prabowo Subianto, 9 November lalu. Di hadapan para wakil rakyat, Menlu tegaskan "kedaulatan RI tidak bergeser".
Menlu Sugiono memenuhi undangan Komisi I DPR untuk menggelar rapat kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2024). Rapat perdana antara Menlu Sugiono dengan Komisi I ini berlangsung pukul 10.00 WIB. Dipimpin Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto.
"Agenda kita yakni membahas tentang rencana program kerja 100 hari Kementerian Luar Negeri tentu atas arahan Presiden," kata Utut Adianto, saat membuka rapat.
Setelah itu, Wakil Ketua Komisi I Budisatrio Djiwandono meminta izin kepada Utut agar memerintahkan jajarannya untuk memperkenalkan diri di hadapan birokrat Kemenlu. "Karena ini rapat perdana, kami akan mempersilakan setiap anggota yang hadir dalam rapat kerja ini untuk memperkenalkan dirinya masing-masing," pinta Budisatrio.
Menlu Sugiono pun ikut memperkenalkan jajarannya yang hadir, di antaranya Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir dan Wamenlu Anis Matta. Sementara Wamenlu Arif Havas Oegroseno berhalangan hadir karena sedang berada di Eropa untuk menjalankan tugas.
Sugiono menjelaskan, 3 Wamenlu punya tupoksi yang berbeda-beda. Arrmanatha lebih banyak aktif di bidang-bidang yang bersifat internal dan multilateral. "Kemudian Pak Anis Matta tentu saja nature-nya beliau lebih banyak mengurusi hal-hal yang sifatnya dengan dunia Islam," ucapnya.
Sedangkan, Arif Havas Oegroseno lebih banyak fokus pada bidang urusan bilateral dan perjanjian-perjanjian internasional. "Walaupun demikian, pembagian tugas ini sifatnya tidak menyekat, tidak rigid. Tetapi kami juga memimpin Kemenlu ini secara kolektif kolegial," ungkap Sugiono.
Usai saling memperkenalkan diri, raker kemudian masuk pada hal substantif. Terutama yang menyangkut pada posisi Indonesia di hadapan China. Mengingat, beberapa waktu lalu Indonesia dan China menyepakati 14 poin pernyataan bersama, yang satu di antaranya terdapat klausul batas Laut China Selatan (LCS).
Hal ini menuai sorotan Komisi DPR yang membidangi luar negeri. Mereka mencecar maksud pernyataan bersama tentang klausul batas LCS. Karena informasi yang berkembang, dalam kesepakatan itu, Indonesia mengakui Nine Dash Line (sembilan garis putus-putus), istilah yang biasa dipakai China untuk mengklaim kepemilikan Perairan Natuna.
Ada dugaan yang mengacu ke pernyataan bersama bahwa Indonesia telah mengubah sikap dengan mengakui klaim China. Padahal, Kementerian Luar Negeri mengklarifikasi tidak ada pengakuan tersebut. "Pernyataan itu menimbulkan kegelisahan di kawasan," kata Anggota DPR Fraksi NasDem Amelia Anggraini.
Amelia lalu meminta Sugiono menjelaskan masalah itu. Dia berharap, Indonesia bisa menjaga hubungan baik dengan negara tetangga. "Semoga tak ada perjanjian dalam perjanjian yang tak transparan," harapnya.
Anggota DPR Fraksi PDIP TB Hasanudin juga menyampaikan kekhawatiran serupa. Dia mengingatkan, sikap Indonesia itu saklek menolak sembilan garis putus-putus. Indonesia, tegas dia, menghormati hukum internasional.
"Apakah betul kita akan bekerjasama (di wilayah) Nine Dash Line yang dulu kita tolak itu. Jangan membuat seolah-olah di wilayah yang kita tolak itu, akan ada kerja sama," tegas TB Hasan.
Protes juga dilayangkan Anggota DPR Fraksi Demokrat, Rizki Aulia Natakusumah. Dia mengaku heran dengan kesepakatan yang dibuat ketika Presiden Prabowo Subianto bertemu Presiden China Xi Jinping tersebut. Rizki lantas menyoroti code of conduct (CoC) yang tertera dalam pernyataan bersama RI-China.
