TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Refleksi Tentang Identitas Keindonesiaan

Oleh: Eeng Nurhaeni
Sabtu, 12 Agustus 2023 | 07:10 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

MUNCULNYA  polarisasi yang semakin tajam menjelang pemilu 2024, seakan menjadi keniscayaan dalam sejarah pembentukan identitas manusia Indonesia. Pada waktunya, polarisasi itu akan menentukan corak dan kristalisasi pemihakan dalam pilihan-pilihan politik. Tetapi, jika kita menelusuri lebih dalam perihal maraknya polarisasi itu, nampaknya tak terlepas dari pertanyaan krusial dan eksistensial yang disinggung dalam bab-bab awal novel Pikiran Orang Indonesia (POI): siapakah diri kita, manusia Indonesia ini? Sudah pantaskah masyarakat menyebut dirinya sebagai moderat dan toleran?

Konsep pemikiran Karl Marx yang menekankan stabilitas ekonomi dan politik selaku “panglima”, kini telah mengalami pergeseran nilai yag signifikan. Sebab, urusan politik di suatu negeri adalah perkara identitas diri. Bukan semata-mata urusan perebutan sumber-sumber daya material, tetapi sekaligus meliputi kultur, sosial-budaya, agama, yang kemudian membentuk kelompok-kelompok masyarakat.

Jokowi, Sri Mulyani hingga Moeldoko, nampaknya lebih bertumpu pada soal pengelolaan kesejahteraan sosio-ekonomi masyarakat. Hal ini yang membuat mereka akan “kelelahan”, karena nilai kemakmuran dan kesejahteraan suatu bangsa, tak bisa diukur dari angka-angka statistik maupun jangka material, di mana mereka yang diklaim “tak mau berbaris” dengan kebijakan pemerintah, seakan menjadi termarjinalkan. Barangkali pemerintah perlu menyerap novel POI yang ditulis pengarang asal Banten itu, karena ia mengandung pesan sentral yang paralel dengan novel “Istanbul” karya Orhan Pamuk (Turki). Kedua novel itu menarasikan maraknya politik isu di tengah masyarakat konservatif, serta mengelola aspirasi nilai dan paham hidup yang melandasi politik identitas kebangsaan kita.

Dimensi itu dinilai paling urgen, sebagaimana sering ditelaah sejarawan dan budayawan Noam Chomsky, George Orwell hingga Yuval Noah Harari. Bahkan, prosais Yahudi, Etgar Keret menempatkan posisi agama yang dianggap paling sentral, yang pada gilirannya membentuk identitas suatu bangsa, termasuk Indonesia. Untuk itu, mengelola politik identitas, seperti yang juga digaungkan Hafis Azhari dalam novel Perasaan Orang Banten (kompas.id, Menilai Karya Sastra secara Obyektif), justru tak kalah penting ketimbang gembar-gembor mempersoalkan politik kesejahteraan.

 Wajah Islam Indonesia

Memang sangat kompleks menggambarkan wajah Islam di Indonesia, sebagaimana Orhan Pamuk menarasikan Istanbul yang pernah diselimuti berbagai gerakan separatisme dengan mengatasnamakan agama dan kepercayaan. Lihat saja suasana kota Istanbul yang mirip situasi Jakarta menjelang lengsernya kekuasaan Orde Baru. Orhan Pamuk menggambarkan situasi kota yang diselubungi friksi-friksi Islam politik, serta polemik ideologis antara kaum agamawan dan sekuler. Hingga akhirnya, muncullah faksi militer yang bukannya loyal membantu pemerintah untuk mengamankan situasi, tetapi justru mengambil keuntungan dengan membangun kekuatan, yang pada gilirannya tergoda untuk mengambil-alih kekuasaan.

Tampilnya Islam sempalan dari Kurdistan di pedalaman Turki, adalah problem tersendiri yang semakin memperkeruh suasana kota Istanbul. Aparat keamanan harus bersusah-payah mengorbankan jiwa dan raganya untuk keselamatan rakyat. Persis dengan rumitnya pemerintah Soekarno menangani radikalisme di seputar tahun 1950-an, antara pengikut Kahar Muzakkar, Maukar, hingga Kartosuwiryo. Di sisi lain, peran intelektual PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang di kemudian hari mengakui keterlibatannya dalam pergerakan separatisme PRRI-Permesta, dengan CIA di belakang layarnya.

Dalam konteks itu, rakyat Indonesia merasakannya sendiri, bagaimana peristiwa pengeboman dan penggranatan di halaman Sekolah Rakyat Cikini, tempat Megawati dan Guntur Soekarnopoetra bersekolah. Bom granat yang diledakkan pada Sabtu, 30 November 1957 itu mengakibatkan 11 orang meninggal di tempat kejadian, juga puluhan orang luka-luka yang segera dilarikan ke Rumah Sakit. Mobil kepresidenan rusak berat, ban depan pecah, kap dan mesinnya hancur berantakan. Bahkan, dua anggota polisi lalu lintas berpangkat brigadir, Ahmad dan Muhammad, tewas dalam tugas mengawal Presiden.

Di Turki dan negeri-negeri Timur Tengah, konflik kepentingan di antara kelompok mazhab hingga friksi politik, dapat dikatakan sebagai perang budaya (culture war). Di negeri-negeri Barat, khususnya Eropa dan Amerika Serikat, perang budaya terefleksi jelas dalam beragam isu yang membelah masyarakat. Misalnya, kelompok yang mendukung teori evolusi dan kaum kreasionis, tak terkecuali kelompok yang dinamakan “woke” versus para penentangnya.

Dilema keterbukaan

 Menjelang pemilu 2024 ini, kita pun menghadapi konsekuensi keterbukaan dalam berdemokrasi. Dengan demikian, dunia politik menghadapi realitas masyarakat yang serba terbuka (open society). Kelompok yang mewakili pandangan dan posisi politik yang beragam mendapatkan ruang terbuka untuk menyatakan dirinya.

Dalam ruang semacam ini, kita perlu hati-hati, karena yang akan tampil ke permukaan tidak semata-mata pandangan yang mendukung keterbukaan dan kebebasan, akan tetapi kita harus siap menghadapi kenyataan, bahwa kekuatan anti-kebebasan (anti liyan) juga akan marak di mana-mana. Celakanya, dalam iklim yang memanfaatkan pendangkalan dan ketakutan sebagai komoditas politik, selalu saja akan memberi ruang dan peluang besar pada kelompok-kelompok eksklusif yang intoleran.

Dalam iklim politik semacam itu, adab manusia di mata Tuhan akan dikesampingkan. Para penguasa dan elit politik, lantaran kenyamanan dan status quonya, tak akan sanggup memuaskan mereka yang berjuang menegakkan prinsip keadilan dan kebenaran. Selama era Presiden Joko Widodo, dilema ini dihadapi terus-menerus, ketika negara ingin membela kepentingan rakyat banyak, maka pembelaan terhadap hak asasi yang dianggap suara minoritas, menjadi terabaikan.

Dengan demikian, adab di mata Tuhan dikalahkan oleh hawa nafsu dan hasrat kekuasaan, dengan mengatasnamakan kepentingan suara mayoritas. Sebagian pendukung elit kekuasaan berdalih dengan menggunakan rumus klasik, “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Padahal sejatinya, rakyat harus dididik (oleh negara) agar menjadi matang dan dewasa, karena negara memiliki tanggungjawab dan tugas “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dalam iklim masyarakat yang terdidik, kita bisa pastikan bahwa suara Tuhan akan paralel dengan suara rakyat banyak.

Hal tersebut nampaknya sederhana, namun perlu hati-hati, karena lantaran persoalan yang dianggap “sepele” itu kelak dapat menentukan hidup-matinya kekuasaan. Dalam literatur Islam, kita mengenal Abdullah bin Ummi Maktum, seorang kakek tua renta dengan mata yang buta harus diprioritaskan ketimbang ceramah dan tausiyah Rasulullah di hadapan para pembesar dan kabilah Arab. Sesuatu yang dianggap kecil dan remeh-temeh, namun memiliki bobot religiositas tinggi.

Kita pun sering mendengar kisah-kisah tentang sesuatu yang nampaknya sederhana dan sepele, namun pada akhirnya yang “sepele” itulah yang kelak menumbangkan megahnya singgasana kerajaan yang berkuasa selama beberapa dinasti.

Orang Jawa sering menyebutnya “kuwalat” disebabkan perilaku dan perbuatan dosa yang kadang tak disadari pelakunya. Karena tak disadari, maka terus-menerus ia menggali lubang yang semakin dalam, hingga kemudian lubang itu menjerumuskan penggalinya sendiri.

Untuk itu, negara harus berani bertindak demi membela kebenaran dan keadilan, biarpun sedikit suara yang mendukungnya, tetapi negara telah concern untuk memprioritaskan adab di mata Tuhan. Itulah yang terpenting dan harus diutamakan. Meminjam istilah Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia, “Tanpa keberanian dan kesanggupan menegakkan prinsip keadilan yang menjadi pesan ilahiah, maka sekuat apapun kekuasaan digenggam, ia akan mengalami kepunahan disebabkan hal-hal yang sulit dipahami nalar dan rasionalitas manusia."

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Alwi Novi
Jumat, 18 Oktober 2024
Dahlan Iskan
Nobar Bandung
Kamis, 17 Oktober 2024
Dahlan Iskan
Liem Din
Rabu, 16 Oktober 2024
Dahlan Iskan
Warung Kopi
Selasa, 15 Oktober 2024
Foto : Ist
Kabinet Langsung Tancap Gas
Minggu, 13 Oktober 2024
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo