TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Pekerjaan Sebagai Penulis

Oleh: Supadilah Iskandar
Sabtu, 14 Oktober 2023 | 07:07 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

KITA menaruh hormat pada sosok-sosok langka yang bekerja membaktikan dirinya bagi kemajuan budaya peradaban. Mereka sanggup duduk berjam-jam menghadap layar komputer (laptop), menekuk punggung, memancangkan tatapan mata, mengetik dan menelusuri padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia yang baru seumur jagung. Pikiran dan perasaannya seakan diperas untuk menangkap gagasan demi gagasan, mencari kalimat yang efektif, paragraf yang pas dan sinkron.

Kadang harus merancang plot baru, menentukan klimaks, hingga menunggu ilham datang untuk mencapai ending. Kadang juga terpaksa tulisan digagalkan karena merasa kewalahan untuk menentukan bagaimana akhir dari ceritanya.

Seorang seniman dan sastrawan kadang merenggut seluruh waktu luangnya, menghantui malam-malam gelap, dan ketika menemukan titik akhir yang paling mantap, tahu-tahu dia hanya mendapat jawaban penolakan dan penolakan bertubi-tubi dari pihak penerbit atau media cetak dan daring.

Menurut saya, setiap penulis dan pengarang harus mampu menghadapi ujian semacam ini, setidaknya sepuluh atau saratus kali sebelum penerbit menyatakan layak untuk dimuat dan diterbitkan. Meskipun belum tentu ada jaminan bisa mendatangkan kepopuleran, kekayaan materi, atau sekadar kritik dan tanggapan publik.

Bagi saya, menjadi sastrawan atau novelis adalah profesi dan karir paling mulia. Meskipun, selagi muda saya pernah juga tergoda ingin menjadi pemain sinetron, penyanyi atau bintang film.

Ketika membaca cerita, pikiran saya bisa mengembara ke mana-mana, ke pulau terpecil di tengah lautan, ke planet lain yang tak berpenghuni, bahkan merasuki penderitaan dan kesenangan sang tokoh, hingga terpesona oleh luasnya galaksi, bintang-bintang, dan semesta raya.

Menyelesaikan suatu cerita dengan menuliskannya akan membuat saya merasa plong dan terpuaskan. Celakanya, kadang kita kurang waspada apakah ending dari cerita yang kita tuliskan itu akan berdampak positif maupun negatif bagi pembaca. Fakta bahwa cerita itu mengandung unsur tragedi dan sentimentil, seakan tak mengubah pendirian saya untuk menuliskannya. Dan ironisnya, pihak penerbit (media) justru lebih menyukai hal-hal seperti itu, terlepas apakah saya menyuguhkannya dengan memakai inisial ataukah nama yang sebenarnya.

Dengan menampilkannya ke ranah publik, saya membayangkan ratusan dan ribuan orang sedang menikmati karya-karya saya. Seakan saya tenggelam dalam aktivitas mental, hingga memberi saya curahan pengalaman yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.

Saya membaca ulang melalui media yang sedang terbit pagi itu, membayangkan orang-orang sedang menikmati karya saya, seakan di dalam ruang dan waktu yang sama, merasakan indahnya pikiran yang sama. Bangun dari tidur, memeriksa ponsel dan melihat karya kita ditampilkan media daring, membuat hati ini berbunga-bunga, dan kita akan memulai hari baru dengan penuh optimistis.

Bahkan, dengan menyelesaikannya saja, dapat memberi saya kepuasan tersendiri, suatu pencerahan batin, kebenaran absolut, gagasan brillian, suatu dunia mikro yang mewakili jagat makro, yang takkan mungkin terwujud dan dibaca ribuan orang, jika saya tak memiliki keterampilan tersendiri untuk menuangkannya ke dalam teks.

Tak peduli apakah tulisan itu kemudian ditarik kembali karena dinilai tendensius atau bombastis, tetapi saya yakin banyak orang sudah mengcopy dan mendownload-nya.

Dengan menulis cerita dan menyuguhkannya ke pembaca, membuat saya tengah memasuki dunia nyata. Ada tuntutan dan panggilan tersendiri, yang membuat saya merasa gatal dan terus-menerus terdorong agar menuliskan setiap gagasan yang muncul di kepala, serta menemukan makna melalui narasi.

Ada beberapa teman mengeluhkan puluhan dan ratusan kali tulisannya telah ditolak terus-menerus oleh media yang berhonor, hingga ia menyatakan bosan dan kapok untuk mengirim lagi. Baginya, setiap media memiliki ukuran format, standar dan gaya bahasanya sendiri, sehingga yang satu punya patokan untuk menolak yang lainnya.

Bahasa Indonesia seakan dianggap “baku” di wilayah habitatnya masing-masing, sehingga karya dari penulis yang layak muat untuk Kompas, serta merta akan mendapat penolakan dari Republika. Mereka yang menulis untuk islampos.com atau alif.id, tidak identik bagi Radarntt atau Radar Mojokerto. Mereka yang memiliki gaya bahasa untuk nongkrong.co, solopos.com, kabarmadura.id atau Bhirawa Online, juga berbeda dari Bangkapos.com, inilampung.com, inilahbanten.co.id, nusantaranews.co, atau litera.co.id.

Perlu saya tegaskan di sini, bahwa apa yang dimaksud dengan menulis dan berkarya semestinya dianggap sebagai “pekerjaan” yang menyenangkan, dan bukan semata-mata tugas yang ingin dibayar dan dihargai dengan royalti. Bekerja dengan asyik dan menarik tentu akan beda kualitasnya dengan tugas yang membutuhkan honor maupun royalti tertentu.

Ada banyak ide dan gagasan besar di republik ini yang perlu kita goreskan lewat pena, minimal untuk konsumsi pribadi. Kita harus terampil mengolah potensi dan kemampuan agar membuat diri kita bermaslahat bagi bangsa dan negeri ini, sebab bila kita menyibukkan diri untuk fokus pada tugas yang dibayar, tentu sangat terbatas dan sedikit sekali jumlahnya.

Apakah mungkin kita bisa produktif berkarya dan menulis, selain hanya urusan honor dan royalti yang ditentukan oleh penerbit? Mestikah jumlah royalti mendikte cara kita memilih untuk menggunakan ruang dan waktu secara produktif? Bagaimana jika pekerjaan itu sepenuhnya merupakan kontribusi sukarela untuk mendidik, mencerdaskan, dan mendewasakan masyarakat?

Siapkah Anda sebagai penulis dan sastrawan, untuk tetap konsisten menulis dan melakukan sesuatu yang bermakna bagi peradaban, jika Anda tidak dibayar? Atau, siapkah Anda menulis di harian luring maupun daring, sementara rolyatinya hanya 300 ribu atau 100 ribu perak, bahkan tak ada royalti sama sekali?

Seringkali saya menerima sindiran bahkan caci-maki dari beberapa kawan yang berteriak lantang, “Emangnya dengan membaca Pikiran Orang Indonesia, lantas penguasa dan pemerintah kita akan segera berbenah untuk tidak lagi mewarisi korupsi, kolusi dan nepotisme gaya Orde Baru, yang tak lain merupakan warisan abadi kerajaan-kerajaan zalim sejak dahulu kala? Bagaimana karya sastra memiliki tanggungjawab moral untuk menuntaskan masalah itu?”

Tentu saja kata “tanggungjawab” terlalu ideal untuk dibebankan di pundak penulis atau sastrawan, sebab bagaimanapun kami bukanlah politisi, penguasa atau pemegang otoritas dan kewenangan. Secara pribadi, sebagai penulis saya hanya dapat mencoba dan berikhtiar agar membuat wajah pembaca tetap berdiri tegak, punya harapan dan rasa percaya diri, tetap optimistis dalam mengarungi ujian hidup. Sebab, ujian hidup itu bukan hanya soal kesedihan, penderitaan dan tragedi yang harus dihadapi dengan kesabaran, melainkan juga kelapangan dan kenikmatan, harus juga dihadapi dengan sikap legawa dan rendah-hati, bukan dengan watak angkuh, jemawa dan sarat kesombongan.

Terkait dengan ini, saya akan mencoba sekuat tenaga untuk menempatkan diri dalam jajaran penulis yang mengajak pembaca agar terus memiliki harapan akan kebaikan. Sebab, bagaimanapun hidup ini akan terasa lapang dan nikmat jika tetap konsisten memupuk harapan, hingga memudahkan kita untuk terbebas dari segala penderitaan dan kemalangan.

Pada prinsipnya, kenikmatan dalam dunia tulis-menulis, kadang membawa jiwa saya keluar dari jasad saya sendiri. Melanglang buana, menembus batas-batas, hingga menciptakan sesuatu yang imanen dan transenden. Sejak dua tahun lebih masa pandemi Covid-19, kadang saya merasa kepala ini terbakar oleh emosi. Namun, dengan menulis serasa ada pelepasan yang bijak ketimbang kita meluapkan amarah dan kekerasan yang tak beralasan.

Saya merasa telah berhasil menjaring hal-hal fana untuk dihimpun menjadi kekayaan jiwa, sebelum semuanya itu menguap dalam ketiadaan. Ada perasaan senang dan gembira, terlebih ketika media bersedia menampilkannya hingga saya ikut membaca ulang, serta membayangkan sedang merasakan kegembiraan dalam waktu yang sama.

Dengan memasukkan sesuatu ke dalam kata-kata, memaksa saya untuk mengartikulasi pikiran dan membentuknya menjadi sebuah narasi, meleburkan diri ke atas keyboard, membangun sebuah obsesi, hingga membuat saya ketagihan selalu. Saya duduk berjam-jam di atas kursi, mengetik ribuan huruf dan kata, hingga menjelang waktu sepertiga malam, kemudian merentangkan dan meluruskan punggung, merasa lemas, namun berhasil mendapat kepuasan batin yang menenangkan dan menentramkan jiwa.

Alasan lainnya ketika ada kawan yang menanyakan mengapa saya harus menulis. Jawaban saya, bahwa saya ingin sekali menjadi bagian dari sebuah ide dan gagasan. Selama ini, buku-buku sastra telah banyak berjasa bagi perjalanan hidup saya. Saya percaya dengan adagium, bahwa nasib kita di masa depan tergantung dari kreasi dan karya yang kita sumbangkan saat ini, dan dengan sendirinya jenis bacaan apa yang sanggup kita suguhkan untuk para pembaca.

Selain itu, agama juga mengajarkan bahwa ilmu yang bermanfaat akan terus mengalir dan menjaga hidup kita, bahkan sampai akhir hayat di kandung badan. Sementara, kekayaan materi dan kemegahan duniawi, justru membuat kita merasa disibukkan untuk selalu menjaganya.

Terkait dengan ini, kadang saya berpikir betapa menyedihkan menjadi manusia Indonesia, ketika kita tak mampu menemukan jawaban-jawaban mendasar perihal hidup kita di sini dan saat ini. Belum lagi persoalan kebangsaan dan keagamaan yang harus kita telusuri dan temukan jawabannya. Siapakah diri kita ini yang sebenarnya? Bagaimana kita harus menjalani hidup yang lebih bermaslahat? Sudahkah kita mencoba membandingkan karya kita dengan karya-karya terbaik, kemudian berusaha memahami secara filosofis dalam konteks saat ini?

Sanggupkah kita menjaminkan kehidupan yang singkat ini, bahwa segala hal yang ingin kita lakukan untuk menghabiskan waktu, merupakan hal-hal yang menyenangkan dan menggairahkan? Mampukah kita melakukan segala sesuatu dengan merdeka dan penuh cinta, bukan semata-mata karena proyek atau perintah atasan belaka?

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo