Menilik Ulang Kenaikan Uang Kuliah Tunggal
CIPUTAT - Isu kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) kembali hangat diperbincangkan akhir-akhir ini. Pasalnya, kenaikan UKT banyak memiliki dampak dinamik bagi keberlanjutan pendidikan calon mahasiswa. Kenaikan uang kuliah tidak hanya terjadi pada perguruan tinggi di bawah naungan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), namun juga menjalar hingga perguruan tinggi yang ada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag).
Hal ini menuai beragam protes di kalangan publik. Belakangan mahasiswa aktif memperjuangkan hak pembiayaan pendidikan itu melalui sejumlah aksi protes dan audiensi ke rektorat hingga ke parlemen. Di perguruan tinggi keagamaan islam negari (PTKIN), kenaikan UKT dimulai sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama Nomor 368 Tahun 2024. Peraturan tersebut kemudian dirumuskan dalam aturan turunan berupa Surat Keputusan (SK) Rektor di masing-masing universitas. Secara rigid, keputusan tersebut mengatur nominal biaya yang dibebankan kepada calon mahasiswa baru tahun 2024-2025. Nominal yang yang tertuang di dalamnya sangat berbeda jauh dengan nominal pada tahun-tahun sebelumnya.
Hal inilah yang menyebabkan mahasiswa menggelar aksi protes kepada rektorat karena tidak adanya koordinasi dan serap aspirasi terkait hal tersebut. Sejatinya dalam pembentukan peraturan, in casu Perturan Rektor, pihak yang terdampak harus dilibakan (meaningfull participation). Mahasiswa mendorong adanya pelibatan diri dalam penyusunan besaran nominal UKT. Sejumlah mahasiswa pun tahu pengalokasian dana tersebut akan bermuara kemana, pasalnya banyak ditemukan fasilitas kampus yang tidak memadai untuk menunjang kegiatan akademik mahasiswa.
UIN Jakarta merupakan salah satau kampus yang konsisten menaikan UKT pada setiap tahunnya. Empat tahun kebelakang, kenaikan UKT tidak terlalu signifikan hanya merangkak pelan-pelan masih berkisar di angka 7% setiap tahunnya. Berbeda dengan pada tahun ajaran 2024-2025, kenaikan UKT cukup melambung tinggi hingga 27%. Nominal terbesar ada pada fakultas kedokteran yang sampai menyentuh angka Rp 50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah).
Kenaikan UKT bukan menjadi solusi yang tepat. Kenaikan UKT hanya salah satu bentuk upaya transisi status Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Konsep penerapan status berbadan hukum ini pun banyak menuai polemik. Kecemasan mahasiswa semakin menjadi-jadi ketika tahu dalam penyelenggaran PTN-BH ini perguruan tinggi diberikan otonomi untuk dapat dikelola secara mandiri.
Dalam konteks ini, sangat mungkin kampus melakukan aktivitas komersialisasi segala bentuk usaha yang dimiliki hingga nantinya mahasiswa akan dijadikan objek sumber pendapatan kampus. Hal ini pun selaras dengan ketetuan sebagaimana tertuang dalam Pasal 64 ayat (1) UU Dikti, bahwa otonomi pengelolaan perguruan tinggi meliputi bidang akademik dan non-akademik.
Kenaikan UKT hanya menjadi semacam ambisi Menteri Agama untuk merubah status UIN Jakarta menjadi PTN-BH. UIN Jakarta akan menjadi contoh transisional bagi universitas lain yang berada di bawah naungan kemenag. Akan tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa UIN Jakarta belum mampu menyandang status PTN-BH. Unit usaha yang dimiliki UIN Jakarta belum mumpuni untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan kampus. Hal ini dikhawatirkan mahasiswa menjadi objek utama untuk menutupi segala bentuk kekurangan yang terjadi ke depan.
Dalam human capital theory, investasi dalam pendidikan dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, jika akses terhadap pendidikan tinggi terbatas akibat kenaikan UKT, hal ini dapat menghambat pengembangan modal manusia yang berkualitas dan berdampak negatif terhadap produktivitas tenaga kerja Indonesia di masa depan.
Hal ini menjadi problem tersendri bagi aksesibilitas pendidikan tinggi. Kenaikan UKT yang signifikan dapat menjadi hambatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, untuk mengakses pendidikan tinggi. Ini bertentangan dengan prinsip pemerataan akses pendidikan yang berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat.
Padahal di satu sisi, generasi emas 2045 memerlukan sumber daya manusia yang terdidik dan terampil dalam berbagai bidang. Namun, kenaikan UKT yang tinggi dapat membatasi kesempatan bagi banyak individu untuk mengembangkan potensi mereka melalui pendidikan tinggi, yang pada akhirnya dapat menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan.
Dalam rangka mempersiapkan generasi emas 2045, pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan kenaikan UKT dan memastikan bahwa akses pendidikan tinggi tetap terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Investasi dalam pendidikan yang inklusif dan berkualitas akan mendukung terciptanya sumber daya manusia yang kompeten dan berkontribusi dalam memajukan Indonesia di masa depan.
Dengan demukian, kenaikan UKT hanya menjadi euforia utopis pejabat negara di tengah kondisi finansial masyarakatnya yang menjekik. Calon mahasiswa memilih mundur dari kelulusaanya di kampus dan orang tuanya dibikin cemas dengan kondisi pendidikan anaknya. Hal ini tentu menjadi problem besar bagi keberlanjutan bangsa ke depan.
Sebab disadari betul bahwa bangsa ini bangun-tumbuh didasarkan pada pendidikan bangsanya. Sehingga pendidikan menjadi suatu keniscayaan sebagai hak dasar konstitusional setiap warga negara. Pemerintah harus bisa menjamin adanya hak konstitusional itu tanpa dibatalkan dan dikurangi keberadaannya. Hak pendidikan absolut dan inheren bagi setiap warga negara.
Setiap anak bangsa berhak mendapatkan pendidikan yang dijamin oleh negara sesuai amanat undang-undang namun masih banyak ditemukan anak yang tidak mendapat kesempatan untuk belajar ke jenjang yang lebih tinggi hanya karena faktor ekonomi. Hakikatnya pendidikan adalah tonggak utama untuk kemajuan sebuah bangsa. Manifesto yang digagas oleh para founding father kemudian dituangkan kedalam UUD 1945 dalam penggalan kalimatnya “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” perlu di refleksikan kembali oleh para pemangku kepentingan.
Oleh: ZULFIKAR PUTRA UTAMA
*)Sekretaris Jenderal Pengurus Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 22 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Nasional | 22 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu