TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers
Tantangan Global Umat Masa Depan (13)

Deindonesianisasi Pemahaman Agama

Oleh: Prof DR KH Nasaruddin Umar
Editor: admin
Kamis, 09 Juni 2022 | 12:00 WIB
Prof DR KH Nasaruddin Umar
Prof DR KH Nasaruddin Umar

JAKARTA - Kini muncul adanya fenomena deindonesianisasi pemaha­man agama di kalangan milenial.

Padahal, keluhuran niat dan kearifan sikap para the founding fathers harus selalu menjadi contoh bagi para generasi baru bangsa ini.

Para penganjur agama sejak masa Proto-Indonesia sampai kemerdekaan berhasil diraih, tokoh-tokoh bangsa ini selalu menekankan arti penting persatuan dan kesatuan bangsanya.

Mereka sangat sadar bahwa tanpa persatuan dan kesatuan maka tidak mungkin bangsa ini terwujud seperti sekarang ini. Kehadiran bangsa Indonesia harus disyukuri oleh seluruh umat dan warga bangsa.

Tidak mungkin kita bisa melakukan fungsi kita sebagai hamba (‘abid) dan represen­tative Tuhan sebagai pemimpin jagat raya (khalifah) tanpa sebuah wadah formal.

Di antara contoh yang sangat memprihatinkan, umat beragama sulit menjalankan ibadahnya yang sangat asasi itu karena negara tempat tinggalnya porak-poranda, mereka sulit mempelajari dan mendalami kitab sucinya karena tidak memiliki lembaga pendidikan yang ideal.

Mereka tidak bisa bermimpi menunaikan rukun Islam kelima, haji, karena yang mau dimakan saja sulit. Mereka tidak bisa membayar zakat karena dirinya masih termasuk mustahiq, sasaran pemberian zakat.

Mereka sulit menyelenggarakan shalat Jum’at karena mungkin tidak punya masjid, imam atau khatib, atau mungkin karena merasa tidak aman keluar rumah.

Di samping itu, ketegangan antar aliran dan antar mazhab menarik untuk dicermati.

Ketegangan seperti ini dulu tidak pernah muncul karena terlalu kuat “bungkusan” keindone­siaan yang sulit diterobos.

Ketika “bungkusan” keindone­siaan ini menipis, apalagi robek, maka serta-merta kekuatan aliran dan mazhab itu mencuak ke permukaan.

Identitas keindonesiaan yang menyemangatinya mulai tergerus oleh uforia reformasi. Akibatnya, setiap penganut aliran dan mazhab dalam suatu agama bebas melakukan re­identifikasi diri.

Tidak tertutup kemungkinan akan terjadinya Pakistanisasi Ahmadiyah, Iranisasi Syi’ah, Saudi Arabisasi Wahabiah, Yamanisasi Sunny, dan seterusnya. Akibatnya lebih lanjut, benturan antara satu aliran dan mazhab dengan aliran dan mazhab lain sulit dihindari.

Lokalisasi pengembangan aliran dan mazhab juga terjadi, sehingga meskipun sama-sama aliran sunny, tetapi dibedakan oleh warna lokal kedaerahan, sehingga satu sama lain berkonf­lik.

Sama-sama sebagai penganut tarekat Naqsyabandia tetapi satu yang lebaran bersama MUI-Pemerintah dan Naqsyabandia di daerah lain lebaran dua hari mendahului pemerintah.

Biasanya para pengikut tarekat sibuk dengan wilayah spiritual, urusan fikih, khususnya fikih siyasah, diserahkan kepada ulama atau umara, tetapi di beberapa tempat kelompok tarekat sudah ikut bermain diwilayah fikih siyasah.

Fenomena seperti ini juga berpotensi menimbulkan gesekan dan persinggungan di dalam masyarakat.

Dalam kondisi demikian, maka memang sudah sangat diperlukan dua hal.

Pertama, penguatan kembali sendi-sendi keindonesiaan seperti yang pernah berhasil membungkus berbagai ikatan primordial, agama, berikut aliran dan ma­zhab yang ada di dalamnya. P

enguatan empat pilar yang selama ini kembali dihembuskan perlu didukung semua pihak dengan tafsiran obyektif bahwa keempat piral ini demi untuk mengutuhkan kembali bangsa tercinta ini di atas landasan yang konstruktif.

Kedua, perlunya Undang-Undang Kerukunan antar umat beragama atau apapun namanya, yang intinya untuk mengayomi seluruh komunitas bangsa Indonesia tanpa membedakan kaum mayoritas dan minoritas dari segi agama atau etnik.

Adalah menarik untuk dikaji lebih mendalam, mengapa Walisongo dan para penganjur Islam awal, bukan hanya berhasil mengislamkan wilayah-wilayah Nusantara, tetapi juga berhasil menusantarakan atau mengindonesiakan pema­haman ajaran Islam.

Sebetulnya bukanlah Wali Songo yang pertama melakukan strategi seperti ini.

Para penganjur Hindu yang datang lebih awal di wilayah kepulauan Nusantara ini, yang membawa agama Hindu dari anak benua India, sebelum menghindukan kepulauan Nusantara terlebih dahulu menu­santarakan pemahaman ajaran agama Hindu.

Tidak heran jika sejumlah kepercayaan dan ajaran Hindu di Indonesia tidak identik dengan ajaran agama Hindu yang ada di India.

Di dalam Islam, berbagai aliran dan mazhab datang dari berbagai wilayah. Misalnya, ajaran Islam sunny datang dari India atau Pakistan sekarang dan negeri-negeri sunny lainnya seperti dari Mesir dan anak benua Afrika lainnya.

Aliran Syi’ah sebagian datang dari wilayah Persia, Iran sekarang. Mungkin juga sejak awal sudah ada Wahabi yang masuk dari Saudi Arabiah.

Dalam sejarah Ahmadiayah, baik Ahmadiyah Gulam maupun Ahmadiah Lahore, datang ke Indonesia juga jauh sebelum Indonesia merdeka.

Namun kesemua aliran dan ajaran itu sebelumnya harus mengalami proses pengindonesiaan atau relativering process menurut istilah Clifford Geerts.(rm.id)

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Bebas Bully
Jumat, 09 Mei 2025
Prof DR. Nasaruddin Umar. Foto : Ist
Berguru Kepada Semut
Jumat, 09 Mei 2025
Dahlan Iskan
Manna Haikal
Kamis, 08 Mei 2025
Dahlan Iskan
Kucing Timah
Rabu, 07 Mei 2025
Dahlan Iskan
Merah Putih
Selasa, 06 Mei 2025
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit