Kecanduan Dan Homofili Politis
SERPONG - Apakah orang bisa sakit karena politik? Bisa! Kalau ada calon anggota legislatif gagal yang kemudian terganggu jiwanya, itu sudah umum. Setelah pemilu biasanya ada kabar mengenai fenomena tersebut.
Ini tentang rakyat. Bukan wakil rakyat. Walau, tidak sedikit, akibat ulah legislatif maupun eksekutif, rakyat terkena getahnya.
Ambil satu contoh: polarisasi. Kita tidak melihat siapa yang benar atau salah. Atau awal dan akhirnya di mana. Tapi, kenyataannya, sekarang masih berkembang.
Bahkan, sangat mungkin, Pemilu 2024 akan menumbuhsuburkan polarisasi. Apalagi, sepertinya, ada kecenderungan masyarakat terjangkit “candu politik”.
Para politisi memang meminta para simpatisannya supaya tidak mempolitisasi agama. Atau, “kita harus mengedepankan politik yang ber-Pancasila”. Atau, “mari kita ciptakan politik yang riang gembira”.
Terdengar indah. Namun, bisa menjurus omong kosong kalau di belakang layar masih ada yang bekerja, membayar dan bermain untuk membakar para pendukung, memprovokasi massa sehingga tercipta suasana panas membara.
Massa yang terbakar inilah yang berpotensi menjadi pecandu politik. Sama seperti alkohol, kopi, atau rokok, ada yang sekadar minum sewajarnya, ada pula yang kecanduan. Begitu pula politik. Bisa nyandu.
Yang kecanduan biasanya akan melihat apa pun dari perspektif politis. Ibadah, olahraga, warna baju, potongan rambut, jalan raya, model jendela, menu yang dimakan, tas kresek, termasuk urusan keluarga, semuanya dikaitkan dengan politik.
20 tahun lalu misalnya, ketika kondisi masih “normal”, tidak banyak yang memilih pasangan berdasarkan preferensi politik.
Sekarang, preferensi politik menjadi sangat penting. Akibatnya, homofili politik tumbuh subur. Keterbelahan kian tebal dan meluas. Bhineka Tunggal Ika bisa terancam.
Kita ambil contoh Amerika Serikat, yang polarisasinya juga sangat tajam, seperti Indonesia.
Pada 1958, menurut Jajak Pendapat Gallup, 33 persen orangtua Demokrat menginginkan putri mereka menikah dengan seorang Demokrat.
Sebaliknya, 25 persen orang tua dari Partai Republik ingin putri mereka menikah dengan seorang Republikan.
Pada 2016, terjadi perubahan drastis. Angka-angka itu masing-masing menjadi 60 dan 63 persen. Di era Presiden Donald Trump, ketika polarisasi menguat, angkanya bisa kian parah.
Karena, berdasarkan beberapa penelitian, di era Presiden Trump, rakyat Amerika yang sakit karena politik, meningkat drastis.
Kondisi ini sejalan dengan laporan dari American Psychological Association yang mengidentifikasi bahwa politik menjadi sumber utama stres bagi orang dewasa di Amerika.
Akibatnya, biaya kesehatan fisik, psikologis dan sosial, melonjak. Dampak lanjutannya bisa kian panjang. Bukan hanya menjadi isu politik kesehatan tapi juga isu relasi sosial, keutuhan bangsa, ekonomi serta produktivitas.
Apakah Indonesia sedang mengarah ke sana?
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 11 jam yang lalu