Dia juga mengutip poin 9 yang menyinggung soal code of conduct, aturan atau kode etik yang mengatur tindakan di LCS. Poin itu berbunyi: Kedua belah pihak menegaskan kembali komitmen mereka terhadap implementasi penuh dan efektif deklarasi tentang perilaku para pihak di Laut Cina Selatan (DOC), dan penyelesaian awal kode etik (CoC) berdasarkan konsensus. Sehingga bersama-sama menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan.
"Pertanyaan saya, apakah prinsip dasar dan landasan pikiran CoC yang disebut di joint statement sama dengan yang selama ini kita usulkan?" tanya Rizki.
Dicecar banyak protes, Menlu Sugiono tetap santai. Dengan perlahan, dia menjawab mengenai posisi Indonesia dalam menyikapi gaung Nine Dash Line China. "Di situ (pernyataan bersama) tidak disebutkan kita mengakui apapun. Belum ada tulisan, belum ada pernyataan yang menyatakan kita akan bekerjasama di titik a koordinat b," kata Menteri Sugi.
Sugiono juga menerangkan Indonesia menghormati hukum internasional dan konvensi hukum laut PBB, UNCLOS. Selain itu, dia mengatakan CoC yang disebut dalam pernyataan bersama sesuai dengan yang sedang diusulkan.
"Urusan kedaulatan kita (Indonesia) tidak bergeser dari posisi kita, dan kita punya undang-undang perbatasan dengan negara tetangga, dan itu yang menjadi pegangan kita gitu," tegasnya.
Politisi dari Gerindra ini menjelaskan maksud pernyataan bersama itu lebih pada fokus bagaimana Indonesia-China memanfaatkan kekayaan alam yang ada di LCS untuk kepentingan bersama. "Bahwa di situ disebutkan kita akan melakukan join development di wilayah yang disebut overlapping claim, kemudian berdasarkan hukum dan peraturan relevan yang berlaku," tukas dia.
Sugiono pun memastikan tidak ada maksud memihak pada 14 poin pernyataan bersama Indonesia-China. Apalagi, sampai mengakui klaim Nine Dash Line. "Kita tidak mengakui apapun. Jadi, tidak ada persepsi lebih dari itu (joint development kekayaan alam di wilayah yang disebut overlapping claim)," pungkas Sugiono.
Sebelumnya, kekhawatiran soal kesekapatan yang dibuat Presiden Prabowo dengan Presiden China Xi Jinping pada 9 November 2024, disampaikan Guru Besar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana. Dia mempertanyakan Joint Development (Pengembangan Bersama) dengan China dalam Joint Statement
Hikmahanto mengatakan, dalam butir 9 dengan judul "The two sides will jointly create more bright spots in maritime cooperation" disebutkan bahwa "The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims"
"Menjadi pertanyaan mendasar apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini terkait klaim sepuluh garis putus oleh China yang bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara?" kata Hikmahanto.
Bila memang benar, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis. Tentu saja, ini merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan.
Pengakuan klaim sepihak Sepuluh Garis Putus jelas tidak sesuai dengan perundingan perbatasan zona maritim yang selama ini dilakukan oleh Indonesia. Selama ini, kata dia, Indonesia tidak pernah melakukan perundingan maritim dengan China.
"Hal ini karena dalam peta Indonesia dan dalam Undang-undang Wilayah Negara tidak dikenal Sepuluh Garis Putus yang diklaim secara sepihak oleh China," tegasnya.
Menurutnya, bila memang benar Indonesia hendak melakukan joint development dengan pemerintah China, maka ini akan berdampak pada situasi geopolitik di kawasan. Negara-negara yang berkonflik dengan China sebagai akibat klaim sepihak Sepuluh Garis Putus, seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam akan mempertanyakan posisi Indonesia. Tentu saja, hal ini bisa memicu ketegangan diantara negara ASEAN.
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu