Disebar Untuk Tekan Kasus DBD, Nyamuk Wolbachia Bukan Hasil Rekayasa Genetik
JAKARTA - Staf Teknis Komunikasi Transformasi Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI RA Adaninggar Primadia Nariswari yang akrab disapa dr. Ning membantah kabar viral yang menyebut nyamuk wolbachia adalah hasil rekayasa genetika.
Untuk diketahui, pemerintah saat ini tengah memasifkan penyebaran nyamuk wolbachia, demi menekan laju penyakit demam berdarah dengue atau DBD. Metode ini juga diterapkan di mancanegara.
"Kalau sudah mikir genetik, pasti sudah mikir macam-macam. Padahal, sebenarnya nyamuk ini atau yang nanti namanya wolbachia, tidak ada yang direkayasa secara genetika," kata dr. Ning via Instagram, Kamis (16/11/2023).
dr. Ning menjelaskan, wolbachia adalah bakteri yang dapat mengurangi virus dengue.
Wolbachia merupakan bakteri yang secara alami ada di dalam tubuh 60 persen serangga seperti lalat buah, ngengat, capung, dan kupu-kupu. Bakteri alami ini bisa diturunkan ke telur-telur yang dimiliki serangga tersebut.
"Ini adalah bakteri yang alami ada, jadi nggak dibuat-buat," tandas dr. Ning.
Bagaimana bakteri ini bisa membantu penyebaran virus dengue?
Soal ini, dr. Ning menerangkan, para ahli sudah meneliti, virus dengue di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti yang mengandung bakteri wolbachia, tidak dapat berkembang baik. Sehingga, nyamuk tersebut tidak dapat menularkan virus ke manusia.
"Jadi, kalau ada nyamuk jantan yang mengandung Wolbachia, kawin dengan nyamuk betina yang tidak mengandung Wolbachia, telurnya tidak akan menetas. Kalau yang mengandung wolbachia adalah nyamuk betina, nanti seluruh telurnya akan mengandung wolbachia dan akan menjadi nyamuk ber-wolbachia," urai dr. Ning.
Siklus seperti ini, menurutnya, akan terjadi hingga beberapa generasi. Nantinya diharapkan, semua nyamuk akan mengandung bakteri wolbachia. Sehingga bisa mengurangi penyebaran virus dengue.
"Jadi sebetulnya, tidak ada yang direkayasa genetik, baik dari nyamuknya atau wolbachia-nya. Karena semua prosesnya alami, termasuk proses regenerasi atau perkembangbiakan nyamuknya,” beber dr. Ning.
Bukan Uji Coba
Pada kesempatan yang sama, dr. Ning juga membantah info yang menyebut penyebaran nyamuk wolbachia masih dalam tahap uji coba.
Dia bilang, penelitian tentang teknologi wolbachia telah dilakukan sejak 2011. Di Indonesia, sudah dilakukan implementasi uji awal oleh World Mosquito Program, bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta sekitar tahun 2015-2017.
Penelitian telah dijalankan. Hasilnya telah dipublikasikan di Jurnal New England Journal Medicine (NEJM) pada 2021.
Tahun 2022, telah dilakukan pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Hasilnya, nyamuk ber-wolbachia mampu menekan angka kesakitan DBD hingga sekitar 77 persen, dan mengurangi risiko rawat inap sampai 86 persen.
"Jadi, ini bukan tahap uji coba lagi. Sudah lewat ya. Sekarang ini, masuk tahap implementasi," tegas dr. Ning.
Efektif di 9 Negara
Teknologi wolbachia untuk mengurangi penyebaran virus dengue sudah terbukti efektif di 9 negara endemik dengue lain. Yakni Brazil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, New Caledonia, dan Sri Lanka.
Sejumlah negara endemis dengue seperti Brazil, Australia, Vietnam, Meksiko, dan Sri Lanka yang juga menerapkan hal yang sama.
"Yang penting harus diingat, meski teknologi wolbachia bermanfaat dan efektif, pencegahan demam berdarah tetap harus dilakukan dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Jangan lupa 3M plus, menutup, menguras, dan mengubur," pungkas dokter yang aktif mengedukasi masyarakat lewat Instagram.
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Opini | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Internasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu