Ujian Nasional (UN) Mau Digelar Lagi, Untungnya Apa? Mudharatnya Apa?
JAKARTA - Ujian Nasional (UN) akan kembali digelar, menjadi salah satu topik perbincangan masyarakat.
Yang memberikan sinyal menghidupkan kembali UN, adalah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Abdul Mu'ti.
Abdul Mu'ti menjelaskan, pihaknya sudah melakukan kajian dari semua pengalaman sejarah UN, termasuk kekhawatiran masyarakat dan sebagainya.
Berdasarkan kajian itu, lanjutnya, UN nanti memiliki sistem evaluasi baru yang berbeda dengan sebelumnya. Meski siap dengan konsep yang ada, menurutnya, UN belum digelar pada 2025.
UN akan dilaksanakan pada 2026, dan hanya digelar oleh sekolah yang sudah terakreditasi secara resmi oleh Pemerintah. “Yang menjadi penyelenggara ujian itu adalah satuan pendidikan yang terakreditasi," tegas Mu'ti.
Seperti apa skemanya? Petinggi organisasi Muhammadiyah ini, belum mau membeberkannya kepada publik. Ia akan mengumumkan format UN pada waktu yang tepat. “Tunggu sampai ada pengumuman resmi," ujar Mu'ti.
Wacana UN ini mengundang pro dan kontra di masyarakat. Ada yang setuju, ada juga yang menolaknya.
Kemudian, kalangan guru bersuara. Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri mewanti wanti, agar Mendikdasmen berhati-hati dalam membuat aturan mengenai UN.
Mendikdasmen, lanjutnya, perlu menjelaskan lebih detail mengenai konsep UN pada 2026. “Jangan sampai UN membebani negara dan siswa,” katanya.
Namun, Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi PKB, Lalu Hadrian Irfani tak mempermasalahkan jika UN dihidupkan kembali. “Saya mendukung saja,” ujarnya.
Berikut ini pandangan Lalu Hadrian Irfani tentang rencana menghidupkan kembali UN pada 2026. Berikut ini wawancaranya.
UN akan diberlakukan lagi.
Bagaimana pandangan Anda?
Pada prinsipnya, kami mendukung langkah-langkah atau kebijakan-kebijakan Pemerintah, dalam hal ini Mendikdasmen yang ingin mengembalikan UN maupun kebijakan pendidikan yang lain.
Apa dasar Anda mendukung UN?
Sejak UN ini ditiadakan, banyak orangtua peserta didik yang mengeluh. Karena tidak ada UN, maka anak-anak malas belajar.
Selain itu, negara dalam hal mengukur mutu pendidikan, tidak memiliki parameter yang jelas. Sejak UN ditiadakan, Pemerintah menggunakan sistem asesmen.
Namun, asesmen itu kan sampling. Asesmen nasional kemudian yang di-sampling itu siswa atau peserta didik satu tingkat di bawahnya. Itu menggunakan sampel. Nah, itu dirasa kurang optimal.
Saran Anda?
Sebenarnya, ini penggabungan dua cara, yakni ujian nasional plus asesmen nasional. Kalau digabungkan menjadi satu kesatuan, akan lebih bagus.
Tinggal format serta formulanya seperti apa, itulah yang harus kita bahas dan kita diskusikan bersama tahun ini. Supaya, pada 2026, sudah bisa dilaksanakan dengan format atau formula yang baik, baru, inovatif, yang bagus, sehingga peserta didik nyaman. Walaupun mereka ujian, tidak terbebani.
Prinsipnya perlu dikaji dulu, ya?
Iya. Sebelum memutuskan, kami minta supaya betul-betul dikaji. Pertama, tentu ujian nasional ini kenapa diubah, tentu ada kelemahan-kelemahan.
Apa saja kelemahan itu?
Misalnya, anak didik kita merasa terintimidasi, merasa psikologisnya tidak baik ketika ujian dikawal aparat.
Kemudian, masa sih untuk mengukur standar nasional pendidikan itu hanya diukur dalam 3 atau 4 hari ujian. Padahal, mereka sekolah 6 tahun untuk SD. Nah, seperti itu kelemahan-kelemahannya, termasuk SMP maupun SMA.
Jika begitu, apa saran Anda?
Kami menyarankan agar jangan sampai ujian nasional ini, dijadikan satu-satunya parameter kelulusan. Untuk mengukur mutu siswa didik atau peserta didik, itu tidak mungkin dengan 3 hari.
Banyak faktor lain seperti kepribadian, kemudian keterampilan mereka yang memang harus menjadi tolak ukur juga untuk syarat lulus, maupun untuk mengukur mutu serta kualitas pendidikan kita.
Kalau ini diberlakukan, tolong dipikirkan juga anggarannya. Anggaran ini tentu tidak kecil. Misalnya masih menggunakan sistem manual seperti dulu, nge-print soal seluruh Indonesia, kemudian pengawalan ke daerah, kemudian melibatkan aparat, tentu butuh biaya yang besar.
Maksud Anda perlu digitalisasi?
Iya, sekarang ini zamannya sudah digital. Kenapa tidak menggunakan komputerisasi saja, atau ujian nasional berbasis komputer, misalnya. Itu lebih efisien.
Selain itu, kami tentu meminta kalau nanti dilakukan berbasis digital, maka seluruh Indonesia harus sama menggunakan komputer semua.
Bagi sekolah-sekolah yang ada di pelosok, di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), harus dipikirkan prasarananya. Fasilitas di daerah 3 T itu tidak seperti di kota.
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 15 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu