MK Tolak PT 4 Persen, Mimpi Syarat Capres 0 Persen Hidup Lagi
JAKARTA - Mimpi syarat Capres atau Presidential Threshold (PT) 0 persen hidup lagi, pasca Mahkamah Konstitusi (MK) menolak syarat parlemen atau Parliamentary Threshold (PT) 4 persen.
Usulan itu, disampaikan anggota DPR dan elite parpol. Salah satunya adalah Ketua DPP Partai Demokrat, Herman Khaeron. Kata politisi yang akrab disapa Hero itu, seharusnya MK juga menghapus PT 20 persen sebagai syarat pencapresan.
"Sebaiknya penghapusan parliamentary threshold juga dibarengi dengan menghapuskan presidential threshold," kata Hero, Jumat (1/3/2024).
Menurut dia, seluruh warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk bisa dipilih. Karenanya, PT 20 persen kudu dihapus. "Tanpa ambang batas, berarti memberi hak yang sama kepada seluruh warga negara Indonesia untuk dipilih dan memilih," ungkap Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming itu.
Dijelaskan Hero, ambang batas Parlemen merupakan keinginan Pemerintah dan DPR. Tujuannya agar ada pembatasan dan seleksi parpol yang bisa masuk ke Senayan. "Namun, MK tentu memiliki alasan hukum sehingga dianggap bertentangan dengan UUD 45," sebut anggota Komisi VI DPR itu.
Dia mengatakan, setiap parpol juga nantinya terbuka untuk membahas penghapusan ambang batas PT 20 persen sebagai syarat pencapresan. "Setelah keputusan ini dipastikan partai-partai akan membahasnya dan terbuka kemungkinan akan dibahas di DPR," tegas dia.
Senada, PAN juga berharap putusan MK ini bisa diikuti dengan syarat pencapresan. "Yang perlu juga kami tekankan di sini perlu juga dievaluasi tidak hanya pada parliamentary threshold, tetapi juga pada presidential threshold," pinta Sekjen PAN Eddy Soeparno.
Menurut Eddy, Indonesia kaya akan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk itu, penghapusan PT 20 persen dapat memberikan kesempatan lebih luas kepada putra-putri terbaik bangsa untuk maju sebagai pemimpin. "Penting untuk kita evaluasi," tambahnya.
Lebih lanjut, kata Wakil Ketua Komisi VII DPR itu, semakin banyak kandidat Capres-Cawapres, maka rakyat semakin luas mempertimbangkan pilihannya. Terlebih, dalam pertarungannya nanti, setiap pasangan calon bisa menyampaikan gagasan, bukan hanya sekadar sentimen antar-koalisi partai.
Partai Gelora juga meminta seluruh hambatan pada proses Pemilu untuk segera dihapuskan. Artinya, bukan cuma syarat parpol masuk parlemen, tapi juga syarat masyarakat yang ingin menjadi presiden.
Substansi dan argumen MK itu intinya Pemilu adalah kedaulatan rakyat. Segala jenis pembatasan yang menyebabkan lahirnya perantara antara kekuasaan dalam rakyat, itu harus dihentikan," cetus Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah.
Segala jenis threshold, ditekankan Fahri, pada dasarnya itu mendistorsi hak-hak rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung. Karena dibatasi oleh ketentuan yang jauh lebih kecil dibanding kekuatan suara rakyat.
"Sehingga di masa yang akan datang tidak saja parliamentary threshold, sebetulnya presidential threshold juga harus dihapuskan," desak mantan pimpinan DPR itu.
Mantan Ketua MK Prof Jimly Asshiddiqie juga berharap PT 20 persen dihapuskan. Cukup dibuat persyaratan parpol peserta pemilu sudah terbukti lolos PT 4 persen pada Pemilu sebelumnya. Juga, sudah duduk di DPR sehingga berhak mengajukan Capres sendiri.
"Ini penting untuk memastikan sistem Pilpres 2 putaran yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan syarat persebaran dukungan mayoritas di lebih dari 50 persen jumlah provinsi. Kecuali bisa satu putaran seperti yang dialami oleh Capres Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 sekarang," jelas Prof Jimly kepada Redaksi, Jumat (1/3/2024).
Sementara, Pakar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Ahmad Tholabi Karlie mengatakan, poin penting dari putusan MK tentang batas ambang parlemen adalah agar suara rakyat dalam pemilu tidak hilang.
“Pemilu merupakan forum daulat rakyat. Maka, jika membaca pertimbangan MK, satu hal penting soal konversi penghitungan suara menjadi kursi DPR,” ujarnya.
Sekadar informasi, syarat capres PT 20 persen telah digugat sebanyak 31 kali ke MK. Namun, putusan MK selalu sama, yakni menolak atau tidak mengabulkan gugatan tersebut. Dasar penolakannya juga selalu sama, yaitu aturan tersebut merupakan produk DPR dan Pemerintah, alias open legal policy.
Olahraga | 14 jam yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 15 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu