Tasyakuran Hari Konstitusi Dan HUT Ke-78 MPR
Bamsoet Ingatkan Urgensi Konstitusi Miliki Pintu Darurat

JAKARTA - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo mengingatkan tentang pentingnya ‘pintu darurat’ dalam konstitusi Indonesia. Pasalnya, tidak ada yang dapat mengetahui tentang masa depan, serta bentuk peran dan kekuasaan seperti apa, yang akan terjadi dalam perjalanan bangsa Indonesia.
“Di masa depan, kita tidak tahu angin sejarah akan membawa MPR ke bentuk peran dan kekuasaan seperti apa. Tapi, saya berharap, peran MPR di masa depan bisa kian kuat dalam mengawal perjalanan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik,” ujar Bamsoet, sapaan Bambang Soesatyo, di sela Tasyakuran Hari Konstitusi dan HUT Ke-78 MPR di Plaza Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, kemarin.
Salah satu bentuk penguatan peran MPR, lanjut di, dapat dilakukan dengan mengembalikan kewenangan subjektif superlatif MPR, melalui hak-hak mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau TAP MPR sebagai pintu darurat. Menurut dia, kehadiran pintu darurat itu akan menjadi jalan keluar manakala terjadi kebuntuan konstitusi dan situasi luar biasa, yang tidak bisa diatasi dengan tindakan biasa.
“Selain memiliki hak untuk mengeluarkan ketetapan atau TAP MPR, bentuk pengutan peran MPR lainnya, memberikan kewenangan kembali untuk merumuskan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai road map pembangunan bangsa. Saya yakin, pencarian jati diri negara kita ini tidak akan pernah berhenti, selama Indonesia masih ada,” tegas Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar ini.
Dalam kesempatan itu, Bamsoet juga menguraikan, sejarah panjang lahirnya MPR, yang dimulai sejak 12 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada 29 Agustus 1945. Saat itu, para pemimpin bangsa Indonesia melaksanakan amanat konstitusi, mendirikan sebuah lembaga untuk menjadi pengemban kedaulatan rakyat.
“Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 menyebutkan, sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dibentuk menurut Undang-Undang Dasar, segala bentuk kekuasaan dijalankan Presiden dengan bantuan Komite Nasional,” jelas Ketua DPR ke-20 ini.
Selanjutnya, sambung Bamsoet, pada tanggal 29 Agustus 1945, berdiri Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dengan 137 anggota. KNIP terdiri dari pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah, termasuk mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Namun, lanjut dia, KNIP belum melakukan fungsi legislatif. Saat itu, KNIP hanya menjalankan fungsi untuk membantu Presiden melaksanakan tugas-tugasnya, utamanya tugas untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara.
“Kemudian, KNIP dibubarkan seiring berubahnya bentuk negara menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), dari Desember 1949 hingga Agustus 1950. Dalam masa yang hanya beberapa bulan ini, bangsa Indonesia mempunyai lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), yang terdiri dari 150 anggota,” tutur Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI ini menerangkan, ketika bangsa Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan pada tahun 1950, konstitusi yang berlaku saat itu adalah UUDS 1950, yang tidak mengatur tentang MPR atau lembaga serupa. Namun, Bab V UUDS 1950 mengatur tentang sebuah lembaga bernama Konstituante, yang bertugas bersama-sama dengan Pemerintah untuk menetapkan Undang-Udang Dasar Republik Indonesia, yang akan menggantikan UUDS.
“Setelah Pemilu 1955, terbentuklah Konstituante. Saat itu, tidak ada MPR. Tapi, itulah kali pertama Bangsa Indonesia mempunyai lembaga hasil Pemilu, yakni DPR dan Konstituante. Mandat yang diemban Konstituante, melaksanakan fungsi legislatif yang sangat spesifik, yakni membuat konstitusi yang permanen,” ucap dia.
Namun, lanjut Bamsoet, konstituante tidak dapat menuntaskan tugasnya untuk menyusun konstitusi. Berbagai sebab politik mengundang lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.
“Dengan berlakunya kembali UUD 1945, maka MPR hidup kembali, meski tidak dihasilkan oleh sebuah Pemilu. Namanya pun masih menyandang kata sementara. Setelah Pemilu 1971 kita punya DPR dan MPR sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi yang berlaku,” terang Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini.
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 20 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu