Pendekatan Hermeneutika (3)

CIPUTAT - Wacana metode Hermeneutika sebagai metode dalam memahami teks-teks luhur agama Islam muncul ketika wilayah politik Islam meluas dan dibutuhkan penafsiran terutama memahami ayat-ayat hukum.
Awalnya sekedar metode sastra, kemudian meluas menjadi metode hukum melalui perumusan jenis-jenis ungkapan dalam al-Quran dan pembagian-pembagian pengambilan hukum (istinbath) oleh Imam asy-Syafi’î. Teks Al-Quran dan Sunnah itu ditafsirkan oleh Nabi dan Sahabat dari bahasa Tuhan, sekalipun tidak dengan metode yang sangat rigid. Pada masa Nabi dan Sahabat relative lebih mudah karena para sahabat bisa langsung bertanya kepada Nabi, sementara Nabi bisa bertanya ke Tuhan.
Lagi pula sahabat sangat memahami situasi Makkah dan Arab masa itu, plus persahabatan dengan Nabi (shuhbah) dan kemahiran mereka dalam bahasa Arab.
Perkembangan selanjutnya, dunia Islam mengalami stagnan karena berbagai factor.
Dari factor internal berupa kejumudan berfikir sampai kepada factor eksternal dengan penyerbuan bangsa asing yang sudah mulai kuat dan solid.
Disiplin-disiplin keislaman, terutama usul fiqih, fiqh, tafsir, dan ulûm al-Qurân mandek setelah semakin canggih, di satu sisi dan banyaknya pertentangan politik, di sisi lain.
Epistemologi tradisional pemikiran Islam di kemudian hari lebih banyak beralih kepada tradisi skolastik Abad Pertengahan hingga munculnya kembali gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang dimulai oleh perjumpaan kaum Muslim dengan kolonialisme.
Selama berabad-abad lamanya tidak pernah muncul pemikiran Islam yang sama sekali baru, kecuali sekedar pengulang-ulangan yang bersifat tautologis, di mana umat Islam—dan tradisi hermeneutika Al-Qurannya—tinggal mewarisi trilogi ortodoksi: paradigma asy-Syâfi‘î, otoritas al-Asy‘arî, dan ekletisisme al-Gazâlî.
Fase berikutnya, hermeneutika al-Quran terjadi pada masa modern ini. Menurut Andrew Rippin, kesadaran tersebut berkaitan dengan kepentingan menciptakan model-model penafsiran yang memadai terhadap Al-Quran dengan bantuan kesadaran dan beragam metodologi ilmiah yang tersedia.
Dengan instrumen metodologis tersebut, penafsiran Al-Quran diharapkan mampu merasionalkan doktrin yang ditemukan dalam, atau dirujukkan kepada Al-Quran, dan pada saat yang sama, mendemitologisasi berbagai pemahaman mistis dan metafisik di sekitar penafsiran Al-Quran (Andrew Rippin, 1993, h. 86). Pemikir-pemikir modernis, seperti Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Abduh, telah mengusahakan agar Al-Quran berbicara tentang realitas.
Hanya saja apa yang mereka lakukan tidak lebih dari jawaban instan terhadap kebutuhan-kebutuhan aktual masyarakat Muslim dalam rangka memelihara (solidaritas) mereka, atau pada saat mereka menganggap Islam membutuhkan pertahanan dari serangan (luar).
Konsekuensinya, pemikiran yang mereka ajukan lebih cenderung bersifat apologetis karena tidak berangkat dari dasar-dasar metodologis yang adekuat untuk disebut sebagai sebuah hermeneutika.
Masuknya beberapa gagasan dan metode ilmiah ke dalam wacana penafsiran Al-Quran bukan tanpa masalah, terutama jika dikaitkan dengan beberapa keberatan menyangkut dipaksakannya berbagai unsur asing ke dalam Al-Quran, seperti yang sering dicurigai oleh Fazlur Rahman. Tidak aneh jika muncul tuduhan bahwa mayoritas modernis Muslim menafsirkan Al-Quran bukan demi memahami dan menyingkap makna sejati, tapi untuk mengejar tujuan-tujuan ekstra Qurani yang antara lain demi menghilangkan kesenjangan intelektual antara komunitas Muslim dan penemuan-penemuan Barat.
Persoalan semacam ini bagaimanapun merupakan dilema intelektual tersendiri yang harus dipecahkan oleh para pemikir Muslim. Di satu sisi, mereka berkewajiban menafsirkan Al-Quran sesuai dengan tuntutan ilmiah dan obyektif, sementara pada sisi lain, terdapat kepentingan moral untuk menjelaskan Al-Quran sejalan dengan kebutuhan umat Islam saat ini.
Dua sisi tersebut memang tidak serta-merta kontradiktif dan saling menafikan, melainkan bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi.
Kesadaran akan hadirnya realitas kekinian dan pemenuhan standar ilmiah dalam kegiatan penafsiran Al-Quran pada saat yang bersamaan akhirnya dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan yang dikembangkan oleh pemikir Muslim kontemporer, seperti Arkoun, Fazlur Rahman, Farid Esack, Hassan Hanafi, Amina Wadud- Muhsin, Asghar Ali Engineer, dan belakangan oleh Abû Zayd. Minat para penulis tersebut dapat dianggap mewakili arus ketidakpuasan terhadap hermenutika tradisional Al-Quran yang bagaimanapun cenderung ahistoris dan tidak kontekstual lagi.
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Olahraga | 20 jam yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu