TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Bawaslu Kasih Warning Nih

Februari 2024 Jadi Puncak Hoaks Pemilu

Oleh: Farhan
Senin, 04 September 2023 | 10:50 WIB
Anggota Bawaslu Herwyn JH Malonda. Foto : Ist
Anggota Bawaslu Herwyn JH Malonda. Foto : Ist

JAKARTA - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memprediksi puncak hoaks terjadi di bulan Februari 2024. Berbagai cara pencegahan dan antisipasi pun disiapkan dan dilakukan.

Anggota Bawaslu Herwyn JH Malonda mengatakan, prediksi tersebut bercermin pada fenome­na yang terjadi pada pemilu 2019. Saat itu, kata dia, puncak hoaks terjadi di bulan April menjelang tahapan pemungutan suara.

“Bukan tidak mungkin, hoaks itu akan meningkat dan memun­cak di akhir November 2023, pada tahapan kampanye sam­pai pada awal Februari 2024, menjelang tahapan pemungutan suara,’’ ujarnya, kemarin.

Herwyn menyampaikan, ke­mungkinan kondisi tersebut perlu diantisipasi karena dapat ber­dampak pada pemilu. Mulai dari muncul dan menguatnya polari­sasi di tengah masyarakat hingga munculnya ketidakpercayaan pada penyelenggara pemilu.

Masyarakat juga nantinya menjadi tidak percaya pada hasil pemilu yang berakhir pada kekerasan,” ungkapnya.

Herwyn menjelaskan, untuk mengantisipasi hal tersebut, Bawaslu telah melakukan pencegahan. Bawaslu melakukan media moni­toring sekaligus mempublikasikan informasi dan edukasi kepemi­luan secara massif agar maraknya informasi hoaks dapat diredam dengan berita kebenaran.

“Kami juga melakukan kola­borasi kepada stakeholder ter­kait seperti Kemenkominfo, plat­form media sosial, media, dan konten kreator, dan juga mem­bentuk gugus tugas pengawasan kampanye bersama KPI, KPU, dan Dewan Pers,” tuturnya.

Dari sisi pengawasan, Herwyn berharap, ada peran aktif juga dari masyarakat untuk melapor­kan jika ada terjadi penyebaran berita hoaks, ujaran SARA, dan ujaran kebencian. Masyarakat, kata dia, dapat melaporkannya melalui aplikasi Sigap Lapor.

Melalui perspektif kelembagaan, Herwyn mengatakan, Bawaslu juga akan melakukan pengawasan dan mencermati konten internet. Teru­tama dari akun resmi media sosial partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon dan tim kampanye yang terdaftar di di KPU.

“Paling penting adalah dalam konteks kita dalam terjadi perge­seran kontestasi pemilu, pasti akan ada gesekan. Yang sebe­lumnya secara luring, sekarang menjadi daring,” ujarnya.

Herwyn mengatakan, Bawaslu juga mencatat hasil pengawasan konten internet yang diduga mengandung pelanggaran ad­ministrasi dan/atau pidana ke form Laporan Hasil Pengawasan.

“Mari kita lakukan terlebih da­hulu menyaring informasi untuk cek fakta, sebelum kita bagikan ke pihak lain. Dengan itu kita sudah membantu masyarakat su­paya kita juga bisa mengangkat perintah Undang-undang Dasar yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa,” tuntas Herwyn.

Direktur Jenderal (Dirjen) In­formasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Usman Kansong mengungkapkan, pada Agustus 2018, pihaknya hanya mendeteksi ada 14 hoaks politik. Namun pada Maret 2019 atau satu bulan sebelum Pemilu 2019, jumlah ini meningkat hing­ga mencapai 327 hoaks politik.

Selanjutnya, kata Usman, pada April 2019 ada sedikit penurunan menjadi 277 hoaks poli­tik. Dari pengalaman ini, dia mengatakan, Kemenkominfo mengantisipasi dengan terus memantau ruang digital.

“Kalau menemukan hoaks politik, maka kita akan men-takedown (mencopot) konten tersebut,” ungkap Usman.

Usman menjelaskan, dalam mengambil langkah-langkah tersebut, Kementerian Kominfo juga berkoordinasi dengan Bawaslu. Kata dia, kalau ada konten-konten dispute, artinya ma­sih abu-abu apakah itu hoaks politik atau kampanye negatif.

“Maka, harus minta pendapat Bawaslu,” ujarnya.

Menurutnya, hoaks politik atau disinformasi politik bisa menu­runkan kualitas demokrasi. Untuk menjaga demokrasi di ruang digi­tal, kata dia, pihaknya melakukan pemantauan secara ketat.

“Apabila menemukan hoaks politik, maka kita akan mintakan platform untuk mencopot,” ujarnya.

Usman menambahkan, media sosial juga termasuk dalam objek pemantauan. Khususnya media sosial yang sifatnya publik, se­perti Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, TikTok, dan lain-lain.

Namun, kata Usman, untuk media sosial yang sifatnya privat (terbatas), misalnya WhatsApp, Telegram, Michat, pihaknya tidak bisa memantau secara langsung. Karena itu, kata dia, pengawasan membutuhkan par­tisipasi masyarakat.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo