TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

RELIJIUCITY

NATARU

Indeks

Dewan Pers

Darurat Sampah Nasional Akhir 2025, Pengamat Soroti Rendahnya Kesadaran Masyarakat

Reporter: Redaksi
Editor: Ari Supriadi
Senin, 29 Desember 2025 | 09:58 WIB
Alat berat beroperasi di lokasi tempat pembuangan akhir (TPA). (Ist)
Alat berat beroperasi di lokasi tempat pembuangan akhir (TPA). (Ist)

JAKARTA - Darurat sampah yang melanda berbagai daerah di Indonesia menjelang akhir 2025 dinilai bukan hanya persoalan teknis pengelolaan atau keterbatasan infrastruktur. Lebih dari itu, kondisi ini mencerminkan krisis perilaku kolektif masyarakat dalam mengelola sisa konsumsi sehari-hari.

 

Pengamat Kebijakan Publik, Yanuar Wijanarko menegaskan, bahwa kegagalan sistem pengelolaan sampah nasional tidak bisa terus-menerus dibebankan kepada pemerintah daerah semata. Menurutnya, akar persoalan justru terletak pada ketimpangan antara volume produksi sampah dan rendahnya kapasitas sosial masyarakat dalam mengelolanya.

 

“Dalam perspektif kebijakan publik, persoalan sampah muncul ketika laju produksi limbah jauh melampaui kemampuan masyarakat untuk mengelola. Selama tanggung jawab sepenuhnya diserahkan kepada negara, sementara perilaku konsumsi warga tidak berubah, sistem apa pun akan terus berada dalam kondisi defisit,” ujar Yanuar, Senin (29/12/2025).

 

TPA Kolaps, Kapasitas Terlampaui

Kondisi darurat tersebut tercermin dari kolapsnya sejumlah fasilitas pengelolaan sampah di berbagai wilayah. TPST Bantargebang, Bekasi, misalnya, saat ini menerima lebih dari 8.000 ton sampah per hari, jauh melampaui kapasitas ideal. Timbunan sampah bahkan dilaporkan mencapai ketinggian lebih dari 50 meter, memicu antrean truk pengangkut hingga belasan jam.

 

Situasi serupa terjadi di TPA Cipeucang, Tangerang Selatan, yang telah mengalami kelebihan beban hingga 100 persen dan berpotensi mencemari Sungai Cisadane. Sementara itu, TPA Sarimukti di Jawa Barat membatasi operasional akibat risiko longsor, dan TPA Piyungan di DI Yogyakarta direncanakan tutup permanen pada Januari 2026 karena sisa kapasitasnya tinggal di bawah 10 persen.

 

Pemilahan Sampah Jadi Titik Lemah

Yanuar menilai, titik paling krusial dalam pengelolaan sampah nasional adalah rendahnya praktik pemilahan sampah sejak dari sumber, khususnya di tingkat rumah tangga. Tanpa pemilahan awal, seluruh rantai pengelolaan mulai dari pengangkutan, pengolahan, hingga pemrosesan akhir menjadi tidak efisien dan berbiaya tinggi.

 

“Pemilahan sampah harus dipahami sebagai kebijakan perubahan perilaku, bukan sekadar imbauan moral. Negara-negara yang berhasil keluar dari krisis sampah menunjukkan bahwa kedisiplinan warga adalah fondasi utama,” katanya.

 

Belajar dari Jepang hingga Swedia

Ia mencontohkan Jepang, khususnya wilayah Kamikatsu, yang mewajibkan warganya memilah sampah hingga puluhan kategori. Kebijakan tersebut membuat lebih dari 80 persen limbah berhasil didaur ulang atau diolah kembali sebelum masuk ke fasilitas akhir.

 

“Teknologi di Jepang bisa berjalan efektif karena sampahnya sudah terpilah sejak dari rumah. Tanpa kesadaran itu, secanggih apa pun teknologi tidak akan optimal,” ujarnya.

 

Selain Jepang, Swedia juga menjadi contoh dengan tingkat pemanfaatan sampah domestik mencapai 99 persen, sebagian besar melalui sistem waste-to-energy. Hanya sekitar satu persen sampah yang benar-benar berakhir di tempat pembuangan akhir.

 

Sementara di Korea Selatan, kebijakan pay-as-you-throw dan penggunaan smart bin berbasis teknologi RFID berhasil mendorong perubahan perilaku warga. Hampir seluruh sampah makanan di negara tersebut kini berhasil didaur ulang.

Adapun Jerman menerapkan skema tanggung jawab produsen dan sistem deposit kemasan, yang mendorong lebih dari 65 persen sampah rumah tangga masuk ke proses daur ulang.

 

Momentum Reformasi Nasional

Menurut Yanuar, pelajaran dari berbagai negara tersebut menunjukkan bahwa investasi infrastruktur saja tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan sampah. Tanpa perubahan perilaku masyarakat, pembangunan TPA baru atau fasilitas pengolahan hanya akan menunda krisis.

 

“Darurat sampah nasional seharusnya menjadi momentum reformasi menyeluruh, dimulai dari rumah tangga. Jika pemilahan belum menjadi kebiasaan sosial, krisis serupa akan terus berulang seiring pertumbuhan kota dan konsumsi penduduk,” tutupnya.(*)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit