RUU Wantimpres Masih Menuai Pro Dan Kontra
JAKARTA - Rancangan Undang Undang (RUU) Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menuai pro kontra. Pihak yang menolak, menganggap RUU tersebut membuka peluang praktik bagi-bagi jabatan. Sementara yang mendukung beralasan rancangan itu tidak menabrak aturan ketatanegaraan.
Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menyatakan, revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres terkesan dijadikan celah untuk bagi-bagi kekuasaan. Sebab, jumlah hingga syarat anggotanya tidak diatur secara rigid dan tidak ada jaminan terbebas dari kepentingan politik praktis.
“Saya melihat, ini upaya untuk memberikan kekuasaan kepada orang-orang sekeliling presiden selanjutnya. Wajar jika banyak pihak memiliki penilaian yang sama, karena kehadiran atau pembahasan RUU itu dilakuan di akhir masa jabatan atau peralihan kekuasaan,” ujar Mulawarman melalui keterangan tertulisnya, Rabu (17/7/2024).
Diketahui, RUU Wantimpres menjadi polemik usai disahkan menjadi RUU inisiatif DPR pada Rapat Paripurna ke-22 Masa Sidang V, Kamis (11/7/2024). RUU tersebut menjadi satu dari 33 RUU yang disahkan sebagai RUU inisiatif DPR.
Pasal yang menjadi polemik dalam RUU Wantimpres, antara lain Pasal 1A. Dalam pasal itu, DPR menginisiatifkan mengubah nomenklatur Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Kemudian, posisi Wantimpres yang sebelumnya berada di bawah presiden atau lembaga Pemerintah, menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga-lembaga negara lain.
Sementara, Pasal 12 Ayat 1 RUU Wantimpres membolehkan pimpinan partai politik hingga organisasi kemasyarakatan menjadi Anggota DPA. Padahal, hal tersebut tidak diperbolehkan dalam Undang-Undang (UU) Wantimpres yang berlaku saat ini.
Melanjutkan keterangannya, Hamzah mengingatkan, dalam amandemen keempat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, DPA dimasukkan dalam cabang kekuasaan pemerintahan. Karenanya, cukup aneh bila beleid yang berada di bawah UUD menempatkan DPA sejajar dengan lembaga negara lain, seperti DPR dan Presiden.
Kejanggalan lainnya, lanjut Hamzah, jumlah anggota DPA diserahkan kepada presiden. Kondisi ini bukan sekadar berpotensi menabrak UUD 1945, tapi melahirkan anomali kekuasaan karena kehadiran lembaga baru yang memiliki posisi sejajar dengan DPR dan Presiden.
Koordinator Bidang Sosial Politik Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Jhonas Nikson meminta DPR memberi penjelasan komprehensif dan rasional kepada publik atas urgensi revisi aturan tersebut.
“BEM UI mengambil sikap kritis terhadap rencana perubahan Wantimpres menjadi DPA,” ujarnya.
Mahasiswa jurusan ilmu hukum ini juga mengkritisi tentang potensi keanggotaan DPA yang bisa diisi oleh sosok-sosok elite.
Menurut dia, keanggotaan dewan pertimbangan, mestinya diduduki oleh para tokoh bangsa yang memiliki kebijaksanaan, bukan sekadar bagi-bagi jabatan.
“Lembaga ini harusnya menjaga kebijaksanaan kepala pemerintahan di Istana. Bukan memuluskan kepentingan kotor elite parpol,” cetusnya
Jhonas juga menyinggung soal kedudukan DPA sebagai lembaga negara yang setara dengan presiden.
Potensi pembentukan DPA sebagai lembaga yang setara dengan presiden tidak dimungkinkan sepanjang tidak ada perubahan Undang-Undang Dasar,” kata Jhonas.
Lebih lanjut, dia juga mengkritik soal proses revisi UU Wantimpres yang ditargetkan selesai dalam sebulan.
Menurutnya, DPR dan pemerintah harus membahas revisi aturan itu dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat, bukan sekadar keinginan penguasa.
“Revisi undang-undang dilakukan secara terburu-buru, hanya akan menimbulkan kemarahan dan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah,” tandas Jhonas.
Sementara, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP Djarot Saiful Hidayat ogah terseret polemik RUU Wantimpres. Dia menyerahkan kepada masyarakat untuk menilai, apakah RUU tersebut untuk kepentingan bagi-bagi jabatan pemerintahan Prabowo Subianto atau tidak.
Senada, Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani juga melontarkan pernyataan diplomatis soal perubahan nomenklatur Wantimpres menjadi DPA.
Politisi Partai Gerindra ini mengatakan, penunjukan anggota tanpa dibatasi merupakan usaha untuk penyempurnaan sistem presidensial dalam sistem pemerintahan Indonesia saat ini.
“Ini untuk menguatkan sistem pemerintahan presidensial. Soal status dan kedudukan DPA, akan dikaji lagi. Kita tunggu pembahasan, itu masih dalam proses pembahasan,” ujarnya.
Wakil Ketua MPR Syarief Hasan mengatakan, pihaknya tidak keberatan dengan RUU Wantimpres, yang kelak menghadirkan lagi nomenklatur DPA.
Soal jumlah anggota dan siapa yang bisa masuk DPA, hal itu diserahkan kepada presiden terpilih, Prabowo Subianto.
“Semua tergantung presiden terpilih. Sebab, DPA adalah lembaga yang berada di bawah presiden,” tandasnya.
Di media sosial X, netizen juga riuh membahas munculnya RUU wantimpres.
Akun @SuhariadiHarry menilai, RUU Wantimpres terkesan sekadar mengakomodir kepentingan para pihak yang telah membantu kemenangan, alias bagi-bagi kekuasaan.
TangselCity | 8 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 11 jam yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu