TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Mendudukkan Ormas Dalam Bingkai Bernegara

Oleh: Prof. Dr. Muhadam Labolo
Editor: Ari Supriadi
Rabu, 07 Mei 2025 | 00:51 WIB
Prof. Dr. Muhadam Labolo, Guru Besar IPDN.(Dok. pribadi)
Prof. Dr. Muhadam Labolo, Guru Besar IPDN.(Dok. pribadi)

EKSISTENSI organisasi kemasyarakatan (ormas) kini mencemaskan, karenanya dipersoalkan. Masalahnya, ruang publik dihiasi premanisme atas nama ormas. Tentu tak semua ormas. Negara dinilai abai atas tindak-tanduknya yang menyerupai, bahkan melampaui fungsi dan tugas negara. Bagaimana memosisikan ormas dalam bingkai bernegara?

 

Semua paham, bahwa negara pada hakekatnya produk masyarakat. Jauh sebelum entitas negara hadir, tiap individu yang merasa terganggu mengasosiasikan diri dalam organisasi. Sebab hanya dengan begitu kekuatan dapat ditumbuhkan untuk membentengi dan mengusir penjajah. Inilah organisasi masyarakat.

 

Kelak, organisasi masyarakat yang berbeda latar itu mengintegrasikan diri dalam wadah yang lebih luas. Mengklaim diri secara de facto maupun de jure. Jadilah negara. Dalam teori pertumbuhan dan perkembangan negara, Ndraha (2002) meletakkan di level ketiga dari hierarki bertuhan, beralam, kemudian bermasyarakat.

 

Setelah bermasyarakat, kolektivitas manusia berkembang ke level berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan. Pada derajat bermasyarakat itu manusia membawa statusnya sebagai makhluk, manusia dan penduduk. Itulah bahan baku yang membentuk civil society atau warga masyarakat sebagai bagian dari sistem sosial. Dalam kerangka itu, subkultur sosial memiliki fungsi utama mengontrol subkultur kekuasaan. Sebab darisanalah kekuasaan datang. Subkultur kekuasaan mengontrol subkultur ekonomi. Karena dari situlah kesejahteraan dibagi. Untuk melayani subkultur sosial, subkultur kekuasaan punya otoritas lewat fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi.

 

Di sinilah posisi idealnya. Bila subkultur kekuasaan tuna kontrol, yang muncul otoritarianisme. Bila subkultur ekonomi nihil kontrol, terciptalah kapitalisasi dan oligarki yang menghisap. Demikian halnya, nirkontrol terhadap subkultur sosial melahirkan premanisme, arogansi ormas, dan konflik horisontal. Jadi, ketiga subkultur itu punya patologi yang sama bila kehilangan kontrol. Sama-sama musuh rakyat. Pemerintah zalim, oligarki rakus, dan premanisme pada akhirnya menjadi musuh bersama (common enemy). Kerangka keseimbangan itu bisa ditemukan dalam paradigma pemikiran ilmu pemerintahan, yaitu relasi antar subkultur dengan produk dan tanggungjawabnya masing-masing (Ndraha, 2002).

 

Subkultur kekuasaan produknya wewenang. Tanggungjawabnya pada subkultur sosial. Subkultur ekonomi produknya modal, tanggungjawabnya pada subkultur kekuasaan. Subkultur sosial produknya suara (voice) yang berdaulat dengan tanggungjawab pada dirinya, Tuhan dan subkultur kekuasaan (yang dipilih dan mewakilinya).

 

Problem subkultur sosial di negara berkembang soal kualitas sumber daya manusianya. Di Jepang, organisasi Yakuza yang baru berdamai bulan April kemarin akibat problem internal telah masuk subkultur ekonomi. Skala bisnisnya antar negara. Di kita, recehan, menunggu dipertigaan, mengutip jatah di pasar, hingga geruduk UMKM. Cari nafkahnya primitif, sekalipun dikasih jatah menambang sendiri.

 

Mengatasi preman sebagai salah satu produk subkultur sosial bermasalah bukan perkara mudah. Akarnya bisa politik, sosial ekonomi, budaya, dan psikologis. Politik misalnya, menjamurnya korupsi telah membentuk persepsi, mengapa pejabat bisa, kami (rakyat) tidak. Bukankah kami yang pilih mereka. Lebih lagi bila ada faktor sejarahnya, premanisme Tanah Abang misalnya.

 

Faktor sosial ekonomi menguatkan tumbuhnya preman. Angka kemiskinan yang mencapai 60,3 persen (World Bank, 2025) dan kesenjangan di posisi 0,381 (gini ratio, 2024) memberi indikasi munculnya survivalitas ormas. Pada aspek budaya, fenomena kekerasan menjadi cara penyelesaian paling efektif karena mandulnya aparat yang sibuk memburu jabatan ketimbang menegakkan aturan.

 

Sementara faktor psikologis turut berkontribusi dimana masyarakat cenderung berfantasi atas nikmatnya meneguk kekuasaan dengan cara instan. Kekuasaan dapat mendongkrak identitas seperti artis. Caranya melekatkan diri pada ormas sebagai batu loncatan. Koneksitas keluarga untuk memangkas prosedur tertentu menjadi jalan pintas.

 

Akhirnya, pemerintah perlu mendudukkan fungsi ormas dalam subkultur sosial dengan cara melakukan pembinaan dan pendidikan. Bukan dipelihara sebagai watch dog. Apalagi sampai jadi serdadu yang dipersenjatai. Tanpa upaya serius, kita hanya menjadikan negara sebagai lahan bagi suburnya premanisme dan konflik, bukan ormas yang jejak sejarahnya justru bagian dari kemerdekaan bangsa.

 

*) Penulis merupakan Guru Besar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dan Ketua Harian Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit