Menghargai Kepemimpinan Perempuan

CIPUTAT - Salah satu bentuk politik identitas ialah mempersoalkan perbedaan laki-laki dan perempuan dalam urusan politik. Pandangan politik yang berasumsi bahwa perempuan adalah the second sex dan laki-laki adalah the first sex dalam urusan public adalah asumsi yang diskriminatif.
Dalam Islam, kapasitas manusia dituntut untuk sukses menjadi khalifah dan hamba (‘abid). Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah dan hamba tanpa ada perbedaan dan pembedaan.
Nabi Muhammad SAW tidak banyak berbicara tentang kepemimpinan perempuan. Bukan berarti Nabi menolerir kearifan lokal masyarakat Arab yang amat membatasi perempuan untuk bergerak dan mengambil peran public, tetapi mungkin bisa dimaknai sebagai bentuk kehati-hatian Nabi untuk memberikan pernyataan yang bersifat kontroversi.
Hanya sedikit sekali Nabi memberi komentar tentang kememimpinan perempuan, tetapi dalam banyak pernyataannya memberi hak-hak setara kaum perempuan dengan kaum laki-laki.
Laki-laki dan perempuan ditegaskan sebagai sama-sama hamba dan khalifah, sama-sama memiliki hak dan kewajiban, dan sama-sama berhak untuk mendapatkan kehidupan dan penghidupan yang layak. Inilah substansi ajaran Islam yang disuarakan oleh Al-Qur’an.
Dalam beberapa hadis, Nabi memberikan komentar pendek tentang kepemimpinan perempuan, antara lain, hadis dari Abu Bakarah yang berkata: aku telah mendengar Nabi bersabda: Tidak akan beruntung suatu kaum menyerahkan / menyandarkan urusannya kepada seorang perempuan. (HR Ahmad, Al-Musnad, Jilid 5, halaman.38).
Dalam hadis lain dikatakan: Dari Abu Bakarah, berkata: Allah telah memberi manfaat padaku dengan kalimat yang telah aku dengar dari Nabi setelah hampir saja aku bergabung bersama dengan ashabul jamal dan berperang bersama mereka.
Suatu berita sampai kepada Nabi bahwa penduduk Persia telah mengangkat putri raja sebagai penguasa di tengah mereka. Nabi bersabda: Tidak akan beruntung suatu kaum menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan. (HR Bukhari, Sahih Bukhari, Jilid 4. halaman. 1610).
Hadis tersebut, menurut Fatimah Mernissi, dipopulerkan oleh Abu Bakrah, salah seorang mantan budak yang dihadapkan oleh suatu kondisi sulit, dimana harus memilih antara mendukung Ali, khalifah keempat dan suami Fatimah anak kesayangan Nabi, atau mendukung ‘Aisyah, istri kesayangan Nabi dan putri Abu Bakar, khalifah pertama.
Dalam posisi seperti ini, Abu Bakrah mempopulerkan hadis di atas. Hadis ini sesungguhnya respon Nabi setelah mendengarkan raja Persi bernama Kisra wafat, dan kekuasaannya digantikan oleh putrinya.
Nabi memahami betul kondisi kerajaan Persi yang tengah menghadapan musuh bebuyutannya, kerajaan Romawi. Dan ternyata kemudian Heraklius menginvasi Persia dan menduduki Ktesiphon. Munculnya hadis ini ternyata juga dilatarbelakangi oleh suatu sebab khusus yang sifatnya kondisional. (rm.id)
Nasional | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Haji 2025 | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu