Perludem Ingatkan Pemerintah
Jangan Koar-koar Netral Faktanya Di Lapangan Beda
JAKARTA - Penggiat pemilu meminta Pemerintah, utamanya aparat tidak berkoar-koar di depan publik soal netralitas dalam Pemilu 2024. Mereka cukup membuktikannya di lapangan.
“Yang terpenting adalah bagaimana mereka (Pemerintah) menerapkan netralitas itu di lapangan dan juga dalam kegiatan sehari-hari,” ujar Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil di Jakarta, kemarin.
Fadli menegaskan, tidak ada gunanya kata-kata netralitas terus disampaikan ke publik, tapi dalam praktiknya tidak dilaksanakan saat bertugas.
“Ucapan tanpa perbuatan ibarat tong kosong,” kritiknya.
Dia mencontohkan inkonsistensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Utamanya, terkait pencalonan perempuan, narapidana korupsi, dan calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) yang belum cukup umur.
“Buktinya (KPU) digugat ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP),” ungkapnya.
Seharusnya, kata Fadli, penyelenggaraan Pemilu 2024 semakin matang, kuat, profesional dan mandiri. Apalagi, pemilu ini merupakan yang keenam kalinya pasca reformasi.
“Tapi malah sebaliknya, terkesan ada pengkooptasian yang luar biasa,” ujarnya.
Fadli menjelaskan, kondisi Pemilu 2024 memiliki dampak positif dan negatif. Sisi positif Pemilu 2024 adalah sebanyak 54 persen pemilih berusia 40 tahun ke bawah atau pemilih muda. Kata dia, interaksi dan jangkauan informasi pemilih muda lebih luas.
Mereka kita harapkan bisa jauh lebih kritis dengan ruang interaksi yang intensif antara pemilih dengan peserta pemilu bisa meningkat,” harap dia.
Sedangkan, sisi negatifnya, ungkap Fadli, ini pertama kalinya terjadi manipulasi kerangka hukum untuk pemilu secara sedemikian rupa. Tujuannya agar kerabat dan anak bisa menjadi peserta Pemilu 2024.
Peneliti Perludem, Kahfi Adlan Hafiz menambahkan, titik rawan pelanggaran netralitas Pemilu 2024 tidak hanya terjadi pada aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri, tapi juga sumber daya negara yang dikelola Pemerintah.
“Yang menjadi titik rawan justru politisasi birokrasi, artinya sumber daya negara yang potensial digunakan untuk kepentingan politik praktis,” ucapnya.
Kahfi mengungkap, praktik penyalahgunaan birokrasi dan aset-aset negara dalam pelanggaran netralitas Pemilu 2024 terbukti dengan adanya 190 aduan yang diterima Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) per 13 November 2023. Kata dia, praktik berpotensi pelanggaran ini perlu dipantau ketat oleh publik.
“Apalagi, politisasi birokrasi dilarang dalam kerangka hukum kepemiluan. Masyarakat perlu menjaga betul pada penggunaan-penggunaan birokrasi, sumber daya negara, keuangan negara bahkan aset-asetnya dalam penggunaan kampanye,” ujar Kahfi.
Kahfi menambahkan, dalam sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu, mengatur kampanye pejabat publik yang boleh kampanye. Di antaranya, menteri dan kepala daerah.
“Mereka diwajibkan cuti ketika melakukan kampanye. Ini dilakukan agar menghindari politisasi birokrasi,” tegasnya.
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 20 jam yang lalu