Belanja Sistem Online Murah Dan Mudahkan Masyarakat
Digitalisasi Picu Pembeli Tinggalkan Toko Offline
JAKARTA - Digitalisasi ikut mendorong hadirnya platform belanja online atau marketplace di Indonesia. Selain memberi kemudahan jual beli secara online, digitalisasi juga membawa dampak pada penurunan daya beli masyarakat. Khususnya pada penjualan di toko offline.
Dalam beberapa bulan terakhir, para pedagang di pasar hingga di mall, seperti pusat tekstil Tanah Abang maupun International Trade Centre (ITC) di sejumlah kota besar di Indonesia mengeluh jualannya makin sepi dan terancam gulung tikar.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, kemajuan digital menjadi salah satu faktor menurunnya daya beli masyarakat di toko-toko dan pasar tradisional.
“Hadirnya toko online memudahkan masyarakat berbelanja. Kondisi ini diikuti terpangkasnya rantai pasok produk yang dijual, sehingga barang bisa sampai ke konsumen dengan harga lebih murah,” kata Tauhid kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Baca juga : Masyarakat Diminta Tidak Menduga-duga
Menurut Tauhid, awalnya fenomena belanja online ini berkembang saat pandemi Covid-19 pada 2020.
Sekarang makin digemari karena harga yang ditawarkan jauh lebih murah dibandingkan toko offline.
Kemudahan jual beli online ini banyak dimanfaatkan oleh pabrik atau produsen pakaian maupun barang kebutuhan rumah tangga untuk menjajakan produk yang dijual.
Saat berjualan di platform belanja online, mereka menerapkan harga jual yang lebih murah. Pasalnya, saat jualan offline, pedagang toko konvensional hingga pengecer mengambil keuntungan sendiri, sehingga harga jual makin tinggi.
Akhirnya, harga di toko online jauh lebih murah dibandingkan toko offline. Kondisi ini membuat masyarakat lebih memilih belanja di toko online dibandingkan harus panas-panasan ke pasar,” ucapnya.
Fenomena social commerce seperti TikTok, kata Tauhid, juga punya andil menurunkan tingkat keinginan masyarakat datang ke toko offline untuk berbelanja.
Menurutnya, social commerce ini lebih agresif dibandingkan e-commerce. Mereka punya keunggulan sebagai media sosial yang punya banyak pengikut (followers).
“Selain itu, cara berjualan live streaming kerap diikuti penggunaan model yang menarik. Ini membuat masyarakat makin malas belanja ke pasar. Akhirnya, pasar makin sepi,” ujarnya.
Diakui Tauhid, banyak pedagang di Pasar Tanah Abang terpaksa menutup kiosnya lantaran tidak mampu bersaing dengan pedagang online yang berjualan di TikTok, meski mereka juga memiliki toko online untuk menjajakan dagangannya.
Faktor lain yang membuat pasar dan pusat perbelanjaan offline sepi pembeli karena praktik predatory pricing (jual rugi/jual dengan harga yang sangat rendah). Penjualan dengan harga sangat murah ini menjadi strategi yang kerap digunakan pedagang di platform social commerce.
Tauhid mengakui, praktik predatory pricing ini dapat membantu membangun citra merek dan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk yang dijual karena harganya yang sangat murah.
“Dalam strategi ini, barang dijual dengan harga di bawah harga pasar. Biasanya digunakan oleh mereka yang memiliki kapasitas finansial yang kuat. Mereka dapat menawarkan harga yang sangat kompetitif untuk menguasai pasar dan membangun citra merek mereka,” beberTauhid
Karena itu, dia menyarankan, untuk menyelamatkan perdagangan offline yang sebagian besar adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Pemerintah harus memisahkan platform media sosial dan e-commerce. Dengan begitu, algoritma data tidak dikuasai oleh satu perusahaan saja, seperti yang dilakukan TikTok.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, anjloknya penjualan pedagang offline tidak hanya disebabkan persaingan dengan jualan di TikTok saja.
Ada pula indikasi pelemahan daya beli kelompok menengah bawah. Penyebabnya, kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras.
“Sekarang masyarakat mulai menghemat belanja. Mereka cenderung beli kebutuhan pokok saja,” kata Bhima di Jakarta, Kamis (28/9).
Solusi jangka panjang untuk permasalahan ini, kata Bhima, harus ada tata niaga yang adil antara platform e-commerce dan social commerce dengan pedagang offline.
“Pemerintah jadi regulator. Kalau ada promo yang mengarah pada predatory pricing harus dicegah. Produsen besar juga jangan langsung jual ke konsumen akhir. Karena dari segi harga sudah pasti lebih murah dibanding harga pedagang atau pengecer,” jelasnya.
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 18 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 17 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 12 jam yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu