TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Mimpi Buruk Guru Honorer Di Jakarta

Oleh: Farhan
Selasa, 16 Juli 2024 | 10:14 WIB
Demo guru honorer. Foto : Ist
Demo guru honorer. Foto : Ist

JAKARTA - Awal tahun ajaran baru menjadi mimpi buruk bagi guru honorer di Jakarta.

Pemerintah Jakarta memberlakukan sistem cleansing atau pembersihan guru honorer. Melalui kebijakan tersebut, banyak guru honorer di Jakarta yang diberhentikan secara sepihak oleh Dinas Pendidikan Jakarta.

Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menjelaskan, banyak guru honorer di Jakarta diputus kontraknya secara sepihak. Pemutusan kontrak itu dilakukan dengan sistem cleansing, yakni mereka mengisi link pemecatannya sendiri yang dikirim berantai dari masing-masing kepala sekolah.

“Pada 5 Juli 2024 atau tahun ajaran baru, guru honorer mendapatkan pesan, hari pertama masuk, menjadi hari terakhir mereka berada di sekolah,” kata Iman dalam keterangannya, Senin (15/7/2024).

Menurutnya, para guru honorer masih tidak percaya, karena secara mendadak berhenti bekerja. Hal ini, lanjut Imam, juga menimpa beberapa anggota P2G Jakarta yang notabene adalah guru honorer. “Bahkan, ada yang sudah mengajar enam tahun atau lebih,” tandasnya.

Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan P2G, Feriansyah menyatakan, para guru honorer harus tetap mendapatkan jam ajar sesuai bidang pelajarannya. Selain itu, kata dia, guru honorer harus diberikan kepastian dan kesempatan untuk tetap mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

“Selanjutnya, kami meminta komitmen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk tidak memberhentikan para guru honorer,” tandas Feriansyah.

Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf menjelaskan, persoalan ini berasal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, katanya, persoalan ini hanya terjadi di Jakarta.

“Intinya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi agar segera klarifikasi dengan Dinas Pendidikan Jakarta,” ucap Dede kepada Redaksi, Senin (15/7/2024).

Untuk membahas topik ini lebih lanjut, berikut wawancara selengkapnya dengan Dede Yusuf

Masalah cleansing guru honorer di Jakarta sedang ramai. Tanggapan Anda?

Cleansing itu kata yang terlalu sadis. Cleansing itu kan pembersihan atau seperti membasmi. Itu tidak boleh. Bisa saja dengan kata redistribusi, sama dengan menyalurkan ke mana.

Sebelum ini juga sudah ramai di Komisi X DPR, lalu saya cek ke Kemendikbudristek. Mereka menyampaikan, laporan ini muncul dari Jakarta, karena adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Bagaimana temuannya?

Dari temuan BPK tersebut, Dinas Pendidikan Jakarta mengatakan, guru yang jam mengajarnya tidak sampai 35 jam per minggu, tidak bisa diteruskan. Makanya, dari Dinas Pendidikan muncul cleansing tersebut.

Aturan jam mengajar guru ini seperti apa?

Nah, 35 jam ini menurut Kemendikbud, tidak sesuai dengan peraturan yang disampaikan oleh Kemendikbudristek, yakni 24 jam. Jadi, jarang yang sampai 35 jam, apalagi guru mata pelajaran yang tidak umum, misalnya pelajaran agama. Kan tidak mungkin sampai 35 jam dalam satu minggu.

Apakah ini terjadi di daerah lain?

Saya sudah minta cek apakah ini terjadi juga di tempat lain, ternyata tidak ada. Hanya di Jakarta. Menurut saya, ini domainnya teman-teman di DPRD Provinsi. Karena, ada kaitannya dengan Dinas Pendidikan Provinsi Jakarta.

Apa yang bisa dilakukan dalam menyelesaikan persoalan ini?

Saya meminta kepada pihak Kemendikbud agar segera klarifikasi dengan pihak Dinas Pendidikan Jakarta. Sebab, ini hanya di Jakarta. Menurut saya, yang harus menyelesaikan adalah DPRD Jakarta dan Pemerintah Provinsi Jakarta. Prinsip kami dari Komisi X DPR, jangan sampai ada cleansing. Sebab, cleansing ini seperti membersihkan guru-guru honorer.

Apakah kebijakan ini terkait alokasi anggaran yang tidak ada untuk guru honorer?

Saya kurang paham soal itu. Tapi kalau bicara Jakarta, anggaran untuk membangun stadion baru saja masih bisa, apalagi untuk bayar guru honorer. Jika ada alasan anggaran, menurut saya tidak logis. Bayangkan, daerah lain yang APBD-nya pas-pasan saja bisa memperjuangkan guru honorer.

Dari informasi yang saya terima, ini adalah Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan (TLHP) BPK. BPK melihatnya, pembayaran guru-guru yang mengajar kurang dari 35 jam per minggu. Temuan ini kan bisa diselesaikan dengan mengatur pola jam mengajar.

Tentang jam mengajar yang kurang untuk guru honorer, bagaimana solusinya?

Memang kalau gurunya kebanyakan, susah membagi jam mengajarnya. Menurut pandangan kami, gurunya jangan ditumpuk dalam satu sekolah. Terkadang di satu sekolah ditumpuk honorernya, akhirnya banyak yang tak kebagian jam mengajar. Padahal, gajinya dari jam mengajar. Saya pikir distribusinya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo