TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Implikasi Putusan MK dan Rekayasa Operasional

Oleh: Prof. Dr. Muhadam Labolo
Editor: Ari Supriadi
Sabtu, 05 Juli 2025 | 09:38 WIB
Prof. Dr. Muhadam Labolo. (Istimewa)
Prof. Dr. Muhadam Labolo. (Istimewa)

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah menimbulkan implikasi dilematis. Dilematis seperti Buah Simalakama. Dijalankan bertentangan dengan konstitusi, tak dijalankan pun bertentangan dengan prinsip hukum.

 

Bila dijalankan, pemisahan pemilu nasional dan daerah, khususnya pemilihan anggota DPRD menimbulkan implikasi bertentangan dengan konstitusi. Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 22E ayat (2) secara eksplisit menyatakan bahwa di daerah memiliki DPRD yang dipilih setiap lima tahun melalui pemilihan umum.

 

Ketentuan itu jelas bertentangan dengan putusan MK 135 Tahun 2024 yang menetapkan pemilu daerah berjarak 2 hingga 2,5 tahun setelah pemilu nasional dilaksanakan. Tanpa mempersoalkan kewenangan MK yang dinilai melampaui fungsi pokok DPR dan pemerintah sebagai pembuat norma (positive legislative), problem pokoknya bagaimana jalan keluarnya.

 

Jauh sebelum itu, pengaturan teknis pilkada hanyalah bagian dari rezim pemda. Kita ambil contoh di UU 5 Tahun 1974, UU 22 Tahun 1999, dan UU 32 Tahun 2004. Semua pelaksanaan pilkada baik dipilih melalui mekanisme tak langsung maupun langsung menjadi bagian dari pengaturan rezim pemda.

 

Pada 2005, MK memutuskan pilkada menjadi bagian dari rezim pemilu. Implikasinya pengaturan pilkada menjadi urusan KPU dengan seluruh organ teknisnya di daerah (KPUD). Pengaturan lanjutan dilakukan melalui UU 22 Tahun 2014 yang kemudian dianulir oleh Perppu 1 Tahun 2014.

 

Pada 2015, MK memutuskan kembali bahwa rezim pilkada bukan bagian dari rezim pemilu. Putusan itu tampak konsisten dengan putusan MK 135 Tahun 2024 yang memisahkan pemilu nasional dan daerah. Pemilihan kepala daerah dan DPRD dilakukan setelah pemilihan presiden, DPR, dan DPD.

 

Terlepas bahwa Putusan MK tak hanya menciptakan contrary to the fact terhadap konstitusi dan merambah tusi teknis pemerintah dan DPR, putusan tersebut bersifat final and binding sehingga perlu dicari jalan keluar agar dapat dijalankan atau mungkin tak dijalankan mengingat benturan dengan konstitusi itu sendiri.

 

Memperhatikan sejumlah hal, mengubah konstitusi membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Kecuali pemerintah dan DPR benar-benar serius akan kembali ke UUD '45 atau cukup melalui adendum dengan menyisir sejumlah pasal yang dinilai keluar dari nilai-nilai dan konsensus awal berbangsa dan bernegara.

 

Dalam jangka pendek, pemerintah dan DPR sebaiknya cukup melakukan perubahan pada UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Pemda. Bila persoalan kita fokuskan pada upaya menjawab implikasi Putusan MK 135 Tahun 2024, maka revisi pertama mesti dimulai dari perubahan UU Pemda.

 

Sesuai pengalaman 2019 dan 2024, implikasi atas pilkada serentak menciptakan pengurangan masa jabatan kepala daerah. Transisi itu dengan mudah dilakukan dengan menurunkan penjabat sementara sesuai usulan DPRD dan penentuan oleh pemerintah. Mekanisme ini praktis tak bermasalah selama 2 sd 2,5 tahun.

 

Masalahnya, Putusan MK 135 Tahun 2024 menimbulkan implikasi pada status DPRD. Apakah DPRD dapat diperpanjang atau boleh dikosongkan. Bila diasumsikan Putusan MK tersebut tetap dijalankan, maka hal pertama yang mesti dilakukan adalah mengubah status daerah otonom menjadi daerah administrasi.

 

Perubahan status itu setidaknya akan menyamakan posisi 514 kabupaten/kota bukan hanya sebagai daerah otonom, juga sebagai  daerah administrasi. Artinya status kabupaten/kota sama dengan provinsi sebagai daerah otonom, juga sebagai daerah administrasi.

 

Ciri daerah otonom, kepala dan wakilnya dipilih secara demokratis. Artinya dapat dipilih langsung oleh rakyat, maupun tak langsung oleh DPRD. Sedangkan ciri daerah administrasi bila kepalanya diangkat oleh pemerintah tanpa wakil di daerah. Artinya, daerah administrasi tak punya DPRD (Nurcholis, 2022).

 

Implementasi atas konsep itu dapat dilihat dalam kasus Ibu Kota Negara Nusantara, Badan Otorita Batam, atau pengangkatan Walikota Jakarta Pusat, Selatan, Timur, Utara, Barat, dan Kepulauan Seribu di DKJ. Daerah-daerah ini eksis dengan status kepala daerahnya diangkat tanpa DPRD.

 

Pengecualian semacam itu dapat dikembangkan dalam revisi UU Pemda. Maknanya, bila daerah-daerah ditetapkan sebagai daerah administrasi, tentu tidak diperlukan eksistensi DPRD. Ini berbeda dengan status daerah otonom sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan (3) UUD '45, dimana di setiap daerah punya DPRD yang dipilih melalui pemilu.

 

Sejauh ini, status daerah administrasi hanya dilekatkan pada level provinsi. Gubernur dikenal tak hanya sebagai kepala pemerintahan daerah otonom yang dipilih langsung oleh masyarakat setempat, juga ex officio sebagai wakil pemerintah pusat yang ditetapkan pemerintah di daerah.

 

Sebagai kepala daerah yang dipilih, gubernur memiliki DPRD yang juga dipilih oleh masyarakat. Namun sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur cukup ditetapkan tanpa DPRD. DPRD dalam konteks ini bukan wakil pemerintah pusat di daerah, tapi semata-mata perwakilan masyarakat yang dipilih langsung di daerah.

 

Dengan melakukan rekayasa (engineering of law) semacam itu, setidaknya Putusan MK 135 Tahun 2024 dapat dilaksanakan tanpa deadlock. Sebaliknya, dengan mempertimbangkan konstitusi itu sendiri (original intent), pemerintah dan DPRD dapat saja tidak melaksanakan, atau mengabaikan putusan tersebut dengan alasan bertentangan dengan konstitusi itu sendiri.(*)

 

*) Penulis merupakan Ketua Harian Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) dan Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit