TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Tasyakuran Hari Konstitusi Dan HUT Ke-78 MPR

Bamsoet Ingatkan Urgensi Konstitusi Miliki Pintu Darurat

Laporan: AY
Rabu, 30 Agustus 2023 | 09:48 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo mengingatkan tentang pentingnya ‘pintu darurat’ dalam konstitusi Indonesia. Pasalnya, tidak ada yang dapat mengetahui tentang masa depan, serta bentuk peran dan kekuasaan seperti apa, yang akan terjadi dalam perjalanan bangsa Indonesia.

“Di masa depan, kita tidak tahu angin sejarah akan membawa MPR ke bentuk peran dan kekua­saan seperti apa. Tapi, saya ber­harap, peran MPR di masa depan bisa kian kuat dalam mengawal perjalanan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik,” ujar Bam­soet, sapaan Bambang Soesatyo, di sela Tasyakuran Hari Konstitusi dan HUT Ke-78 MPR di Plaza Gedung Nusantara V, Kom­pleks Parlemen, Jakarta, kemarin.

Salah satu bentuk penguatan peran MPR, lanjut di, dapat di­lakukan dengan mengembalikan kewenangan subjektif superlatif MPR, melalui hak-hak menge­luarkan ketetapan-ketetapan atau TAP MPR sebagai pintu darurat. Menurut dia, kehadiran pintu darurat itu akan menjadi jalan keluar manakala terjadi kebuntuan konstitusi dan situasi luar biasa, yang tidak bisa diatasi dengan tindakan biasa.

“Selain memiliki hak untuk mengeluarkan ketetapan atau TAP MPR, bentuk pengutan peran MPR lainnya, memberi­kan kewenangan kembali untuk merumuskan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai road map pembangunan bangsa. Saya yakin, pencarian jati diri negara kita ini tidak akan per­nah berhenti, selama Indonesia masih ada,” tegas Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar ini.

Dalam kesempatan itu, Bam­soet juga menguraikan, sejarah panjang lahirnya MPR, yang dimulai sejak 12 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indo­nesia, pada 29 Agustus 1945. Saat itu, para pemimpin bangsa Indonesia melaksanakan amanat konstitusi, mendirikan sebuah lembaga untuk menjadi pengem­ban kedaulatan rakyat.

“Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 menyebutkan, sebe­lum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Per­timbangan Agung (DPA) diben­tuk menurut Undang-Undang Dasar, segala bentuk kekuasaan dijalankan Presiden dengan bantuan Komite Nasional,” jelas Ketua DPR ke-20 ini.

Selanjutnya, sambung Bam­soet, pada tanggal 29 Agustus 1945, berdiri Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dengan 137 anggota. KNIP terdiri dari pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah, termasuk mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Namun, lanjut dia, KNIP belum melakukan fungsi legis­latif. Saat itu, KNIP hanya men­jalankan fungsi untuk membantu Presiden melaksanakan tugas-tugasnya, utamanya tugas untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara.

“Kemudian, KNIP dibubarkan seiring berubahnya bentuk negara menjadi Republik Indonesia Seri­kat (RIS), dari Desember 1949 hingga Agustus 1950. Dalam masa yang hanya beberapa bulan ini, bangsa Indonesia mempunyai lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Seri­kat (DPR RIS), yang terdiri dari 150 anggota,” tutur Bamsoet.

Ketua Dewan Pembina De­pinas SOKSI ini menerangkan, ketika bangsa Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan pada tahun 1950, konstitusi yang ber­laku saat itu adalah UUDS 1950, yang tidak mengatur tentang MPR atau lembaga serupa. Na­mun, Bab V UUDS 1950 mengatur tentang sebuah lembaga bernama Konstituante, yang bertugas bersama-sama dengan Pemerintah untuk menetapkan Undang-Udang Dasar Republik Indonesia, yang akan menggan­tikan UUDS.

“Setelah Pemilu 1955, terben­tuklah Konstituante. Saat itu, tidak ada MPR. Tapi, itulah kali pertama Bangsa Indonesia mem­punyai lembaga hasil Pemilu, yakni DPR dan Konstituante. Mandat yang diemban Konsti­tuante, melaksanakan fungsi legislatif yang sangat spesifik, yakni membuat konstitusi yang permanen,” ucap dia.

Namun, lanjut Bamsoet, konstituante tidak dapat menuntas­kan tugasnya untuk menyusun konstitusi. Berbagai sebab poli­tik mengundang lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan memberlaku­kan kembali UUD 1945.

“Dengan berlakunya kembali UUD 1945, maka MPR hidup kembali, meski tidak dihasilkan oleh sebuah Pemilu. Namanya pun masih menyandang kata sementara. Setelah Pemilu 1971 kita punya DPR dan MPR se­bagaimana dikehendaki oleh konstitusi yang berlaku,” terang Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo