UU ITE Resmi Jadi Produk Legislasi
Aktivis Dan Jurnalis Tidak Perlu Lagi Cemas Bakal Dipidana
JAKARTA - Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) telah memenuhi harapan publik. Aktivis dan jurnalis tidak perlu lagi cemas bakal dipidana. Sebab, beleid baru ini justru melindungi kebebasan berpendapat.
Wakil Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menegaskan, revisi UU ITE ini menyelesaikan berbagai problem kontroversi, antara lain terkait transaksi digital dan kebebasan berpendapat.
“Hal baru terus diperbaiki karena kita terus mengikuti perkembangan zaman. Hukum itu harus transformatif dan terus mengikuti gerak dinamika di masyarakat,” kata dia di Jakarta, Rabu (13/12/2023).
Habib memastikan, pasal karet dalam UU ITE telah direvisi dan direduksi, yakni di pasal 27 dan 28 yang memuat penegakan hukum terkait berpendapat dan persoalan Suku, Agama, Ras dan Antar-Golongan atau SARA.
Habib yang dulunya pengacara ini, banyak bergelut dengan kasus-kasus terkait pasal 27 dan 28 di UU ITE sebelum revisi. Kebanyakan klien yang dibelanya menyampaikan pendapat namun dijerat oleh pasal 27 dan 28 UU ITE yang lama.
“Makanya ketika di DPR, saya mengusulkan agar kedua pasal ini diganti atau diperbaiki,” ujarnya.
Dia mengapresiasi kinerja Komisi I DPR yang telah melakukan revisi atas pasal-pasal karet di dalam UU ITE ini bersama Pemerintah. Sebab, pasal 28 yang direduksi sebelumnya berbunyi, barang siapa menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian berdasarkan SARA, dipidana dengan ancaman penjara di atas 5 tahun.
Ketentuan tentang SARA pun di UU ITE ini juga menjadi sangat jelas. Sebab, selama ini persoalan SARA yang banyak mempidanakan orang, lebih kepada frasa ‘Antar Golongan’. Persoalan ‘Antar Golongan’ ini yang jadi momok, bisa jadi pasal karet.
Karena di kasus Ahmad Dhani, dia mengejek orang, atau misalnya, organisasi tertentu, dia tidak kena unsur Suku, Agama, Ras-nya, tapi dia kena di Antar-Golongan. Begitu juga banyak kasus-kasus aktivis, kemudian jurnalis, dijerat dengan frasa ‘Antar-Golongan’ itu, karena ini jadi pasal karet,” ungkapnya.
Menurutnya, frasa ‘Antar-Golongan’ ini mengandung definisi yang tidak jelas. Nah, di UU ITE hasil revisi, semuanya diperjelas dan disebutkan dengan detail, contohnya menghina kelompok difabel (penyandang cacat).
“Yang namanya hukum itu kan yang paling penting rumusannya tidak karet. Dengan ketentuan baru ini, tidak lagi menjadi pasal karet, pasal 28 itu,” jelasnya.
Selain itu, anggota Fraksi Gerindra ini menilai, penyempurnaan UU ITE ini sudah senapas dengan konsep yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Bahwa KUHP yang baru ini menganut konsep rehabilitasi dan restorative justice, termasuk di dalamnya mengatur asas dualistic, yakni seseorang bisa dipidana, berkaitan dengan ruang digital, kalau mens rea-nya (niat jahatnya) terpenuhi.
“Jadi, sangat sesuai dengan apa yang diatur dalam UU ITE saat ini. Sudah sesuai dengan harapan publik,” ujarnya.
Makanya, politisi asal dapil DKI Jakarta ini mengaku sangat heran juga, kalau ada pihak-pihak yang dalam kampanyenya menjanjikan untuk revisi UU ITE ini lagi.
“Jadi, kayaknya kurang baca koran. Kurang baca online, nggak baca produk teman-teman. Ini sudah diketok yang jadi aspirasi masyarakat itu,” katanya.
Anggota Komisi I DPR Dave Laksono mengatakan, UU ITE baru ini merupakan penyempurnaan atas pengaturan ruang digital. UU ITE ini memiliki hal penting untuk mewujudkan kepastian hukum kepada masyarakat.
Tentunya, ini didasarkan pada upaya untuk memperkuat jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dalam masyarakat.
Dave menuturkan, perubahan UU ITE ini menunjukkan dinamika dan keinginan masyarakat akan adanya penyempurnaan dalam ketentuan pidana terhadap konten ilegal.
Selain itu, revisi ini juga menunjukkan bahwa hukum perlu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum nasional maupun global.
Selain itu, revisi UU ITE ini kebijakan besar untuk menghadirkan ruang digital yang bersih, sehat, beretika, produktif, berkeadilan, bermoral serta mengedepankan perlindungan kepentingan umum.
“Dalam ungkapan lain, perubahan kedua atas Undang-Undang ITE ini memiliki arti penting sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum baik nasional maupun global,” jelasnya.
Selain itu, anggota Fraksi Gerindra ini menilai, penyempurnaan UU ITE ini sudah senapas dengan konsep yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Bahwa KUHP yang baru ini menganut konsep rehabilitasi dan restorative justice, termasuk di dalamnya mengatur asas dualistic, yakni seseorang bisa dipidana, berkaitan dengan ruang digital, kalau mens rea-nya (niat jahatnya) terpenuhi.
“Jadi, sangat sesuai dengan apa yang diatur dalam UU ITE saat ini. Sudah sesuai dengan harapan publik,” ujarnya.
Makanya, politisi asal dapil DKI Jakarta ini mengaku sangat heran juga, kalau ada pihak-pihak yang dalam kampanyenya menjanjikan untuk revisi UU ITE ini lagi.
“Jadi, kayaknya kurang baca koran. Kurang baca online, nggak baca produk teman-teman. Ini sudah diketok yang jadi aspirasi masyarakat itu,” katanya.
Anggota Komisi I DPR Dave Laksono mengatakan, UU ITE baru ini merupakan penyempurnaan atas pengaturan ruang digital. UU ITE ini memiliki hal penting untuk mewujudkan kepastian hukum kepada masyarakat.
Tentunya, ini didasarkan pada upaya untuk memperkuat jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dalam masyarakat.
Dave menuturkan, perubahan UU ITE ini menunjukkan dinamika dan keinginan masyarakat akan adanya penyempurnaan dalam ketentuan pidana terhadap konten ilegal.
Selain itu, revisi ini juga menunjukkan bahwa hukum perlu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum nasional maupun global.
Selain itu, revisi UU ITE ini kebijakan besar untuk menghadirkan ruang digital yang bersih, sehat, beretika, produktif, berkeadilan, bermoral serta mengedepankan perlindungan kepentingan umum.
“Dalam ungkapan lain, perubahan kedua atas Undang-Undang ITE ini memiliki arti penting sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum baik nasional maupun global,” jelasnya.
Dia menuturkan, Indonesia membutuhkan landasan hukum yang kompehensif dalam membangun kebijakan identitas dan perkembangan digital serta layanan sertifikasi elektronik lainnya.
Beberapa kalangan menganggap UU ITE ini multitafsir, pasal karet, memberangus kemerdekaan pers hingga mengancam kebebasan berpendapat.
“Hal ini menunjukkan bahwa hukum perlu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum nasional maupun global,” pungkasnya.
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu