Kenaikan Cukai Rokok
DPR Setuju Maksimal 7 Persen
JAKARTA - Mayoritas fraksi di Komisi XI DPR mendukung rencana Pemerintah menaikkan cukai rokok dengan angka maksimal tujuh persen. Kenaikan cukai rokok memang dibutuhkan untuk memperkuat penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Anggota Komisi XI DPR Amir Uskara mengatakan, kenaikan tersebut perlu dibatasi. Sebab, kenaikan cukai rokok yang terlampau tinggi akan berdampak signifikan.
“Dengan kenaikan cukai rokok maksimal di angka tujuh persen agar tidak menimbulkan rentetan dampak lain,” ujarnya, kemarin.
Amir bilang, kenaikan cukai rokok terlalu tinggi membuat kesempatan kerja di sektor industri hasil tembakau akan terkena imbas. Mulai dari petani, sektor industri pengolahan tembakau, hingga para pedagang kaki lima.
"Karena itu, untuk tahun 2023 disarankan batas maksimum kenaikan cukai rokok adalah di kisaran tujuh persen,” imbuhnya.
Jika dasar yang digunakan dalam menaikkan cukai rokok ialah untuk menurunkan prevalensi perokok, lanjutnya, hal itu tidak relevan.
Berdasarkan riset Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, jumlah perokok dewasa bertambah 8,8 juta orang. Dari 60,3 juta di 2011 menjadi 69,1 juta perokok di 2021.
Sementara itu, selama periode 2011-2021, cukai rokok telah mengalami kenaikan cukup tinggi.
"Jadi, pesan cukai rokok untuk mengendalikan konsumsi rokok pun makin jauh dari esensi awal cukai sebenarnya,” katanya.
Anggota Komisi XI Hendrawan Supratikno menambahkan, kenaikan tarif cukai rokok wajar bila didasarkan pada pertambahan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
"Meskipun untuk kepentingan kesehatan, di mata para pegiat antirokok angka tersebut dianggap masih rendah,” ucapnya.
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR ini meminta semua pihak agar memperhitungkan dampak kenaikan terhadap kesempatan kerja dan daya serap tembakau petani.
Selain itu, hubungan antara besaran cukai rokok dan penerimaan negara tidak selamanya berbanding lurus.
"Pada suatu titik, kenaikan tarif cukai justru akan menurunkan penerimaan. Fenomena ini sering disebut kurva laffer,” ujar politikus PDIP ini.
Berdasarkan data, kenaikan cukai rokok relatif tinggi dalam tiga tahun terakhir, yakni 23 persen di 2020; 12,5 persen di 2021; dan 12,5 persen di 2022. Khusus kenaikan di 2021 dan 2022 dianggap memberatkan sejumlah pihak di sekitar industri hasil tembakau.
Sementara, Anggota Komisi XI DPR Eli Siti Nuryamah mengingatkan, kenaikan (cukai rokok) harus dihitung secara cermat karena ada ketidakpastian perekonomian global. Terlebih, Pemerintah sudah mewanti-wanti soal awan gelap dan sebagainya.
“Nah, ini kan pemerintah juga perlu melindungi rakyatnya, bukan malah dibuat sulit dan dibuat makin nambah beban,” ujar Eli dalam keterangannya, kemarin.
Untuk itu, Eli mengingatkan, agar Pemerintah tidak serta merta mengambil kebijakan menaikkan cukai tanpa terlebih dulu berkonsultasi dengan DPR.
"Ini mandatori undang-undang, pemerintah tidak bisa menaikkan sepihak, harus ada persetujuan (Komisi XI) dulu,” pungkas Politikus PKB ini. (rm.id)
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu