Berbagai Perspektif Pemahaman Al-Qur’an
CIPUTAT - Memahami Al-Qur’an bisa kita lakukan dengan berbagai perspektif. Bisa dibaca dalam perspektif inderawi, yaitu membaca dengan hanya melibatkan mata, membaca huruf demi huruf Al-Qur’an. Orang-orang pun sekarang bisa menikmati bacaan Al-Qur’an dengan hadirnya teknologi recorder suara-suara pembaca (Qari’) dari berbagai jenis bacaan (qiraah), termasuk tunanetra pun bisa membaca melalui Al-Qur’an Brille.
Walaupun pembacaan Al-Qur’an secara inderawi adalah lebih pasif tetapi orang-orang bisa merasakan getaran vibrasi kesucian bahasa Al-Qur’an dengan membaca atau mendengarnya, betapapun ia tidak memahami artinya.
Al-Qur’an juga bisa dibaca dalam perspektif rasional-akademik, yaitu membaca dengan kritis, apa, bagaimana, di mana, untuk apa, dan kepada siapa, serta konteks ayat-ayat itu diturunkan.
Sang pembaca kritis tidak akan lewatkan setiap ayat tanpa memahami makna filosofis dan logika yang terkandung di dalam ayat-ayat yang dibaca. Dari sini asal-usul kitab tafsir terwujud, yaitu mengabadikan pengalaman intelektual seseorang setelah membaca satu atau sekelompok ayat.
Al-Qur’an juga dapat dibaca dalam perspektif emotional heart, yaitu membaca dengan melibatkan emosi pembacanya ketika membaca ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur’an.
Ia terkadang meneteskan air mata ketika membaca sejumlah ayat yang mengisahkan pengalaman pahit yang harus ditempuh Nabi ketika menjalankan misinya. Ia juga tersugesti atau termotivasi ketika membaca ayat-ayat jihad, dimana ada kelompok yang tega menghianati sebuah keluhuran niat seseorang hamba Tuhan.
Al-Qur’an juga bisa dibaca dalam perspektif spiritual heart, yaitu dengan menggunakan “mata Tuhan” di dalam membaca ayat atau mendengarkan dengan menggunakan “telinga Tuhan” di dalam membaca bacaan Al-Qur’an.
Yang terakhir ini ialah bacaan paling tinggi nilainya karena si pembacanya mampu memahami seperti apa sesungguhnya yang dimaksud Tuhan dalam setiap bacaan Al-Qur’an itu. Bukan hanya melibatkan indera, otak atau pikiran, dan perasaannya ketika membaca Al-Qur’an, tetapi ia sudah mampu menghayati lebih mendalam makna sesungguhnya ayat demi ayat di dalam Al-Qur’an.
Sebagai contoh, membaca ta’awwudz (a’udzu billahi minas syaithanir rajim) sebelum membaca ayat. Para pembaca yang hanya melibatkan indera hanya akan membaca ta’awwudz sebagai formalitas dan kebiasaan sebelum membaca Al-Qur’an maka dianjurkan membaca ta’awwudz. Dia membacanya tanpa sesuatu apapun makna yang dapat difahami dari bacaan tersebut.
Lain halnya kalau seseorang membaca dalam perspektif rasional-kritis, tentu ia akan bertanya: Apa sesungguhnya ta’awwuz ini, ayat atau bukan? Apa ada hukumnya? Apa dalilnya? Kenapa dan untuk apa ini dibaca setiap kali mau membaca ayat-ayat Al-Qur’an.
Dengan terdorong rasa ingin tahu, maka dia mencoba memahami kata demi kata dalam ta’awwuz. Lalu dia menemukan hikmahnya. Ternyata ta’awwuz adalah ungkapan ketawadhuan seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa di hadapan besarnya gelombang godaan dalam kehidupan. Tanpa petunjuk dan pertolongan Tuhan maka tidak mungkin ada penyelamatan.
Ia mulai menganalisa, kalimat a’udzu berasal dari al-‘audz yang memiliki beberapa arti: 1) Al-ilja’ berarti kembali ke…, al-istijarah berarti berlindung kepada…, dan al-iltishaq berarti melekat, menempel. Dengan demikian, kata: A’udzu billahi berarti: Aku berlindung dengan rahmat dan penjagaan Allah.
Dari sini difahami ada sosok makhluk lemah dan membutuhkan bimbingan, petolongan, dan perlindungan. Pada sisi lain ada Sang Maha Kuasa yang mampu memberikan petunjuk, pertolongan, dan perlindungan.
Dari pengertian analitis itu lahir makna dalam perspektif emotional heart, bahwa ternyata kita sebagai makhluk manusia rawan dari berbagai kekeliruan dengan segala resikonya.
Tiba-tiba kita mengingat rasa kasih sayang Allah terhadap kita dengan mengingat dua surah terakhir di dalam Al-Qur’an yang membimbing dan mengajari kita agar senantiasa berdoa dan menyerahkan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa, dengan membaca: A’udzu bi Rabb al-falq (Aku memohon perlindungan dari Tuhan falaq/alam semsta/ makrokosmos) dan A’udzu bi Rabb al-nas (Aku memohon perlindungan dari Tuhan manusia/mikrokosmos).
Dari sini timbul kesadaran batin bahwa betapa Allah SWT betul-betul Maha Pengasih dan Maha Penyayang (al-Rahman al-Rahim).
Dari kesadaran emotional heart maka akan lahir kesadaran puncak, yaitu spiritual heart. Jika kesadaran ini digunakan membaca atau mendengarkan Al-Qur’an, maka “mata” dan “telinga” Tuhan yang digunakan untuk membaca dan mendengarkan ayat-ayat suci-Nya.
Maka dengan demikian, kita bisa memperoleh makna paling tinggi Al-Qur’an.Rasa percaya diri dan tawakkal di bawah lindungan Allah SWT akan terasa selalu bagi orang yang membaca Al-Qur’an dengan perspektif emotional heart. Hanya saja sebagian orang masih merasa situasional dengan perasaan itu (spiritual state/hal) dan hanya sedikit yang sudah sampai ke suasana batin permanen (spiritual station/maqam).
Bagaimana mengaktifkan emotional heart dan bagaimana sampai kepada tingkat spiritual station/maqam? Hal ini merupakan tantangan kita.
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 17 jam yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu