TangselCity

Ibadah Haji 2024

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Duit Subsidi Triliunan Dimakan Orang-orang Kaya, Salah Siapa?

Oleh: AN/AY
Jumat, 01 Juli 2022 | 10:43 WIB
Menkeu Sri Mulyani saat do DPR bersama Ketua DPR Puan Maharani. (Ist)
Menkeu Sri Mulyani saat do DPR bersama Ketua DPR Puan Maharani. (Ist)

JAKARTA - Melonjaknya harga minyak dunia bikin Menteri Keuangan, Sri Mulyani pusing tujuh keliling. Pasalnya, dia harus cari dana tambahan untuk menambal subsidi agar harga BBM dan LPG subsidi nggak naik harganya. Sri Mul makin pusing saat tahu yang nikmati anggaran subsidi energi ratusan triliun itu, adalah orang-orang kaya. Terus, kalau sudah seperti ini, salah siapa ya?

Tahun ini, pemerintah menetapkan alokasi subsidi energi Rp 520 triliun untuk mengantisipasi melonjaknya harga minyak dunia. Padahal sebelumnya, hanya Rp 152,5 triliun. Uang sebanyak ini digunakan untuk menahan agar harga Pertalite, LPG, dan listrik di bawah 3.000 VA, tidak naik karena lonjakan harga minyak dunia.

Realisasi belanja subsidi dan kompensasi energi hingga akhir Mei mencapai Rp 75,41 triliun. Meliputi subsidi reguler Rp 65,24 triliun dan kurang bayar tahun sebelumnya Rp 10,17 triliun. Bahkan, subsidi dan kompensasi energi mendominasi komponen belanja non kementerian atau lembaga dengan realisasi Rp 334,7 triliun.

Sayangnya, subsidi yang seharusnya dinikmati golongan wong cilik itu, salah sasaran. Kata Sri Mulyani, kejadian ini merupakan risiko penerapan subsidi berbasis barang.

“Subsidi dan konsumsi listrik, BBM, dan LPG itu, banyak dinikmati kelompok kaya dibandingkan dengan kelompok yang tidak mampu,” ujar Sri Mul usai menghadiri Rapat Paripurna DPR, di Gedung DPR, kemarin.

Meski begitu, kata Sri Mul, subsidi tetap harus dilakukan pemerintah guna melindungi masyarakat miskin dan menjaga daya beli. Agar tidak makin membengkak, pemerintah pun akan mengubah instrumen alokasi subsidi menjadi tertutup.

Meski bertujuan menciptakan keadilan di masyarakat, kata dia, alokasi ini berdampak langsung pada APBN. Karena itu, pemerintah selalu berhati-hati dalam menetapkan kebijakan. Jika salah langkah, inflasi secara keseluruhan justru bakal menggerus daya beli masyarakat dan ketahanan APBN.

Hal senada dikatakan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu. Kata dia, harga energi meningkat tajam. LPG 3 kg misalnya. Harga Jual Eceran (HJE) Rp 4.250. Sementara harga patokannya Rp 19.609. Sudah gitu, tren konsumsi LPG 3 kg terus meningkat dibandinglan LPG nonsubsidi.

Data yang dimiliki BKF Kemenkeu, sepanjang tahun 2022 konsumsi LPG 3 kg mencapai 7,82 juta metrik ton. Sementara LPG nonsubsidi hanya 0,58 juta metrik ton.

"Distribusi manfaat yang diterima masyarakat terhadap LPG ini memang terlihat dinikmati hampir seluruh masyarakat. Justru lebih banyak dinikmati kelompok yang mampu,” beber Febrio.

Kejadian semacam ini memang terus menjadi evaluasi ke depan. Apalagi, penyediaan LPG di Indonesia, sekitar 89 persen berasal dari impor. Sehingga berdampak pada defisit neraca perdagangan jika konsumsinya tidak dikendalikan.

Sama halnya pada Pertalite. Konsumsi Pertalite mayoritas dikonsumsi masyarakat berpenghasilan atas. Sebesar 40 persen terbawah menikmati 20,7 persen dari total konsumsi atau sekitar 17,1 liter per rumah tangga per bulan. Sementara 60 persen terkaya menikmati hampir 80 persen dari total konsumsi atau 33,3 liter per rumah tangga per bulan.

Siapakah yang salah dengan bocornya anggaran subsidi ke orang kaya? Anggota Komisi XI DPR, Hendrawan Supratikno menganggap, akan lebih efektif jika subsidi diberikan ke masyarakat, bukan kepada barang atau jasa. Namun, skema ini butuh data yang akurat. Jika subsidi diberikan kepada barang atau jasa, maka yang lebih menikmati adalah kelompok menengah atas.

“Yang salah kebijakan, yang selama ini tidak didasarkan data yang solid dan terpercaya. Selama ini data didistorsi agar ada diskresi. Diskresi berarti kewenangan, termasuk kewenangan untuk menyimpang dan bermain-main dengan lubang peluang,” kata Hendrawan.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menjelaskan, sebenarnya yang menikmati subsidi bukan hanya si kaya. Ada sekitar 115 juta kelompok menengah rentan, ikut terbantu adanya subsidi. Contohnya, ketika harga Pertamax masih di kisaran Rp 9 ribu, kelas menengah mampu bayar BBM nonsubsidi. Namun, ketika naik drastis, pindah ke Pertalite.

Bhima justru mempertanyakan definisi kaya dan salah itu, seperti apa. Apakah naik mobil mewah, tapi ngisinya Pertalite? Atau mungkin pemilik perusahaan kakap yang dibantu melalui insentif pajak dan tax amnesty ikut memborong Solar bersubsidi.

Selama ini, kebocoran solar ke industri akibat pengawasan lemah. Juga saat momentum disparitas harga Pertamax dan Pertalite tidak terlampau jauh.

“Tambah alokasi subsidi energi, toh pemerintah masih punya surplus APBN, dan dapat durian runtuh dari ekspor batubara dan sawit.

Daripada windfall ekspor masuk ke proyek yang aneh-aneh, lebih baik bantu masyarakat untuk jaga daya beli,” pungkasnya. (rm id)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo