Remaja Pelaku Peledakan Bom SMA 72 Menderita Kesepian
JAKARTA - Peristiwa peledakan di Masjid Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 72, Jakarta Utara, patut dijadikan instrospeksi untuk sekolah dan orangtua. Sebab, penyebab remaja nekat melakukan tindakan itu bukan karena terjerat jaringan terorisme. Melainkan karena sang anak kesepian dan tidak memiliki tempat untuk menyampaikan keluh kesah.
Ini adalah cerita ihwal remaja berinisial F yang berstatus anak berhadapan dengan hukum (ABH), dalam perkara ledakan bom low explosive berisi paku, di Masjid SMAN 72, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Hari itu, Jumat (7/11/2025), waktu menunjukkan pukul 6.28 WIB. Dengan tenang, F melewati gerbang sekolah. Tak ada yang aneh dari penampilannya. Dia memakai seragam lengkap, seperti para siswa lain di sekolah ini.
Tas merah menggelayut di punggungnya. Tangannya menenteng tas biru. F berjalan santai di koridor yang mengarah ke kelasnya. Sapaan seorang guru, menghentikan langkahnya.
Lantas, F bicara sejenak dengan sang guru. Hingga akhirnya, ia meneruskan jejak kakinya ke arah kelas, untuk mengikuti proses belajar pada pagi hingga siang itu.
Begitu jam pelajaran pada Jumat itu selesai, F melintas di lorong lantai 1. Tanpa alas kaki, dia menuju masjid sekolah. Waktu menunjukkan pukul 11.43 WIB, saat F sudah berada di dekat pintu masjid.
Sekitar satu menit kemudian, F memasuki masjid. Masih mengenakan seragam sekolah. Tapi, tepat pada pukul 12.02.28, dia sudah berganti pakaian. Bercelana hitam, berkaos putih, F menggendong senjata. Bak serdadu yang akan bertempur. Senjata ini, ramai disebut mainan. Ada juga yang menyebutnya airsoft gun.
Sedangkan tangan kanannya memegang benda kecil yang diduga remote detonator. Dengan tenang, F mengarahkan remote itu ke masjid. Ke arah dia meletakkan dua bom berdaya ledak rendah. Duar.. terdengar ledakan dan muncul asap putih, setelah terlihat kilatan cahaya pada pukul 12.02.51.
Satu detik kemudian, F berlari menjauh dari masjid, ke arah bank sampah sekolah ini. Di sini, F telah menyiapkan 4 bom yang akan diledakkannya secara langsung, menggunakan sumbu. Bukan menggunakan remote. Dua bom meledak. Dua tidak.
Di sinilah F diduga sengaja melukai dirinya, menggunakan bom sumbu itu. Hingga akhirnya, ia ditemukan tak sadarkan diri. Tergeletak di lantai, dengan darah di sekitar kepalanya.
Masih ada satu bom lagi, di taman baca. Tapi, tidak meledak. Karena, F sudah terkapar, dengan airsoft gun di dekat kakinya yang terbungkus sepatu lars hitam. Bak prajurit terluka di medan laga.
Berita ini disarikan dari rekaman closed circuit television (CCTV) SMA 72, yang dianalisis Direktorat Siber Polda Metro Jaya. Lalu, dipaparkan Direktur Reserse Siber Polda Metro Jaya Kombes Roberto Gomgom Manorang Pasaribu, dan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Iman Imannudin, dalam keterangan resmi Polda Metro Jaya, Selasa (11/11/2025).
Menurut Iman, terduga pelaku peledakan di SMA 72, kerap merasa sendiri dan tidak mendapat tempat untuk menyampaikan keluh kesahnya. “Baik itu di lingkungan keluarga maupun sekolah,” katanya, Rabu (12/11/2025). Sebagai anak berhadapan dengan hukum, F diduga adalah remaja yang kesepian, mengalami gangguan mental di tengah ramainya kota Jakarta.
Berdasarkan Studi Health Collaborative Center (HCC) dan Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) pada Desember 2024, 34 persen pelajar SMA di Jakarta memiliki gejala gangguan mental.
Studi yang melibatkan 741 pelajar dan 97 guru ini menemukan, 3 dari 10 pelajar menunjukkan perilaku marah karena gangguan mental dan emosional.
Hal ini jadi sorotan Anggota Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Elva Farhi Qolbina. Elva mengaku sering menerima aspirasi, bahkan dari anak-anak yang masih sekolah, bahwa mereka sangat membutuhkan tempat untuk bercerita atau mencurahkan isi hati (curhat).
Menurut Elva, ruang untuk bercerita sangat penting bagi anak dalam masa pertumbuhannya, untuk bisa mengekspresikan perasaan mereka, dan mendapatkan perasaan empati dari pihak lain.
“Dengan begitu, anak-anak tidak kesepian ketika melalui masa-masa pertumbuhannya. Karena itu, peran bimbingan konseling di sekolah-sekolah harus diperkuat,” katanya, kepada Redaksi, Rabu (12/11/2025).
Tanpa bermaksud menyalahkan siapa pun, Elva meminta Pemprov DKI meningkatkan kemampuan guru-guru Bimbingan Konseling (BK). Misalnya, dengan cara memberikan pelatihan penanganan pertama pada kesehatan mental anak di lingkungan sekolah. Sehingga, murid merasa nyaman menyampaikan keluh kesahnya. “Dalam beberapa kasus, murid sungkan bertemu guru bimbingan konselingnya. Jangan sampai ini berkelanjutan,” ujarnya.
Menurutnya, isu kesehatan mental juga harus diperhatikan dalam sistem pendidikan. Pasalnya, pendidikan bukan hanya mengenai kecerdasan intelektual. Namun, perlu memperhatikan juga kondisi mental masing-masing murid.
“Harapannya, sistem pendidikan mampu membentuk pribadi yang bukan hanya mempunyai kecerdasan intelektual, tapi juga menjadi generasi yang mempunyai empati dan welas asih terhadap sesama,” tutur Elva.
Sebelumnya, Pemprov DKI telah memperluas layanan kesehatan mental. Tidak hanya di Puskesmas, layanan mental juga disediakan di Posyandu.
“Jakarta terus memperluas layanan kesehatan mental, dari penyediaan psikolog di Puskesmas, konsultasi daring hingga penguatan peran Posyandu dan kader kesehatan di tingkat masyarakat,” kata Wakil Gubernur DKI Rano Karno, Senin (6/10/2025).
Tidak hanya itu, Pemprov DKI juga menyediakan layanan konseling kesehatan mental secara online, melalui JakCare. Layanan JakCare dirancang untuk memberikan bantuan awal bagi individu yang mengalami masalah kesehatan jiwa, tanpa perlu datang langsung ke Puskesmas atau rumah sakit.
Masyarakat dapat mengaksesnya secara gratis melalui aplikasi JAKI (Jakarta Kini), atau menghubungi 0800-1500-119.
UU Perlindungan Anak
Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Iman Imanudin menyatakan, pihaknya telah meminta keterangan 20 saksi untuk memberikan keterangan terkait ledakan tersebut.
Berdasarkan keterangan saksi dan alat bukti yang dikumpulkan, Kepolisian menduga terdapat perbuatan melawan hukum yang melanggar Pasal 80 Ayat 2 Juncto 76C Undang-Undang Perlindungan Anak, maupun Pasal 355 KUHP dan Pasal 187 KUHP, serta Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia.
Sementara itu, menurut Juru Bicara Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror AKBP Mayndra Eka Wardhana, F tidak terafiliasi dengan organisasi teroris manapun, lokal maupun internasional.
“Sampai saat ini, tidak ditemukan aktivitas terorisme yang dilakukan ABH. Ini murni tindakan kriminal umum,” kata Mayndra di Markas Polda Metro Jaya, Selasa (11/11/2025).
Olahraga | 7 jam yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu



